Sabtu 20 Jun 2020 04:58 WIB

Khutbah Rasulullah Mengajari Amerika tentang Rasialisme

Kulit putih tak memiliki keunggulan dibandingkan kulit hitam, begitu juga sebaliknya.

Sejumlah Demonstran berbaring telungkup dengan tangan di belakang punggung mereka selama saat protes kematian George Floyd (46) di Oakland, California, AS, Rabu (10/6). Para demonstran berbaring di tanah selama delapan menit, 46 detik, lamanya waktu yang terkait dengan kematian Floyd oleh petugas yang menangkap dan menekankan lututnya pada leher pria kulit hitam yang tidak bersenjata tersebut. EPA-EFE / JOHN G. MABANGLO
Foto: EPA-EFE / JOHN G. MABANGLO
Sejumlah Demonstran berbaring telungkup dengan tangan di belakang punggung mereka selama saat protes kematian George Floyd (46) di Oakland, California, AS, Rabu (10/6). Para demonstran berbaring di tanah selama delapan menit, 46 detik, lamanya waktu yang terkait dengan kematian Floyd oleh petugas yang menangkap dan menekankan lututnya pada leher pria kulit hitam yang tidak bersenjata tersebut. EPA-EFE / JOHN G. MABANGLO

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ani Nursalikah*

Ketika orang-orang di Amerika Serikat ramai meneriakkan slogan Black Lives Matter (BLM), sesungguhnya hal itu sudah dimulai sejak ratusan tahun lalu oleh Nabi Muhammad SAW. Rasulullah dilahirkan di masa dimana kabilah Arab hidup menjunjung tinggi kesukuannya.

Berbagai kabilah tersebut saling menyombongkan diri karena merasa lebih baik dibanding yang lain. Dalam keadaan demikian, isu xenofobia dan prasangka kental dalam kehidupan sehari-hari suku-suku di Arab Saudi.

Itulah masa yang disebut dengan era jahiliyah, periode sebelum munculnya Islam, masa ketidaktahuan termasuk rasialisme. Rasulullah harus berjuang menentang gagasan menghakimi seseorang hanya dari warna kulit dan keturunan.

Salah satu contoh sikap antirasialisme yang ditunjukkan Nabi adalah persahabatannya dengan Bilal ibn Rabah. Bilal adalah seorang budak berkulit hitam. Ayah Bilal adalah seorang budak Arab, sementara ibunya adalah mantan putri Etiopia modern yang juga diperbudak.

Namun, Bilal memiliki suara yang indah. Karena itulah, ia ditunjuk menjadi pengumandang adzan. Saat itu, pemilihan Bilal menjadi muadzin juga mendapat pertentangan. Banyak yang menanggap Bilal tak pantas menerima posisi itu karena warna kulitnya. Namun, Rasulullah menunjukkan subordinasi berdasarkan warna kulit tidak memiliki tempat dalam Islam.

Dapat diperdebatkan, Nabi Muhammad adalah orang pertama dalam sejarah manusia yang menyatakan tanpa syarat bahwa tidak ada orang yang di atas yang lain berdasarkan ras atau etnis. Pernyataan ini dikristalisasi dalam salah satu pidato penting Nabi (khutbah terakhirnya) yang disampaikan di Gunung Arafat pada 632 M.

Dalam khutbah itu, Nabi Muhammad mengutuk rasialisme ketika beliau berkata, "Semua umat manusia adalah keturunan Adam dan Hawa. Orang Arab tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang non-Arab dan orang non-Arab tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang Arab. Orang kulit putih tidak memiliki keunggulan dibandingkan orang kulit hitam, atau orang kulit hitam tidak memiliki keunggulan. Superioritas atas orang kulit putih, kecuali dengan kesalehan dan tindakan yang baik."

Gelora semangat antirasialisme di AS mengemuka kembali setelah tewasnya seorang pria kulit hitam bernama George Floyd. Pria kulit hitam yang tak bersenjata itu tewas setelah seorang perwira polisi kulit putih di Minneapolis, kota di Minnesota, menekan satu lutut ke leher Floyd. Polisi tersebut melakukannya selama delapan menit hingga Floyd tak bisa bernapas dan meninggal.

Sejumlah kelompok dari berbagai kalangan menyerukan aksi melawan rasialisme di AS. Aksi itu pun meluas ke sejumlah kota di Amerika hingga ke negara lain. Di AS bahkan, protes pecah hingga menjadi aksi pengrusakan dan penjarahan.

Kembali ke Rasulullah, tahukah Anda Nabi pun memiliki tujuh sahabat yang berkulit hitam? Mereka adalah orang-orang setia kepada Nabi dan rela menjadi martir demi membela agama Allah.

Nabi menangisi sahabat-sahabatnya tersebut yang syahid dalam pertempuran. Nabi juga menegur mereka yang meremehkan sahabat-sahabatnya itu hanya karena mereka berkulit hitam.

Ajaran Nabi Muhammad tentang kesetaraan ras telah mengilhami kehidupan el-Hajj Malik el-Shabazz, yang lebih dikenal sebagai Malcolm X.

Dia adalah pemimpin hak-hak sipil kulit hitam Muslim yang memerangi rasialisme pada 1950-an dan 1960-an di AS. Setelah melakukan ibadah haji ke Kota Makkah, Malcolm menulis suratnya yang terkenal dari Makkah. Berikut tulisannya.

"Ada puluhan ribu peziarah dari seluruh dunia. Mereka semua berwarna, dari pirang bermata biru, ke Afrika berkulit hitam. Namun, kami semua berpartisipasi dalam ritual yang sama, menunjukkan semangat persatuan dan persaudaraan yang pengalaman saya di Amerika telah membuat saya percaya tidak akan pernah ada antara yang putih dan yang nonputih."

Ia menambahkan, dirinya belum pernah melihat persaudaraan yang tulus dan sejati dilakukan umat, terlepas dari warna kulit mereka. Haji bagi Malcolm mewakili pergeseran dari rasialisme menuju kesetaraan ras.

Bisa dilihat Rasulullah adalah sosok pembaharu dan visioner di zamannya. Dia berpikir tak ada satu hal pun yang membedakan manusia di mata Allah, kecuali ketakwaannya. Menurut Nabi, kesukuan yang mengakar pada zaman itu layaknya kanker berbahaya yang menuntut loyalitas kesukuan, meski artinya harus menindas yang lain.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13)

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement