Selasa 16 Jun 2020 13:51 WIB

Defisit APBN Naik, Pendapatan Pajak Turun

Pandemi Covid-19 memberikan tekanan besar terhadap penerimaan negara dari pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Menteri Keuangan Sri Mulyani.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Antara

Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga 31 Mei tercatat sebesar Rp 179,6 triliun atau 1,10 persen persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, besaran defisit APBN hingga 30 April sebesar Rp 74,5 triliun atau 0,44 persen terhadap PDB.

Baca Juga

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, terjadi kenaikan defisit 42,8 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Tren kenaikan defisit disebabkan oleh terkontraksinya seluruh penerimaan negara, terutama penerimaan perpajakan.

"Mei adalah bulan terberat dibandingkan Maret dan April lalu," ujarnya dalam konferensi pers "Kinerja APBN Kita", Selasa (16/6).

Sampai akhri Mei, pemerintah berhasil mengumpulkan penerimaan perpajakan Rp 526,2 triliun atau kontraksi 7,9 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Penyebabnya, penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mengalami tekanan hingga tumbuh negatif 10,8 persen menjadi Rp 444,6 triliun hingga bulan lalu.

Namun, penerimaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengalami pertumbuhan 12,4 persen. Nilainya hingga akhir Mei sebesar Rp 81,7 triliun.

Hanya saja, Sri mengatakan, komponen bea masuk dan bea keluar harus terus menjadi perhatian mengingat kinerja ekspor dan impor yang sudah menunjukkan perlambatan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin. Sri menyebutkan, pertumbuhan positif dari pendapatan negara dari bea dan cukai berpotensi mengalami penurunan karena dinamika global yang masih tinggi.

"Pertumbuhannya mungkin tidak bertahan sampai akhir tahun," tutur mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Belanja negara juga mengalami kontraksi 1,4 persen menjadi Rp 843,9 triliun hingga akhir Mei 2020. Refocusing dan realokasi belanja pemerintah yang kini diprioritaskan ke penanganan pandemi Covid-19 menjadi penyebab utamanya. Kebijakan ini mengharuskan pemerintah memangkas belanja barang maupun pegawai yang dinilai tidak prioritas.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, defisit pada bulan lalu masih lebih baik dibandingkan kondisi April 2019. "Tahun lalu, mencapai angka Rp 100,3 triliun atau 0,63 persen dari PDB," ujarnya.

Realisasi target pajak

Dalam hal realisasi target pendapatan pajak, pemerintah juga masih nharus bekerja keras. Kemenkeu mencatat realisasi penerimaan perpajakan hingga 31 Mei 2020 mencapai Rp 526,2 triliun atau turun 7,9 persendibandingkan periode sama tahun lalu mencapai Rp 571,2 triliun.

"Ini baru 36 persen dari target Rp 1.462,6 triliun dalam Perpres 54 Tahun 2020," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani menyebut, pandemi Covid-19 memberikan tekanan besar pada sektor perpajakan khususnya pada Mei 2020. Menkeu merinci realisasi penerimaan perpajakan ini terdiri atas penerimaan pajak Rp444,6 triliun atau turun 10,8 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.

Realisasi pajak ini baru mencapai 35,4 persen dari target APBN sesuai Perpres 54 Tahun 2020 yang Rp 1.254,1 triliun. Penerimaan pajak ini terdiri atas realisasi pajak penghasilan (PPh) migas mencapai Rp 17 triliun atau merosot 35,6 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 26,4 triliun.

"Ini akibat tekanan besar di sektor migas, karena harga minyak. Jadi, meski kurs sempat mengalami pelemahan, tetapi harga minyak turun drastis, bahkan sempat negatif," katanya.

Kemudian, penerimaan pajak nonmigas mencapai Rp 427,6 triliun atau mengalami kontraksi 9,4 persen dibandingkan periode Mei 2019 yang mencapai Rp 472,2 triliun. Penerimaan perpajakan lainnya yakni dari sektor kepabeanan dan cukai, tumbuh positif 12,4 persen mencapai Rp 81,7 triliun dibandingkan Mei 2019 yang mencapai Rp 72,7 triliun.

Penerimaan kepabeanan dan cukai ini terdiri atas cukai Rp 66,8 triliun atau tumbuh 18,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 56,2 triliun. Kemudian, pajak perdagangan internasional (bea masuk dan keluar) mencapai Rp14,9 triliun atau turun 9,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya mencapai Rp16,5 triliun. Adapun, untuk bea masuk turun 7,9 persen mencapai Rp 13,8 triliun dan bea keluar turun 27,5 persen mencapai Rp 1,1 triliun.

photo
Program pemulihan ekonomi nasional - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement