Kamis 18 Jun 2020 00:10 WIB

PB HMI-MPO: Batalkan Saja RUU HIP

HMI menilai RUU HIP tidak ada untungnya buat negara karena justru menimbulkan kekisru

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Logo HMI.
Foto: Google.plus
Logo HMI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) masih menjadi polemik dan menuai penolakan dari berbagai pihak. Tidak hanya penolakan dari ormas-ormas Islam tapi juga dari berbagai organisasi mahasiswa. Bahkan, Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) mendesak agar RUU HIP dibatalkan saja.

"Kalau kita dari HMI tentu desakannya dibatalkan saja RUU HIP, tidak ada untungnya buat negara ini. Justru melahirkan kekisruhan saja ini kan kecurigaan kita ini akan menjadi alat penggebuk bagi demokrasi," tegas Ketua Umum HMI-MPO Affandi Ismail, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (17/6).

Affandi mengingat, jangan sampai RUU HIP ini menjadi undang-undang, karena akan sangat sulit untuk digugat atau dibatalkan. Kemudian juga berpeluang menjadi celah bagi kekuatan-kekuatan komunis misalnya untuk masuk bangkit kembali. Baginya, akan sangat berbahaya ketika komunisme menjadi satu idiologi, atau menjadi satu kekuatan partai yang terlembagakan.

"Sehingga dia menjadi sangat inklusif walaupun sebenarnya dari segi pemikiran dari segi konsep filosofi marxisme Komunisme itu adalah salah satu bangunan ideologi yang gagal," tambahnya.

Sebab, menurut Affandi, tidak memungkiri yang menjadi poin kekhawatiran daripada banyak ormas Islam adalah bangkitnya komunisme melalui RUU HIP ini. Apalagi TAP MPRS  XXV Tahun 1966 sebagai larangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan paham atau ajaran komunisme marxisme-leninisme tidak dicantumkan sebagai konsideran RUU HIP. Maka sangat wajar jika banyak pihak yang menentang bahkan menolak RUU yang tengah dibahas di DPR RI tersebut.

"Lagi pula kenapa DPR RI  harus membuat RUU itu. Selama ini atau setidaknya sejak 1966 usai partai komunis itu dilarang tidak ada masalah dengan Pancasila dan kita baik-baik saja. Tentu mengundang banyak kecurigaan, ada kepentingan apa dari RUU ini?" tanya Affandi dengan heran.

Belum lagi, kata Arfandi, sebenarnya dari aspek hukumnya, naskah akademik yang melatarbelakangi RUU HIP dinilai bermasalah. Bahkan, DPR dinilai mengabaikan aspirasi dari rakyat Indonesia yang memang mayoritas beragama Islam.

Kemudian yang paling parah adalah kegagalan di dalam membangun logika hukum. Dipahami bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Itu karena kedudukannya sebagai dasar negara sebagai filosofi bangsa sesuatu yang abstrak.

"Kalau kita di HMI, biarkan saja Pancasila menjadi satu filosofi bangsa,  tidak usah dipaksakan untuk dibuatkan haluannya. Karena menamakan Pancasila sebagai sebuah ideologi negara itu debatabel. Soekarno sendiri sebagai salah satu founding father tidak pernah menyebutkan Pancasila sebagai ideologi," ujarnya.

Dikatakan Affandi, meski pihak terkait telah membangun argumentasi bahwa RUU HIP tidak ada kaitannya dengan komunisme. Tetapi tetap saja menjadi kegelisahan bagi masyarakat luas, PKI sebagai bahaya laten. Harusnya, baik DPR RI maupun Pemerintah mendengar reaksi masyarakat yang menolak kehadiran RUU HIP yang sejak awal kemunculannya sudah bermasalah.

"Penamaannya RUU HIP menggunakan terminologi ideologi itu pun juga sudah debatebel. Kalau saya pribadi memahami bahwa pancasila itu sebagai filosofi, sebagai satu dasar bernegara yang tidak bisa diteruskan sebagai bangunan sebagai ideologi bangsa," tutur Affandi.

Terkait dengan Pancasila sendiri, Affandi mengakui, rezim orde baru khususnya, tahun 1986 pernah mencoba untuk menetapkan asas tunggal Pancasila. Kemudian HMI bersikeras menolak pemberlakukan asas tunggal Pamcasila tersebut. Jadi terkait dengan upaya negara untuk melakukan indoktrinasi melalui Pancasila sebenarnya HMI memiliki catatan sejarahnya.

"Negara mencoba memaksakan ormas untuk menggunakan asasnya itu. Tapi kami di HMI, alhamdulillah tetap teguh dengan mempertahankan asas Islam. Alhamdulillah sampai sekarang kita masih tetap bertahan," tegas Affandi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement