Jumat 19 Jun 2020 04:31 WIB
Buya Hamka

Bung Hatta dan Buya Hamka: Demokrasi Kita di Tahun 1960-an

Kisah bung Hatta dan Buya Hamka tentang jalannya demokrasi di era Sukarno

Wakil Presiden Moh Hatta di stasiun Yogyakarta menyambut pejuang Siliwangi yang melakukan hijrah.
Foto: gahetna.nl
Wakil Presiden Moh Hatta di stasiun Yogyakarta menyambut pejuang Siliwangi yang melakukan hijrah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pada hari ini di tengah hiruk pikuk kontroversi soal RUU Haluan Pancila sekiraanya menjadi keren mengingat situasi demokrasi di Indonesia di dekade 1960-an. Kebetulan kala itu, bergaung kencang sekali ke publik istilah Tri Sila, Eka Sila yang kini sibuk dijadikan kontroversi karena dicantumkan pada pasal 7 RUU tersebut. Kala itu Presiden Soekarno kerapkali mengucapkan kembali konsep ini terutama ketika berpidato di depan masa pendukungnya pada peringatan pidato hari Pancasila pada 1 Juni 1965.

Namun semua tahu karena lima tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1960 ada dunia politik sempat geger karena ada tulisan dari  Proklamator dan mantan Wakiil Presiden Moh Hatta berjudul "Demokrasi Kita" yang terbit pada tahun 1960 dan dimuat pertama kali oleh Majalah Panji Masyarakat. Dan kebutelan pula semalam ada kiriman berbentuik PDF dari DR Suryadi yang mengajar di Universitas Leiden Belanda mengenai artikel itu. Memang tak lengkap tapi isinya lumayan, karena termuat beberapa artikel penting di dalamnya.

Hal yang penting lagi dari kiriman PDF buku 'Demokrasi Kita' karya Bung Hatta dari arsip yang tersimpang di Leidein, ternyata buku itu diberi pengantar oleh Buya Hamka yang beberapa tahun kemudian masuk terungku penjara akibat dianggap menjadi lawan politik Bung Karno. Akibat lainnya, karena memuat artikel ini Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Hamka juga terkena breidel.

 

Uniknya, artikel ini meski ditulis oleh seorang pendiri bangsa tulisan Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita ini dapat dibilang sangat berani, bahkan 'nekad' karena secara langsung mengkritik posisi kekuasaan yang dijalankan Presiden Sukarno. Hatta tanpa canggung menyebut soal "kudeta" dan "diktator" seperti yang disebut Mahfud dan ramai dibincangkan dalam sebuah talkshow yang digawangi wartawan senior Karni Ilyas itu beberapa waktu lalu.

Ini misalnya

:

Demokrasi Kita: Idealisme dan Realitas Serta Unsur yang ...

.....Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh rakyat, sebelum pekerjaanya membuat Undang-undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-undang Dasar tahun 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’état (kudeta--Red), ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota anggota partai dan separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, cendekiawan, tentara dan polisi. Semua anggota ditunjuk oleh Presiden.

Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri.

Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu.....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement