Senin 22 Jun 2020 12:45 WIB

Wabah Pes, Belanda Larang Umat Muslim Pakai Jubah Haji

Umat Muslim yang baru pulang berhaji dituding sebagai pembawa wabah pes pada 1910-an.

Jamaah haji baru tiba di Pulau Onrust
Foto: Kementerian Agama
Jamaah haji baru tiba di Pulau Onrust

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Ketika pertama kali muncul wabah pes –saat itu belum diketahui jenis penyakitnya, hal pertama yang diduga sebagai penular adalah orang-orang yang pulang dari naik haji dan pekerja Cina.  Sejak kehadiran Snouck Hurgronje di Hindia Belanda, jamak bahwa pelaksanaan haji menjadi pusat penularan penyakit menular.

Pengalamannya naik haji memberikan pengetahuan perlunya karantani bagi jamaah haji. Namun, misalnya, karantina yang ada di Konstantinopel. Hurgronje menilai tak memenuhi kelayakan, mulai dari cara pemindahan orang-orang dari perahu ke darat, hingga di rumah karantina yang buruk sanitasi, seperti ditulis De Sumatra Post, edisi 28 Juni 1909, mengutip surat Hurgronje.

Namun, untuk dugaan penularan pes di Jawa berasal dari orang-orang yang pulang dari Tanah Suci tak terbukti. Saat serangan penyakit itu muncul di Malang Oktober-November 1910, jamaah haji dari Jawa belum tiba di Tanah Air. Lalu dugaan tinggal satu, yaitu dari Cina. Namun juga tak terbukti, hingga akhirnya ditemukan penyebab pastinya, ketika tikus-tikus di gudang beras di Malang banyak yang mati. Ada kutu pes yang terbawa di beras yang diimpor dari Myanmar (dulu namanya masih Burma).

photo
Barak karantina haji di Pulau Onrust - (Kementerian Agama)

Pes juga sudah mewabah di berbagai negara. Maka, orang-orang yang baru pulang haji saat itu pun tetap dikarantina. Pulau Onrust di Kepulauan Seribu, sejak 1911 dijadikan sebagai tempat karantina haji hingga 1940, sebelum berganti sebagai tempat tawanan orang-orang Jerman.

Maka, desakan pelarangan berhaji yang semula sangat politis, ketika ada wabah ini pun pelarangan diarahkan ke persoalan ancaman wabah itu. Saat itu belum ada keterlibatan pemerintah menetapkan kuota haji, jadi orang-orang Jawa naik haji berdasarkan kenginan mereka berangkat.

Dan koran-koran Belanda, termasuk De Tijd (25 Juli 1910), mencatat orang Jawa naik haji bukan karena motif agama, melainkan karena martabat. Setelah pulang dari Tanah Suci akan dianggap sebagai orang suci, maka, masyarakat awam tak bisa menolak jika orang-orang suci mempunyai keinginan kepada mereka.

Banyak saran, semula pelarangan haji perlu dilakukan karena alasan ini. Namun pada 1911 muncul pandangan bahwa haji tak perlu dilarang karena itu bagian dari orang-orang Islam menjalankan agamanya. Pemerintah cukup diminta melarang penggunaan pakaian jubah dan surban bagi orang-orang yang sudah berhaji. Inilah saatnya, saat ada wabah pes.

Ada juga usulan melakukan degradasi jubah haji. Seperti yang ditulis Het Vaderland edisi 20 Juli 1911, pemerintah Hindia Belanda perlu membagi-bagikan jubah haji ke anggota tentara pribumi untuk dipakai mereka.

photo
Jamaah Haji tengah berkumpul di Pulau Onrust 1910-1029 - (Arsip Nasional RI)

Dengan cara ini diharap akan muncul pandangan bahwa berhaji akan sia-sia, karena tanpa berhaji pun bisa memakai jubah haji dan surban. Orang-orang awam tak akan bisa membedakan mana yang haji palsu dan mana yang haji asli.

Untuk pelarangan jubah haji, menurut De Tijd, di satu desa hanya boleh satu yang mengenakan, yaitu modin. Kemudian, di satu wilayah administrasi asisten residen, yang boleh mengenakan jubah haji hanya satu penghulu dan satu naib.

Namun pada 1913 dan 1914, jamaah haji dari Hindia Belanda justru mencapai jumlah tertinggi sejak 1878. Pada 1913 ada 26.321 jamaah, pada 1914 ada 28.427 jamaah. Baru pada 1915 dan 1916 jamaah haji dari Hindia Belanda nihil. Pada 1917 hanya 72 jamaah, dan pada 1918 hanya 48 jamaah. Itu terjadi karena pecah Perang Dunia I, sehingga kapal ke Jeddah tak bisa teratur jadwalnya.

Wabah pes saat itu cukup lama. Dari akhir 1910 hingga akhir dekade 1930-an. Betapa beratnya masa-masa, apalagi muncul wabah penyakit lain dan krisis ekonomi. Belum lagi harus berhadapan dengan pemerintah kolonial yang represif terhadap gerakan nasionalisme yang baru tumbuh. Pada akhir 1913 misalnya, dokter Tjipto dan Soewardi Soerjaningrat harus menjadi orang buangan karena sikap kritisnya.

Tjipto mengkritik pembiaran yang dilakukan pemerintah kolonial. Meminta sumbangan untuk perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis, tetapi membiarkan masyarakat di daerah wabah swadaya mengatasinya. Karena itu Tjipto mengusulkan pajak wabah, sehingga semua orang terlibat, tidak hanya mereka yang ada di daerah yang terkena wabah.

Pamflet yang dibuat Komite Boemi Poetera pada 13 Juli 1913, berisi tulisan Soewardi yang mengkritik rencana perayaan kemerdekaan itu pada November 1913, membuat pemerintah meradang. Tjipto selaku ketua Komite Boemi Poetera, Soewardi (sekretaris), Wignja di Sastra (bendahara), dan Abdoel Moeis (yang menerjemahkan tulisan Soewardi dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu) ditangkap pada 29 Juli 1913.

Koran tempat Tjipto bekerja, De Expres (23 Maret 1914), mendukung perlunya upaya itu, namun fokus pada swadaya pribumi di Jawa: “… mari berhitung kasar. Penduduk pribumi Jawa dikatakan ada 40 juta. Misalkan rata-rata menawarkan satu gobang per jiwa, dan itu masih mungkin, maka ini sudah satu juta gulden.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement