Jumat 19 Jun 2020 01:54 WIB

Bersiaplah Menyambut Badai Resesi

Menjaga daya beli masyarakat menjadi penting pada masa sekarang

Nidia Zuraya
Foto: republika
Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nidia Zuraya*

Resesi ekonomi tampaknya tak bisa dihindarkan pada tahun ini. Tak main-main, badai resesi ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19 ini sudah terasa di negara-negara top 20 ekonomi terbesar di dunia versi Dana Moneter Internasional (IMF).

Baru-baru ini Australia, misalnya, mengumumkan bahwa negara tersebut mengalami resesi pertamanya dalam 29 tahun terakhir akibat pandemi Covid-19. Angka resmi menunjukkan ekonomi Australia susut 0,3 persen dalam tiga bulan pertama tahun ini. Bahkan, Gubernur Reserve Bank of Australia Philip Lowe mengatakan, negara itu menghadapi kondisi terberat sejak Great Depression tahun 1930-an.

Bulan lalu Jepang jatuh ke dalam resesi untuk pertama kalinya sejak 2015. Negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu menyusut pada laju tahunan sebesar 3,4 persen dalam tiga bulan pertama tahun ini.

 

Sebelumnya, Jerman, ekonomi terbesar Eropa, tergelincir ke dalam resesi. Sementara itu, ekonomi besar lainnya, termasuk Inggris dan Amerika Serikat, juga mengalami penurunan tajam.

Laporan kebijakan moneter terbaru menunjukkan ekonomi Inggris terjun ke dalam resesi pertama dalam lebih dari satu dekade. Ekonomi menyusut sebesar 3 persen pada kuartal pertama 2020, diikuti oleh penurunan 25 persen yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam tiga bulan hingga Juni.

Hal ini akan mendorong Inggris ke dalam resesi teknis, yang didefinisikan sebagai dua kuartal berturut-turut dari penurunan ekonomi. Resesi secara luas didefinisikan sebagai dua perempat dari deretan kontraksi ekonomi atau menyusutnya produk domestik bruto (PDB).

Untuk tahun secara keseluruhan, ekonomi Inggris diperkirakan berkontraksi sebesar 14 persen. Hal ini akan menjadi penurunan tahunan terbesar dalam catatan, menurut data Office for National Statistics (ONS) sejak 1949. Hal ini juga akan menjadi kontraksi tahunan paling tajam sejak 1706, menurut data Bank of England yang direkonstruksi kembali ke abad ke-18.

Jauh sebelum negara-negara ekonomi besar dunia ini mendeklarasikan jatuh ke dalam jurang resesi, pemimpin Singapura sudah mengingatkan warganya untuk bersiap menghadapai resesi ekonomi. Pada pertengahan Februari 2002, Perdana Menteri Lee Hsien Loong mengatakan, ekonomi Singapura dapat memasuki resesi akibat wabah virus corona baru (Covid-19). Ekonomi Singapura pada kuartal II tahun ini diprediksi bakal minus hingga 6,8 persen.

Bagaimana dengan perekonomian Indonesia?

Pada Selasa (16/6) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut kontraksi ekonomi menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan pada kuartal kedua. Ia bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai negatif 3,1 persen dibandingkan kuartal kedua tahun lalu.

Prediksi Sri Mulyani ini lebih baik dibandingkan prediksi Bank Dunia. Ekonom senior Bank Dunia Ralph van Doorn memprediksikan perekonomian Indonesia tidak tumbuh untuk tahun ini.

Menurut skenario terburuk Bank Dunia, perekonomian Indonesia akan terkontraksi hingga 3,5 persen dari PDB. Skenario terburuk ini berdasarkan asumsi implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai April hingga Mei bahkan sampai Juni, melambatnya pertumbuhan investasi, makin melebarnya defisit APBN, dan gelombang PHK besar-besaran yang berdampak pada melambatnya konsumsi rumah tangga.  

Selama ini konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia. Konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap PDB, lebih dari 50 persen dari PDB.

Pelemahan konsumsi rumah tangga sudah terlihat sejak kuartal ketiga 2019 lalu. Pada kuartal pertama tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga sebagai komponen utama ekonomi Indonesia mengalami perlambatan signifikan menjadi 2,84 persen. Padahal, pada kuartal keempat tahun lalu konsumsi rumah tangga masih tumbuh 4,97 persen.

  

Dengan besarnya kontribusi konsumsi rumah tangga pada struktur PDB Indonesia, menjaga daya beli masyarakat menjadi sesuatu yang penting dilakukan dalam kondisi tidak normal seperti saat ini. Tak dapat dimungkiri daya beli masyarakat kita saat ini sedang lemah.

Gambaran nyatanya terlihat di peternakan ayam potong yang berjarak sekitar 2,5 kilometer dari kediaman saya. Selepas Lebaran kemarin, okupansi kandang ayam di peternakan tersebut masih terlihat padat. Tidak seperti selepas Hari Raya Idul Fitri tahun-tahun sebelumnya, dengan kondisi kandang-kandang di peternakan ayam tersebut selalu kosong.

Masih banyaknya stok ayam broiler hidup siap potong ini menunjukkan bahwa permintaan daging ayam selama Ramadhan hingga Hari Raya Idul Fitri kemarin mengalami penurunan drastis. Jika dikatakan sepinya permintaan ayam potong karena harga ayam melonjak, faktanya setiap kali bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri tiba komoditas daging ayam termasuk yang melonjak harganya.

Toh, meski harganya naik pada Lebaran tahun-tahun yang lalu, permintaan daging ayam tetap tinggi. Pasalnya, menghidangkan menu ayam opor di meja makan saat Hari Raya Idul Fitri sudah menjadi tradisi hampir di setiap rumah tangga Muslim di Indonesia.

Lantas, bagaimana agar daya beli masyarakat bisa tetap terjaga di tengah ketidaknormalan saat ini?

Untuk membantu meningkatkan daya beli masyarakat, pemerintah meluncurkan berbagai program bantuan sosial (bansos) seperti bansos tunai untuk 9 juta keluarga penerima manfaat, program BLT dana desa untuk 11 juta keluarga penerima, kartu sembako, Program Keluarga Harapan (PKH), dan program padat karya tunai. Pemerintah menganggap program bansos tersebut dapat meningkatkan daya beli masyarakat, selain juga masalah ketersediaan bahan pokok dan stabilitas harga sangat penting untuk terus diperhatikan.

Membaiknya daya beli masyarakat pada akhirnya bakal mendorong aktivitas industri manufaktur hingga usaha skala kecil menengah di dalam negeri. Namun, beragam bansos tersebut tidak cukup untuk mendongkrak daya beli masyarakat dalam sekejap. Bansos hanya bersifat menahan laju penurunan daya beli agar jika tetap turun, tetapi turunnya tidak terlalu dalam.

Solusi untuk jangka panjang agar daya beli masyarakat bisa terkatrol adalah ketersediaan lapangan kerja. Dengan mempunyai pekerjaan, masyarakat akan memiliki pendapatan untuk meningkatkan daya belinya.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement