Rabu 17 Jun 2020 06:20 WIB

UMM Kembangkan Padi 400 Bulir per Batang

UMM memberi nama varietas padi unggul ini UM2-400.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Andi Nur Aminah
Dosen dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengembangkan padi dengan 400 bulir per batang.
Foto: dok. Humas UMM
Dosen dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengembangkan padi dengan 400 bulir per batang.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dosen dan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) berkolaborasi mengembangkan produk unggulan demi ketahanan pangan keluarga pada masa pandemi Covid-19. Salah satu produk unggulannya adalah pengembangan padi dengan 400 bulir per batangnya.

Dosen UMM, David Hermawan, mengatakan, satu batang pohon padi biasanya hanya menghasilkan 125 sampai 200 bulir. Namun, melalui teknologi yang dikembangkan tim Fakultas Pertanian dan Peternakan (FPP) UMM, satu batang bisa berisi 400 bulir padi. "Uji perdana sukses. UMM memberi nama varietas padi dengan UM2-400," kata David melalui pesan resmi yang diterima Republika.co.id, Selasa (16/6).

Baca Juga

Padi varietas baru dengan kode UM2-400 ini merupakan silangan dari beberapa padi varietas lokal di Jawa Timur. UM2-400 adalah varietas lokal yang dikembangkan FPP dengan menggunakan teknologi khusus. Padi yang dikembangkan oleh David, dosen Wahono, dan para mahasiswanya ini telah panen pada April lalu.

Menurut David, pembibitan benih dan pengolahan tanah menggunakan pupuk organik. Ia menggunakan pupuk jenis cair dan kandang yang merupakan hasil praktikum mahasiswanya. Karena tidak memakai pestisida, penyemprotannya memakai teknologi drone.

Dia juga mengatakan, bibit yang mereka kembangkan itu unggul sehingga tahan hama. Selain itu, batangnya kuat dan tahan angin. Dengan konsep seperti ini diharapkan tidak ada fenomena padi yang ambruk akibat tidak memiliki batang kuat.

Beras varietas unggul ditanam di area persawahan milik UMM, Tegalgondo, Kabupaten Malang. Dia menjelaskan, kelebihan dari varietas ini memiliki produksi yang dapat lebih banyak daripada umumnya. Sementara itu, masa panen tidak berbeda, yakni sekitar 105 hari.

Menurut David, beras unggulannya dapat memproduksi dua sampai tiga kali daripada biasanya. "Kalau nasional kan biasanya standar 5,1 ton per hektare. Kalau pakai varietas ini bisa 12 ton per hektare, dengan biaya produksi lebih murah, Rp 15 juta per hektare. Kalau pertanian konvensional rata-rata Rp 20 jutaan per hektare,” katanya.

David berharap varietas berasnya bisa menunjang swasembada pangan. Jika pemerintah mau, mereka tidak perlu impor beras dan mengurangi devisa negara. Dengan demikian, Indonesia bisa menghasilkan beras dengan produktivitas tinggi dan sehat karena tidak menggunakan pupuk kimia.

Apabila varietas beras unggulan ini dipakai di Malang Raya, kebutuhan beras akan tercukupi, bahkan lebih. "Kita punya sekitar 70 ribu hektare. Kalau misal 70 ribu hektare kali rata-rata 10 ton saja, berarti ada 700 ribu ton lebih. Saya kira sebenarnya sangat cukup memenuhi kebutuhan pangan se-Malang Raya,” ucap David.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement