Senin 22 Jun 2020 16:11 WIB

GNA Libya: Langkah Mesir Deklarasi Perang

Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi dinilai turut campur urusan internal Libya.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Tentara Libya merayakan kemenangan setelah merebut kota Tarhuna dari milisi pemberontak Khalifa Haftar di barat Libya pada 5 Juni 2020. ( Hazem Turkia - Anadolu Agency )
Foto: Anadolu Agency
Tentara Libya merayakan kemenangan setelah merebut kota Tarhuna dari milisi pemberontak Khalifa Haftar di barat Libya pada 5 Juni 2020. ( Hazem Turkia - Anadolu Agency )

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Government of National Accord (GNA) mengecam intervensi militer Mesir di Libya, dan menyebutnya sebagai deklarasi perang. Presiden Mesir, Abdul Fattah al-Sisi telah memperingatkan jika pasukan GNA mendekati Sirte, maka akan ada intervensi langsung oleh Kairo.

Al-Sisi juga telah memerintahkan tentara Mesir agar siap melaksanakan misi di dalam maupun luar negeri untuk melindungi keamanan nasional di tengah ketegangan intervensi Turki di Libya. Menanggapi hal tersebut, GNA menyatakan, campur tangan Mesir terhadap urusan internal Libya telah mengibarkan bendera perang.

Baca Juga

"Langkah Mesir merupakan tindakan campur tangan langsung dan merupakan deklarasi perang," ujar pernyataan GNA, dilansir Aljazirah.

Pernyataan GNA tersebut muncul menjelang pertemuan virtual para menteri luar negeri Liga Arab di Libya. GNA menolak untuk berpartisipasi dalam pertemuan itu.

GNA berpendapat, campur tangan negara asing dalam urusan internal maupun kedaulatan Libya tidak dapat diterima. Libya terbuka untuk melakukan mediasi di bawah perlindungan PBB, dan menolak inisiatif sepihak atau ekstra-yudisial.

"Campur tangan urusan internal, serangan terhadap kedaulatan melalui deklarasi seperti yang dilakukan presiden Mesir atau dukungan terhadap milisi dan tentara bayaran, tidak dapat diterima," ujar pernyataan GNA.

Konflik di Libya terjadi sejak pemberontakan yang telah menggulingkan Muamar Qaddafi pada 2011. Sejak 2015, perebutan kekuasaan terjadi antara GNA yang berbasis di Tripoli dengan kelompok pemberontak yang dipimpin Khalifa Haftar di wilayah timur.

Haftar gagal merebut ibukota Tripoli sejak 2019 di bawah dukungan Mesir, Rusia, dan Uni Emirat Arab.

Sejak awal Juni, pasukan GNA berhasil menguasai Libya barat laut dan mengakhiri serangan Haftar di Tripoli. Namun, perjuangan GNA harus berhenti di luar kota pesisir Sirte yang menjadi titik strategis ke ladang minyak utama yang berada di bawah kendali Haftar.

Dalam sebuah pidato di televisi, Al-Sisi menyatakan, Sirte dan Al-Jufra adalah garis merah. Jika pasukan GNA melintasi garis tersebut, maka Mesir akan langsung melakukan intervensi di Libya. Sementara itu GNA menyatakan, semua wilayah di Libya adalah garis merah.

"Apa pun perselisihan antara orang-orang Libya, kami tidak akan membiarkan orang-orang kami dihina atau diancam," kata GNA dalam sebuah pernyataan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement