Rabu 17 Jun 2020 13:34 WIB

Meminimalkan Risiko Covid-19 di KRL

Penggunaan ponsel di KRL bisa meningkatkan risiko penularan Covid-19.

Sejumlah penumpang KRL Commuter Line berada di dalam gerbong yang telah diberi marka jarak sosial di Stasiun Bogor, Jawa Barat, Kamis (11/6/2020). PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) melakukan berbagai upaya dalam pengaturan penumpang KRL Commuter Line terkait pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19 dengan menerapkan pembatasan penumpang di dalam KRL sesuai marka-marka jarak sosial.
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Sejumlah penumpang KRL Commuter Line berada di dalam gerbong yang telah diberi marka jarak sosial di Stasiun Bogor, Jawa Barat, Kamis (11/6/2020). PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) melakukan berbagai upaya dalam pengaturan penumpang KRL Commuter Line terkait pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19 dengan menerapkan pembatasan penumpang di dalam KRL sesuai marka-marka jarak sosial.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Antara

Telepon pintar atau gawai kini seolah tidak bisa dipisahkan dari setiap orang, termasuk saat bepergian menggunakan commuter line atau KRL. Padahal, ternyata virus termasuk corona SARS-CoV2 (Covid-19) bisa menempel di gawai atau telepon pintar selama lima hari.

Baca Juga

Hal itu diungkapkan dokter spesialis penyakit dalam Junior Doctor Network Edward Faisal. Menurut dia, penggunaan gawai atau ponsel saat berada di KRL bisa meningkatkan risiko penularan.

"Karena material handphone bisa terbuat dari plastik dan ada yang metal. Saat virus menempel di gawai kita maka itu bisa bertahan sampai lima hari, apalagi kalau ada orang berbicara maka droplet bisa menempel di gawai kita," ujarnya saat konferensi pers virtual bertema "Rombongan Kereta Mantul yang Santuy Antre dan Anti Kuman", di akun Youtube Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Rabu (17/6).

Karena itulah, dia menambahkan, mengeluarkan ponsel dan menggunakannya selama di KRL berisiko untuk penumpang dan orang-orang di rumahnya. Karena itu, ia menyarankan sebaiknya tidak mengeluarkan ponsel selama perjalanan menggunakan KRL.

Selain tak bermain ponsel, ia meminta pengguna KRL juga menjaga jarak. Pasalnya, ia menyebutkan, sering kali pengguna KRL berdesak-desakan selama di stasiun atau di KRL.

"Padahal, sebetulnya secara penelitian, jarak yang aman dan disarankan itu paling sedikit 1 meter. Kenapa? Karena pada saat orang batuk, droplet itu jatuh sejauh bisa 1 meter," katanya.

Ia pun meminta masyarakat pengguna KRL menjaga jarak dengan yang lain, termasuk pasangannya sendiri. Kalau masih nekat mengobrol, ia menyebutkan, seseorang saat berbicara bisa mengeluarkan droplet kecil selama 15 menit menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Karena itu, ia menegaskan, pengguna KRL penting dan disarankan selalu pakai masker wajah untuk menahan penularan virus.

Lebih lanjut, ia juga meminta masyarakat saat akan pergi dengan KRL bisa mengantre dan tidak menyerobot. Jika pelanggaran itu tetap dilakukan, dia melanjutkan, hal ini menjadi risiko untuk penyerobot.

"Kenapa? Karena bisa saja dia (penyerobot) melewati orang tanpa gejala (OTG) dan kemudian saat berdekatan bisa menularkan atau terhirup virus itu. Itu yang berbahaya," katanya.

Salah seorang pengguna kereta, Rachma Rini, mengatakan, rata-rata penumpang di dalam kereta tidak mungkin tidak memegang telepon genggam karena mereka biasanya mennonton, baca Alquran, atau main gim. "Tapi, kalau bercakap-cakap atau menerima telepon itu itu sudah jarang," katanya.

Ia pun mengaku jika ada yang menelepon saat masih di dalam kereta biasanya tidak akan diterima untuk menghindari berbicara dan mengeluarkan droplet kecil. Meski demikian, dia mengakui masih sulit untuk tidak mengeluarkan telepon genggam di dalam kereta.

Perubahan Perilaku
Ahli epidemiologi dari Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatra Barat, Defriman Djafri PhD, mengatakan, perubahan perilaku kesehatan masyarakat dapat menjadi salah satu kunci dalam menghadapi kebijakan normal baru. "Yang perlu diperhatikan masyarakat dalam menghadapi normal baru adalah vaksin. Vaksin saat ini sebenarnya adalah bagaimana upaya perubahan perilaku terhadap Covid-19," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Rabu (17/6).

Pada tatanan era normal baru masyarakat harus bisa menyesuaikan kebiasaan atau pola hidup yang baru pula, terutama dari sisi perlindungan kesehatan. Sebagai contoh, bagi sebagian besar masyarakat sebelum pandemi Covid-19 terjadi, menggunakan masker dalam kehidupan sehari-hari mungkin jarang dilakukan.

Namun, perilaku atau kebiasaan tersebut saat ini tidak bisa lagi diterapkan. Setiap individu yang ingin bepergian keluar rumah wajib menggunakan masker.

Secara umum, menurut dia, peningkatan aktivitas masyarakat selama normal baru juga harus dibarengi pula dengan peningkatan protokol kesehatan. "Menjaga jarak dan peningkatan kebersihan diri ini menjadi kunci utama agar terhindar dari paparan virus dan penyakit lainnya," kata Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unand tersebut. Menurut Defriman, apabila masyarakat bisa menerapkan perubahan perilaku dari sisi kesehatan, hal itu bisa menjadi modal dasar dalam menghadapi normal baru.

Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif PhD juga menyarankan pemerintah menerapkan kebijakan normal baru secara bertahap guna mengantisipasi peningkatan penyebaran virus corona atau Covid-19. "Penerapan bertahap ini bertujuan agar kita memudahkan mengontrol apabila ada temuan kasus baru," kata dia.

Sebagai contoh, penerapan bertahap di sektor pendidikan adalah proses belajar-mengajar anak didik masuk per gelombang. Misalnya, pada gelombang pertama terdapat 10 anak yang masuk kelas. Kemudian, selama 14 hari ke depan, evaluasi atau pemeriksaan dilakukan, apakah mereka aman dari virus atau tidak.

Jika tidak ada yang terinfeksi virus, anak didik gelombang kedua bisa masuk kelas dan begitu selanjutnya dengan mengikuti protokol kesehatan yang ditetapkan. "Langkah ini bisa dilakukan pada komunitas tertutup, misalnya pondok pesantren," ujarnya.

Selain di ranah pendidikan, Syahrizal juga menyoroti bahwa penerapan normal baru yang produktif dari sisi ekonomi bisa dilakukan, tetapi dengan beberapa catatan. Pertama, untuk pasar tradisional seharusnya pemerintah lebih meningkatkan perlindungan kesehatan para pedagang, bukan malah membatasi dengan cara kebijakan ganjil-genap kepada pedagang. Perlindungan tersebut bisa dilakukan dengan cara menyediakan masker, fasilitas cuci tangan, face shield atau alat pelindung muka, hingga sekat-sekat berupa plastik antara pedagang dan pengunjung.

Ia menekankan, pengetatan protokol kesehatan harus lebih diutamakan kepada pedagang. Pasalnya, satu orang pedagang bisa berinteraksi langsung dengan puluhan hingga ratusan orang dalam satu hari di tempat yang sama. Sementara itu, di pusat perbelanjaan modern atau mal, ia menilai seharusnya protokol kesehatan bisa jauh lebih ketat melalui penerapan satu pintu masuk dan satu pintu keluar.

photo
Kemenhub menerbitkan aturan perjalanan transportasi darat pada masa adaptasi baru. - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement