Selasa 16 Jun 2020 14:58 WIB

Menunggu Solusi Minimnya Akses Pendidikan Selama Pandemi

Pemerintah belum mencarikan solusi minimnya akses internet hingga listrik.

Hingga saat ini masih banyak sekolah atau satuan pendidikan dan peserta didik yang memiliki hambatan untuk mengimplemtasikan PJJ. Pemerintah diminta cepat merumuskan solusi bagi murid dan sekolah yang terkendala.
Foto: Antara/Arnas Padda
Hingga saat ini masih banyak sekolah atau satuan pendidikan dan peserta didik yang memiliki hambatan untuk mengimplemtasikan PJJ. Pemerintah diminta cepat merumuskan solusi bagi murid dan sekolah yang terkendala.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Inas Widyanuratikah

Pemerintah sudah mengumumkan rencana belajar di tahun ajaran baru 2020-2021. Pemerintah namun dianggap baru sebatas mengumumkan rencana pembukaan sekolah di zona hijau.

Baca Juga

Belum ada solusi bagi permasalahan utama yang sudah terjadi selama tiga bulan belajar dari rumah akibat pandemi Covid-19. Pemerhati dan Praktisi Edukasi 4.0 Indra Chrismiaji menilai surat keputusan bersama empat menteri terkait pelaksanaan pendidikan di tahun ajaran baru 2020 belum sepenuhnya menyentuh persoalan. Teknis proses belajar mengajar yang diharapkan para pelaku pendidikan justru tak tersentuh.

Indra menilai, dari sisi pencegahan penyebaran wabah, SKB tersebut sudah baik. "Namun banyak hal mendasar yang harus menjadi domain Kemendikbud yaitu proses pengajaran dan pemelajaran yang sebenarnya ditunggu-tunggu oleh pihak manajemen sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan peserta didik tidak disentuh sedikitpun," kata Indra saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (16/6).

Direktur Eksekutif Center for Education Regulations & Development Analysis itu mengatakan, proses belajar mengajar tidak berubah dari saat Surat Edaran Mendikbud nomor 36962/MPK.A/HK/2020 yang diterbitkan bulan Maret yang lalu. Harusnya, kata dia, pada kesempatan ini sudah ada evaluasi bagaimana kegiatan belajar mengajar berjalan selama 3 bulan terakhir dengan konsep pembelajaran jarak jauh dalam jaringan.

Di samping itu, lanjut dia, mestinya sudah ada solusi bagaimana anak-anak Indonesia yang selama tiga bulan kemarin tidak dapat belajar karena minimnya akses. Ia mengatakan seharusnya sudah ada tindakan nyata dari pemerintah misalnya kolaborasi dengan Kemenkominfo, yang katanya setiap kantor desa sudah diakses internet melalui tol langit, Kementerian BUMN dengan Telkom, atau dengan Kemendes melalui dana desanya.

"Kalau ini dilakukan pasti sudah ada perkembangan jumlah anak bangsa yang bisa belajar selama pandemi ini. Kebijakan yang diumumkan hari ini tidak ada bedanya dengan kebijakan yang diambil 3 bulan yang lalu," ucap Indra.

Lebih lanjut, kata Indra, para pendidik dan tenaga pendidikan juga tidak disiapkan secara lebih matang bagaimana melaksanakan proses pembelajaran jarak jauh dalam jaringan yang efektif dan efisien.

Ia menilai, harusnya pemerintah mampu mengumpulkan para pakar dan tokoh-tokoh pendidikan tingkat nasional bahkan internasional jika perlu untuk memberi pelatihan dan pendampingan bagi para pendidik agar terjadi perbaikan dalam proses belajar mengajar pada tahun ajaran baru.

"Jangan dianggap dengan proses belajarnya diubah melalui kebijakan, maka kualitasnya akan terjaga. Mutu pendidikan Indonesia sudah buruk, dengan kondisi pembiaran seperti akan semakin memperburuk mutu dan pastinya bertolak belakang dengan target pembangunan SDM Unggul," kata dia.

Kegiatan belajar dari rumah butuh pelibatan orang tua secara aktif. Selama tiga bulan terakhir, kondisi ini juga menimbulkan masalah tersendiri yang butuh solusi. Intinya para orang tua butuh juga panduan dan bimbingan tentang bagaimana membantu proses belajar dirumah menjadi efektif dan efisien.

Tentunya bukan untuk menggantikan posisi guru melainkan tetap dalam porsi orang tua yang juga merupakan sentra pendidikan yang penting seperti ekosistem pendidikan yang didesain oleh Ki Hajar Dewantara. "Pemerintah sekali lagi harusnya mampu mengumpulkan para pakar dan tokoh pendidikan, serta pakar psikologi anak untuk memberikan bimbingan yang implementatif," ujar Indra menegaskan.

Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Guru Swasta Seluruh Indonesia (PGSI), Suparman meminta pemerintah ikut memikirkan efektivitas pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sudah dijalani tiga bulan terakhir. "Setelah menjalani tiga bulan PJJ banyak guru secara nasional yang sudah makin terlatih untuk menerapkan PJJ dengan terus dievaluasi efektivitasnya. Hanya saja, untuk masyarakat yang sangat terbatas dengan sarana IT-nya harus dibantu oleh pemerintah, pusat maupun daerah," kata Suparman, Selasa (16/2).

Pemerintah daerah, kata dia, harus menyediakan pembelajaran daring secara bersama-sama. Menurutnya, akan baik apabila pemerintah daerah menyediakan seperti dalam bentuk Google Meet atau Zoom dan melakukan pelatihan kepada guru-gurunya.

Selain itu, satu pekan sekali juga bisa dilakukan evaluasi bagi guru dan orang tua sekolah terkait pembelajaran ini. Hal ini penting supaya pembelajaran di rumah lebih terkoordinir oleh sekolah dengan jadwal fleksibel yang disepakati bersama.

Lebih lanjut, Suparman juga mengatakan kondisi pandemi ini secara tidak langsung telah mengubah sistem kurikulum. PJJ di masa depan bisa jadi semakin sering digunakan. Oleh karenanya, evaluasi dan perencanaan PJJ tidak hanya diniatkan untuk mengatasi pandemi.

"Jika pandemi ini berlarut-larut atau akan menjadi tahapan-tahapan dalam kehidupan kita kelak maka PJJ akan menjadi bagian dari kurikulum utama pendidikan kita," kata dia lagi.

Anggota DPD RI Fahira Idris mengapresiasi keputusan pemerintah yang akan memulai tahun ajaran baru dengan melanjutkan belajar dari rumah. “Saya mengapresiasi keputusan ini. Kita tidak punya pilihan lain selain menjadikan kesehatan dan keselamatan sebagai prioritas pertama dan utama di dunia pendidikan saat ini. Namun dengan diperpanjangnya belajar dari rumah, kita juga harus segera mencari solusi bagi anak-anak kita di berbagai daerah yang tidak mempunyai akses listrik dan internet. Keterbatasan mereka harus segera kita retas agar hak mereka mendapat pendidikan yang merupakan amanat konstitusi tetap dapat dipenuhi,” ujar Fahira Idris, melalui keterangan pers, Selasa (16/5).

Fahira mengungkapkan hingga saat ini masih banyak sekolah atau satuan pendidikan dan peserta didik yang memiliki hambatan untuk mengimplemtasikan PJJ. Mulai dari sekolah belum tersentuh listrik dan internet sampai satuan pendidikan yang sudah mendapatkan akses listrik tetapi belum dapat mengakses internet.

Hambatan yang sama dialami oleh para peserta didik di mana sekolah tersebut berada. Hambatan ini karena di daerah tersebut infrastruktur listrik dan jaringan telekomunikasi baik jaringan telepon maupun internet belum tersedia.

Jika pun tersedia, aksesnya sangat terbatas. Pandemi ini, lanjut Fahira, idealnya menjadi evaluasi bagi fokus pembangunan infrastruktur yang selama ini gencar dilakukan pemerintah yaitu dengan memprioritaskan pembangunan infrastruktur energi dan telekomunikasi di daerah-daerah.

“Hambatan ini harus segera dicari solusinya karena kita tidak tahu kapan pandemi ini berakhir dan anak-anak bisa kembali belajar sekolah. Sementara hak anak-anak mendapat pengajaran di masa pandemi ini harus dipenuhi karena merupakan amanat konstitusi. Walau ada otonomi daerah, tetapi saya berharap pemerintah pusat mengintervensi persoalan penting ini untuk memastikan anak-anak di daerah di mana akses listrik dan internet belum mumpuni, tetapi tetap dapat belajar dengan baik,” ujar Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI ini.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), 53,4 persen responden merasakan kendala terbesar sekolah adalah kesiapan sarana prasarana untuk penanganan Covid-19. Survei dilakukan FSGI terhadap 1.656 responden sekolah dari 245 kabupaten/kota di Indonesia mengenai kesiapan tahun ajaran baru dengan model PJJ.

"Dari angka ini jelas tampak bahwa sekolah merasa pengadaan dan penyediaan semua sarana prasarana penunjang pembelajaran di masa kenormalan baru adalah komponen paling sulit untuk disiapkan," kata Wasekjen FSGI, Satriwan Salim, dalam telekonferensi, Selasa (16/6).

Selain itu, sebanyak 49,2 persen menilai adanya protokol kesehatan di sekolah juga dibutuhkan. Satriwan mengatakan, Kemendikbud-Kemenag perlu memberikan protokol yang rinci sehingga nantinya bisa disosialisasikan.

Saat ini, sudah kurang dari sebulan hingga tahun ajaran baru. Oleh karena itu, protokol kesehatan ini menjadi hal yang harus segera ditetapkan oleh Kemendikbud-Kemenag agar bisa diterapkan di sekolah maupun madrasah.

Kendala ketiga adalah kesiapan anggaran. Sebanyak 47 persen responden menilai anggaran menjadi hal yang paling berat untuk disiapkan sekolah. Sebab, untuk memenuhi sarana prasarana kesehatan dan kebersihan di sekolah, memerlukan sumber dana. Belum lagi sekolah harus membayar honor guru.

photo
New Normal di Sekolah - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement