Senin 22 Jun 2020 16:48 WIB

Murah dan Tak Laku, Petani Gula lokal Kirim Surat ke Jokowi

Harga gula lokal jatuh akibat impor saat musim giling tebu

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Penjual menimbang gula pasir di Pasar Besar, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Para petani gula yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyurati Presiden Joko Widodo lantaran produksi gula lokal yang tak laku dan murah akibat importasi gula yang dibuka pemerintah.
Foto: ANTARA/Makna Zaezar/
Penjual menimbang gula pasir di Pasar Besar, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Para petani gula yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyurati Presiden Joko Widodo lantaran produksi gula lokal yang tak laku dan murah akibat importasi gula yang dibuka pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para petani gula yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyurati Presiden Joko Widodo lantaran produksi gula lokal yang tak laku dan murah akibat importasi gula yang dibuka pemerintah.

Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen dalam surat tertanggal 22 Juni 2020 menyampaikan, musim giling atau panen tebu 2020 sudah berjalan di semua pabrik gula. Namun, harapan petani tebu untuk memperoleh pendapatan yang layak seiring tingginya harga gula sebelum musim giling kandas.

"Harga gula di tingkat petani pada awal musim giling bulan Juni mengalami penurunan tajam, hanya laku Rp 10.800 per kg. Padahal, akhir bulan puasa masih laku Rp 12.500 hingga Rp 13 ribu per kg," kata Soemitro dalam suratnya, dikutip Republika.co.id, Senin (22/6).

Ia mengatakan, bahkan saat ini harga gula petani sudah turun lagi menjadi Rp 10.300 per kg, jauh di bawah biaya produksi rata-rata 2020 sebesar Rp 12.772 per kg. Menurutnya, situasi itu diakibatkan masuknya gula impor bersamaan dengan musim giling tebu.

Stok gula impor yang terus berdatangan ditambah produksi lokal membuat pasokan berlimpah. Pedagang dinilai enggan membeli gula petani karena masih memilki stok impor.

"Kami menilai penurunan harga gula musim giling tahun ini jauh lebih cepat dari tahun sebelumnya. Importir menikmati kenaikan harga gula sangat tinggi, petani gigit jari. Ini sungguh tidak adil," katanya.

Dengan kondisi itu, diprediksi harga gula akan terus turun hingga ke batas acuan pemerintah yang berlaku yakni Rp 9.100 per kg. Sebab, masa musim giling masih berlangsung empat hingga lima bulan ke depan. Acuan batas harga itu pun dinilai petani sudah tidak relevan dengan situasi riil.

Sementara, untuk harga di hilir yang berlaku saat ini sebesar Rp 12.500 per kg. "Patokan harga itu tetap berlaku dan tidak berubah selama empat tahun terakhir. Tahun 2020 ini menginjak tahun kelima. Ini tidak sesuai dengan kondisi biaya riil yang konsisten naik setiap tahun, termasuk juga inflasi yang naik tiap tahun," katanya.

Oleh karena itu, APTRI meminta Presiden Joko Widodo untuk bisa menyelamatkan harga gula petani yang cenderung tidak laku. Menurutnya, langkah itu bisa dilakukan dengan menaikkan besaran harga acuan pembelian gula petani sesuai dengan yang pernah disampaikan petani sejak tahun lalu.

"Kami mengusulkan gula di tingkat petani Rp 14.000 per kg, kami mohon maaf mengirim surat ke Bapak Presiden karena surat kami kepada Bapak Menteri Perdagangan sampai saat ini belum ada tanggapan," katanya.

Selain menyurati Presiden Joko Widodo, APTRI juga menyurati Komisi VI DPR RI. APTRI meminta agar dewan dapat menggelar rapat dengar pendapat bersama Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Menteri BUMN, perusahaan yang memperoleh izin imopr gula, serta pedagang gula guna mencari solusi penyelamatan gula petani. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement