Kamis 18 Jun 2020 13:43 WIB

Siswa Lulus tanpa UN, Bagaimana Rasanya?

Kelulusan siswa tahun ini ibarat sebuah pertandingan yang dimenangkan dengan WO.

Siswa-siswi mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Siswa-siswi mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Suasana kelulusan anak sekolah tahun ini terasa berbeda. Euforia kelulusan tak tampak terlihat. Terlihat datar.

Pengumuman kelulusan disampaikan via pesan WhatsApp (WA). Surat tanda kelulusan disampaikan langsung ke orang tua di hari berikutnya. Anak-anak cukup menunggu di rumah. Maklum, dunia dan juga Indonesia masih dilanda pandemi virus corona.

Benar-benar datar tanpa greget. Membuat pikiran saya melayang kembali ke masa sekolah dulu. Ketika kelulusan dari satu tingkat pendidikan dirayakan dengan sukacita walau tak berlebihan. Ada aksi corat-coret seragam. Atau foto-foto dengan teman se-gank.

Terasa banget keceriaannya. Terasa pelepasannya setelah berbulan-bulan menegangkan otak menghadapi persiapan ujian nasional (UN).

Tahun ini memang jauh berbeda. Bahkan rencana perpisahan sekolah yang sudah dirancang jauh-jauh hari juga dibatalkan

Anak-anak dilepaskan begitu saja dari sekolah. Mereka bahkan telah berpisah dari teman dan sahabat di sekolah jauh sebelum benar-benar dinyatakan lulus.

Banyak yang menyebut siswa lulusan tahun ini adalah lulusan corona. Karena tahun ini pandemi virus corona tengah merajalela. 

Beberapa tokoh dan pejabat membuat video-video terkait hal ini untuk memberi semangat buat anak- anak yang lulus pada tahun ini. Apakah anak-anak terhibur atau tidak? Saya tidak tahu. Yang jelas semua memang berbeda tahun ini.

Suasana kelulusan tahun ini sangat berbeda entah karena memang tengah dilanda pandemi ataukah karena dibatalkannya UN. Mungkin malah kedua faktor tersebut berpengaruh bagi perubahan suasana kelulusan siswa untuk tahun ini. Yang menurut saya sendiri adalah hambar.

Selain karena tak adanya perayaan kelulusan, tak adanya UN juga turut menyumbang kehambaran itu. Ibaratnya seperti sebuah pertandingan yang dimenangkan dengan WO. Menang tanpa bertanding.

Ketiadaan UN tahun ini sangat bisa dimengerti. Sangat bisa diterima. Entah bagaimana dengan tahun depan. Bila corona sudah pergi dan semua kembali normal. Akankah UN tetap akan ditiadakan seperti rencana pemerintah?

Sebagai warga negara saya hanya bisa manut mengikuti aturan yang sudah ditetapkan. Hanya saya berharap ketiadaan UN semoga benar-benar sudah dipertimbangkan baik buruknya. 

Apakah UN pasti ditiadakan ataukah hanya berganti format? Saya sendiri masih belum tahu bagaimana tahun depan. Mengingat tahun ini seharusnya tak bisa dijadikan tolok ukurnya.

Namun pemerintah sebaiknya hati-hati dalam membuat keputusan resmi dihapus atau tidaknya UN. Karena dengan metode apa pemerintah bisa secara pasti mengukur pemerataan kualitas pendidikan di seluruh pelosok Indonesia?

Perbedaan hasil UN siswa di daerah terpencil dan di kota besar mungkin akan sangat kentara. Tapi bukankah dengan adanya UN, pemerintah jadi punya indikator sejauhmana pemerataan pendidikan sudah berjalan di negeri ini? Sehingga untuk daerah yang masih tertinggal bisa lebih difokuskan untuk pembenahan sektor pendidikannya.

Ah tapi siapalah saya ini, cuma emak-emak yang punya ganjalan di hati. Bagaimana anak- anak Indonesia selalu menjadi kelinci percobaan di setiap pergantian pemerintahan. Ganti menteri pendidikan ganti kebijakan. Membuat saya mengerutkan kening...sampai kapan ada kestabilan sistem pendidikan di Indonesia? 

Yang dikhawatirkan, kalau masih mengikuti seperti sistem di tahun ini, di mana hanya nilai rapor yang jadi rujukan, bukankah itu sangat subyektif?

Sekolah-sekolah bisa saja mengobral nilai dengan murah kepada siswa-siswanya karena berharap siswa lulusan sekolahnya bisa melanjutkan ke sekolah negeri dengan gampang.
 
Atau semangat belajar siswa jadi menurun karena tak perlu susah-susah belajar, toh sekolah akan meluluskan siswa itu demi reputasi sekolah itu sendiri. Atau buat siswa yang rumahnya sangat dekat dengan sekolah negeri tujuan alias zonasi, ia tak perlu repot-repot belajar toh pasti akan diterima di sekolah itu karena dekat dengan rumahnya.

Berbeda dengan UN yang bisa dijadikan standar baku rata-rata penilaian. Walau memang harus diakui belum ada sistem yang sempurna betul. Namun alangkah baiknya UN tak dihilangkan atau dihapus sama sekali. Mungkin lebih bagus jika disempurnakan saja agar lebih berkeadilan dan tak terlalu membebani para siswa.

 
KIRIMAN Dinar Kencana Dewi (Blogger/www.jedadulu.com)

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement