Rabu 17 Jun 2020 04:21 WIB

Mimpi Seorang Istri (Bagian Pertama)

Nugroho mencintainya dengan seluruh detak jantungnya.

Sepasang Suami-Istri (ilustrasi)
Foto:

Tiga bulan sudah Nugroho sering ngopi di warungnya Arianah, kadang dia ajak Arianah ngobrol di restoran fast food di jalan besar, kira-kira 10 menit jarak naik angkot dari depan gang rumah Arianah. Anak-anaknya Arianah sudah kembali bersekolah atas biaya Nugroho, Arianah tetap buka warung yang sekarang lebih banyak barangnya, pertemuan demi pertemuan terus berlangsung, kegiatan itu seperti memupuk cinta mereka kembali seperti zaman sekolah dulu.

Tiga bulan sudah Nugroho selalu memanjatkan doa dalam tiap Shalat Tahajudnya. "Ya Allah jika cinta yang Engkau munculkan di hati hamba hanya sekedar nafsu belaka, maka hilangkanlah. Tetapi jika Engkau memberiku amanah dalam rasa cinta ini maka berilah aku jalan untuk mewujudkannya dalam ikatan ibadah pernikahan."

Demikian terus menerus doa yang dipanjatkan Nugroho, dia ingin menikahi Arianah, tetapi tentu saja tidak ingin menyakiti hati istrinya yang telah menemaninya sekitar 20 tahun dalam suka dan duka. Nugroho mencintai istrinya dengan cinta yang sama sejak dia jatuh cinta 20 tahun lalu, dan tetap seperti itu meski sekarang salah satu bilik hatinya telah dihuni oleh Arianah, cinta masa lalunya.

Ada sebuah ketidakmungkinan untuk mengatakan kepada istrinya bahwa dia ingin menikahi Arianah, jangankan mengatakannya, kenal pun tidak Indri –istrinya kepada Arianah. Apa nanti Indriana tidak tiba-tiba pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit jika dia mengungkapkan keinginannya. Nugroho pusing tujuh keliling.

Pintu ruangannya ada mengetuk.

“Masuk..” kata Nugroho.

Lolita karyawati bagian purchasing masuk membawa buku yang harus dia periksa. “Ini Pak, perngiriman hari ini, pesanan dari El-Jazirah busana Muslim sudah dikirim tadi pak, 20 potong sesuai pesanan, 10 setel ke toko Aurora dan 120 potong pakaian seragam SMP Tarakanita besok siang dikirim,” Lolita kasih laporan.

Nugroho periksa sebentar, bolak balik halaman. “Ya ok," katanya sambil memberi paraf di setiap item dan menutup buku dan menyerahkan kembali pada Lolita.

“Oh iya Pak, Mang Dadang listrik hari ini minta kasbon dua ratus ribu pak," kata Lolita lagi sambil menatap kepadanya.

“Ya sudah kasih aja, dia punya kasbonan nggak bulan lalu?” tanya Nugroho.

“Masih sisa pak, lima puluh ribu lagi,” jawab Lolita

“Ya sudah kasih aja," jawab Nugroho sambil menyandarkan dirinya ke sandaran kursi.

“Baik pak, terima kasih," jawab Lolita sambil mengambil buku dan membawanya.

“Ya..” jawab Nugroho.

Sepeninggal Lolita, kembali pikiran Nugroho ke alam ketidakmungkinannya. Tidak mungkin bicara ke istrinya, kepada siapa pun, dia menghela nafas, dan menutup laptopnya, siap-siap pulang. Pikirannya berat, tapi tidak ada jalan keluar.

Indriana cantik, semua kriteria perempuan cantik ada pada dirinya, di usia pernikahan mereka yang hampir memasuki tahun ke-20, Indriana tetap mampu menjaga tubuhnya agar tidak menjadi gemuk. Padahal bagi Nugroho mau gemuk mau kurus mau sedang dia tetap cinta saja.

Rambut Indriana masih hitam meskipun ada selembar dua lembar uban di usianya yang baru saja masuk 40 dengan dua orang buah hati, Indriana masih seperti umur 30-an. Nugroho mencintainya dengan seluruh detak jantungnya. Berhadapan dengan sambutan istrinya seperti ini setiap petang, keberanian Nugroho untuk mengatakan ingin menikahi Arianah menciut dan mengecil sekecil-kecilnya hingga tak terlihat.

Waktu belum menunjukkan pukul 03.00 dini hari, tiba-tiba Indriana memangunkan Nugroho. “Ayah.. ayah… bangun.”

Nugroho tersentak kaget.

“Ada apa sayang," Nugroho terbangun dalam kaget dan langsung duduk.

Tiba-tiba Indriana menangis, menangis hingga tidak bisa bicara, dia memeluk suaminya erat-erat. Indriana menangis lama.

“Ada apa sayang,” Nugroho bertanya setelah istrinya reda menangis, tinggal sesenggukan. “Aku mimpi," katanya.

“Mimpi apa, mimpi buruk?” Nugroho cemas bertanya.

“Aku mimpi ayah menikah lagi,” kata istrinya.

Seribu geledek seakan menyambar Nugroho, wajahnya memucat seperti kapas, tapi untung kamar mereka hanya diterangi lampu tidur disudut ruangan. Sejenak Nugroho tercekat, dia memilih kata yang tepat tetapi kata-kata itu seperti berlarian tidak mau dipakai.

“Ap… apa…?" kata Nugroho, itu dululah kata yang dipakai.

“Ah itu hanya mimpi, aku tidak menikahi siapa-siapa selain dirimu.”

Nugroho membelai-belai rambut istrinya, tangisnya sudah reda.

“Tapi dalam mimpiku perempuan yang ayah nikahi terlihat tua, miskin dan punya anak banyak, perempuan semua,” istriku berkata, tidak ada nada kemarahan dalam suaranya.

“Ayah tidak menikahi siapa-siapa kan?” istrinya bertanya dan menatap dalam-dalam bola mata suaminya, mencari kebenaran, dan dia menemukan kebenaran itu.

“Tidak sayang, istriku hanya kamu satu,” jawab suaminya. “Tidak ada yang lain,” Nugroho melanjutkan.

BERSAMBUNG

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement