Senin 22 Jun 2020 18:12 WIB

Teks dan Dinamika Tercetusnya Piagam Jakarta 75 Tahun Lalu

Piagam Jakarta dirumuskan tokoh nasional dan perwakilan Islam.

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Piagam Jakarta dirumuskan tokoh nasional dan perwakilan Islam. Rapat BPUPKI
Foto: dok. Istimewa
Piagam Jakarta dirumuskan tokoh nasional dan perwakilan Islam. Rapat BPUPKI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi tentang dasar Negara Indonesia yang dirumuskan Panitia Sembilan dan disetujui pada 22 Juni 1945. Panitia sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).  

BPUPKI sendiri merupakan badan bentukan pemerintah Jepang kala itu. Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dengan membentuk BPUPKI dengan tujuan penduduk Indonesia membantu Jepang dalam perang pasifik. Kondisi Jepang saat itu sangat terjepit dan lemah.  

Baca Juga

Dalam buku Piagam Jakarta karya Linda Asy Syifa disebutkan, bahwa pada 7 September 1944 perdana menteri Kaiso mengumumkan pemberian janji kemerdekaan kepada Indonesia di kemudian hari. 

Yang kemudian diwujudkan Letjen Kumakici Harada pada 1 Maret 1945 dengan membentuk BPUPKI dan diberikan tugas untuk menyelidiki hal-hal yang menyangkut pembentukan negara Indonesia merdeka.  

BPUPKI memiliki anggota 67 orang Indonesia dan tujuh warga negara Jepang. BPUPKI diketuai KRT Radjiman Wediodiningrat dan dibantu oleh RP Suroso dan Ichibangse dari Jepang.   

Anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei 1945 di gedung Cuo Sangi in, Jalan Pejambon Jakarta (sekarang gedung Departemen Luar Negeri). BPUPKI mengadakan sidang sebanyak dua kali, yakni sidang pertama yang berlangsung pada 29 Mei hingga 1 Juni membahas rumusan dasar negara dan sidang kedua pada 10 Juli sampai 16 Juli membahas batang tubuh UUD Indonesia merdeka.  

Pada Sidang 29 Mei 1945, Mohammad Yamin mengajukan lima rumusan dasar negara Indonesia merdeka yakni, Peri Kemanusiaan, Peri Kebangsaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.  

Pada 31 Mei 1945, Soepomo mengajukan lima rumusan dasar negara Indonesia merdeka, yakni Kesatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawaroh, dan Keadilan Sosial. 

Pada 1 Juni 1945, Ir Soekarno mengajukan lima rancangan dasar negara Indonesia merdeka yaitu, kebangsaan Indonesia, Imternasionalisme dan peri kemanusiaan, Mufakat dan Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat itu Soekarno juga mengajukan nama dasar bagi Indonesia yaitu Pancasila.  

Karena rumusan-rumusan dasar negara yang berbeda ini, sehingga BPUPKI membentuk panitia kecil yakni Panitia Sembilan. Panitia sembilan ini berisi sembilan orang yang bertugas merumuskan dasar negara Indonesia. Sembilan orang ini di antaranya Ir Soekarno, Moh Hatta, Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakir, Abikoesno Tjockrosoejoso, H Agus Salim, dan AA Maramis.  

Pada 22 Juni 1945 panitia sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta. Berisikan : 

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan tersebut selanjutnya dibawa pada sidang BPUPKI kedua yakni 10 Juli 1945.  Piagam Jakarta ini diterima dengan baik hanya saja sebagian golongan yang bukan beragama Islam keberatan dengan sila pertama pada Piagam Jakarta tersebut. 

Diwakilkan seorang anggota BPUPKI, Latuharhary, menyampaikan keberatan tujuh kata dalam sila pertama.  

Sidang hari itu menjadi sidang paling alot untuk mempertahankan utuh sila pertama atau menghapuskannya sebagian. Dalam buku Pejambon 1945 Konsensus Agung Para Pendiri Bangsa, karya RM Daradjadi dan Osa Kurniawan Ilham disebutkan, bahwa Mohammad Hatta menyampaikan beberapa usulan perubahan. Salah satunya menyangkut sila pertama dalam Piagam Jakarta.

Yakni negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha-Esa, sedangkan kalimat "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dihapus.  

Hatta juga mengumpulkan beberapa orang yang dirasa mewakili golongan Islam yaitu KH Wahid Hasjim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Mohammad Hasan.  

Dalam ingatan Kasman, perdebatan berlangsung tajam. Mereka berusaha keras untuk melunakkan hati Ki Bagoes Hadikoesoemo yang sangat kuat menolak dihapuskannya tujuh kata pada sila pertama Piagam Jakarta.   

"Alam perjuangan menuntut kemerdekaan tanah air perlu persatuan yang bulat dan semua golongan untuk menghadapi musuh bersama, jangan sampai Belanda memecah belah kita dan mempergunakan golongan lain melawan golongan Islam dan sebagainya," ujar Teuku Hasan.   

Teuku Hasan mengatakan bahwa semua rakyat Indonesia ingin merdeka bukan berperang satu sama lain. Apabila tujuh kata tersebut dicantumkan, bisa jadi yang lain pun akan meminta sesuai keyakinannya.  

 

Naskah Piagam Jakarta

"Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh

keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. 

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaa kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Jakarta, 22 Juni 1945 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement