Rabu 17 Jun 2020 16:24 WIB

Pasar Belum Pulih, Pengusaha Hotel Pilih Wait and See

Situasi pandemi Covid-19 membuat orang tidak banyak melakukan kegiatan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pekerja beraktivitas di area kolam renang sebuah hotel di Kota Bandung, Kamis (11/6). Pengusaha perhotelan di Indonesia sebagian besar masih memilih wait and see untuk kembali beroperasi.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pekerja beraktivitas di area kolam renang sebuah hotel di Kota Bandung, Kamis (11/6). Pengusaha perhotelan di Indonesia sebagian besar masih memilih wait and see untuk kembali beroperasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha perhotelan di Indonesia sebagian besar masih memilih wait and see untuk kembali beroperasi. Pasalnya, pasar untuk industri perhotelan dinilai masih sangat minim sehingga bakal merugikan pengusaha jika memaksakan diri untuk kembali buka.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Haryadi Sukamdani, mengatakan, sektor pariwisata termasuk didalamnya perhotelan membutuhkan pergerakan manusia. Situasi pandemi Covid-19 membuat orang tidak melakukan kegiatan, baik akibat peraturan, pembatasan kegiatan, maupun karena kekhawatiran.

Baca Juga

Situasi sulit ini, kata dia, tentunya sangat tergantung kepada kepercayaan diri masyarakat untuk kembali beraktivitas. Namun untuk saat ini kegiatan perjalanan bukan hal yang mudah karena harus disertai dengan tes cepat Covid-19 dan mahalnya harga tiket pesawat.

"Mungkin, Juli baru mulai bisa dibuka, karena posisi cash flow hotel berat dan kehabisan modal. Ini jadi kendala, kebanyakan dari industri perhotelan masih wait and see," kata Haryadi dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (17/6).

Ia menuturkan, PHRI sudah mengajukan keringanan kepada pemerintah soal biaya listrik dan gas bulanan agar bisa dibayarkan sesuai penggunaan, bukan standar minimal penggunaan. Namun, keinginan itu tidak direstui. Sementara, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sebagai mitra kerja PHRI memiliki anggaran terbatas untuk bisa memberikan insentif.

Alhasil, menurutnya, upaya-upaya yang diberikan pemerintah untuk meringankan beban industri perhotelan tidak begitu terasa. Industri tetap harus memutar otak untuk tetap bisa bertahan hidup hingga pandemi berakhir. "Dampak pandemi ke perhotelan memang luar biasa, lebih dari 2.000 hotel tutup dan 8.000 restoran tutup karena tidak ada aktivitas," kata Haryadi.

Kendati demikian, Haryadi menilai, kemungkinan masa pemulihan industri perhotelan bisa dipercepat. Pasalnya masyarakat Indonesia terlihat sudah mulai meningkatkan aktivitasnya pasca mulai adanya berbagai pelonggaran sejak 8 Juni 2020 lalu. Meski belum seluruhnya disiplin terhadap protokol kesehatan, kesadaran masyarakat untuk menjaga keamanan dirinya terlihat meningkat.

"Melihat ini kita cukup lega, meski belum semuanya disiplin tapi orang sudah hati-hati," katanya.

Di sisi lain, kegiatan pertemuan yang dilakukan oleh pemerintah di hotel juga akan sangat membantu industri. Sebab, sekitar 30 persen pasar dari industri perhotelan disumbang dari anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah dalam perjalanan dinas dan menginap di hotel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement