Senin 15 Jun 2020 15:18 WIB

Jejak Akar Rasisme di Indonesia 

Permasalahan rasis nyatanya telah lama terjadi di belahan dunia terutama di Indonesia

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Karikatur tendang rasisme. (Ilustrasi)
Foto: republika
Karikatur tendang rasisme. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Belakangan masyarakat dunia ramai memperbincangkan isu rasisme yang bermula dari terbunuhnya warga Amerika Serikat, George Floyd. Perbincangan ini turut menyebar ke seluruh negara termasuk membandingkan situasi rasisme serupa di Indonesia.

Permasalahan rasis nyatanya telah lama terjadi di belahan dunia terutama di Indonesia. Lebih tepatnya ketika Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Nusantara. Kemudian berlanjut di masa revolusi Indonesia dan seterusnya sampai saat ini.

Sebelum kolonialisme tiba di Nusantara, kategori asing maupun anti-asing tidak terlalu mencolok. Namun, hal ini berubah drastis ketika kolonialisme mulai memasuki Nusantara. Di fase ini mulai nampak sikap membeda-bedakan satu sama lain antarmanusia.

"Sebelum kolonialis masuk, seorang syahbandar (kepala pelabuhan) itu bisa jadi orang Arab, India dan macam-macam. Itu pasti dipilih syahbandar yang multilanguage, (memiliki) kemampuan bahasa yang banyak," ujar Peneliti Sejarah dari Pusat Studi Budaya dan Laman Batas, Universitas Brawijaya (UB), Kota Malang, FX Domini BB Hera dalam kegiatan diskusi daring yang diselenggarakan Universitas Wisnuwardhana dan heuristik.id, baru-baru ini. 

 

Pria disapa Sisco mencontohkan seorang bangsawan yang pernah memimpin suatu daerah di Sulawesi Selatan (Sulsel). Tokoh ini dikenal menguasai banyak bahasa sehingga menjadi syahbandar di masanya. Sosok tersebut tak pernah menemukan sikap membeda-bedakan orang lain sampai akhirnya tiba di era kolonialisme.

"Ketika VOC sudah masuk, (anggapan) kami berbeda dengan orang lain (muncul). Jadi mereka membedakan dari kontingen dia datang bahwa Eropa nggak sepenuhnya Eropa. Ada Belanda, Spanyol dan Inggris. Ini karena (dianggap) musuh saingan di perdagangan monopoli," ujarnya.

Menariknya, Sisco menemukan, data bahwa kolonial Belanda tidak terlalu suka dengan masyarakat Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Mereka menyebut masyarakat tersebut sebagai "Orang Portugis Hitam". Masyarakat di daerah ini dikenal banyak mengalami perkawinan campuran dengan para pendatang.

Klasifikasi warga negara mulai mencuat di abad 19. Warga kelas pertama terdiri atas masyarakat Eropa lalu tingkatan berikutnya diisi oleh warga timur asing seperti Tionghoa, Arab, dan Asia lainnya. Kelas terakhir diperuntukkan warga inlander yang maknanya sangat merendahkan pribumi. "Mangkannya di masa pergerakan kata pribumi ini diganti dengan Bumiputra atau orang-orang dari Indonesia," kata lulusan Universitas Negeri Malang (UM) ini.

Klasifikasi warga negara tersebut mengalami perubahan drastis akibat sentimen ras ketika Indonesia merdeka. Kelas pertama terdiri atas Bumiputra lalu berikutnya diisi oleh masyarakat timur asing. Kelas terakhir diperuntukkan warga Eropa. 

Di era pergerakan, kata Sisco, tidak banyak organisasi Indonesia yang mau menerima semua ras sebagai anggota. Organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) misalnya bertujuan melawan modal ekonomi Tionghoa di masa awal perintisan. Organisasi yang berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) dilaporkan sempat tidak mau menerima warga dari Hadramaut di 1919 

Menariknya, organisasi yang menerima semua lapisan masyarakat justru Indische Partij. Di kongres pertamanya, organisasi ini menyatakan orang yang lahir di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) bisa masuk sebagai warga negara Indonesia.

"Jadi tidak peduli asal mana dan usul mana. Kalau Anda lahir di sini, Anda warga negara sini (Indonesia)," katanya.

Di perkembangan selanjutnya, konsepsi ras dalam kenegaraan selalu mengalami persoalan. Di era 1951 misalnya, Sisco menemukan data terdapat 28 partai politik yang diakui di Indonesia. Posisi pembagiannya terdiri atas partai berdasarkan ketuhanan, kebangsaan dan marxisme serta lainnya.

"Partai lain, apa sajakah itu? Ada dua, namanya partai Demokrat Tionghoa-Indo dan Indo-Nasional. Ada apa dengan partai berbasis ras? Apa mereka memperjuangkan dirinya melalui partai?Ya, karena kewarganegaraan mereka itu masih mengalami persoalan," ucap Sisco.

Di dalam data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, Sisco menemukan pembendaharaan ABMA/T yang berarti Aset Bekas Milik Tionghoa atau asing. Aset warga keturunan tersebut tetap disebut asing meski lahir dan besar di Indonesia. Cap asing tersebut masih menancap di keturunan tersebut sampai saat ini.

"Mungkin kalau sekarang itu seperti di Harry Potter ada namanya Hermione yang dicap berdarah kotor. Bukan orang murni, di-oranglainkan. Sama //kayak// di kita hari ini, itu masih ada," terang mahasiswa pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut.

Nasib Masyarakat Indo di Negeri Belanda

Pascakemerdekaan, kelas warga Eropa memang mengalami perubahan drastis. Semula berada di kelas pertama lalu menurun di tingkatan terbawah. Namun yang lebih memprihatikan lagi adalah kalangan Indo di mana memiliki keturunan campuran antara Eropa dan Bumiputra.

"Kalau diakui oleh ayahnya berstatus Eropa, tapi kalau tidak diakui jadi pribumi tinggal di kampung. Wajah dan fisiknya bagus tapi jadi sasaran olok-olok, 'oh anak jadah' dan sebagainya," ucap Dosen Antropologi, Universitas Padjadjaran (UNPAD), Selly Riawanti.

Selama masa kolonialisme, para Indo mendapatkan hak serupa selayaknya masyarakat Eropa. Namun jika tidak diakui keeropaannya, maka haknya tak jauh berbeda dengan pribumi. 

Di masa pendudukan Jepang, kelas ras Eropa dijungkirbalikkan dengan melihat kriteria kekentalan darah keturunan. Jika darahnya lebih dekat ke Eropa, maka dapat diikutsertakan dalam kerja paksa atau romusha. Namun apabila keturunannya semakin dengan pribumi, maka mereka merdeka. 

"Nah pada masa revolusi kemerdekaan, banyak kisah yang menunjukkan orang Indo dikejar pemuda revolusi," katanya.

Karena situasi yang semakin runyam, maka pemerintah Belanda merepatriasi masyarakat Indo di Hindia Belanda. Mereka diminta ke Belanda meski sebelumnya tidak pernah kenal negara tersebut secara langsung. Sebab, mereka pada dasarnya lahir dan hidup di Hindia Belanda. 

Demi keamanan diri masing-masing, banyak warga Indo berbondong-bondong pergi ke Belanda. Di sisi lain, masih ada para Indo yang memilih menetap di Hindia Belanda atau Indonesia. Namun pada akhirnya merekapun ikut menyusul ke Belanda karena terus dikejar para Bumiputera.

Sesampainya di Belanda, para Indo justru mendapatkan sambutan dingin dari warga setempat. Sebagian dari mereka malah ada yang diminta pergi ke negeri lainnya. Sebelumnya, warga negara Belanda memang baru selesai dari perang dunia. Banyak korban yang jatuh sehingga mereka masih dalam tahap penataan diri. 

Kedatangan orang Indo di Belanda memang tidak mendapatkan nasib baik pada awalnya. Namun setelah banyak bermunculan migran lain di negeri tersebut, maka statusnya pun mulai naik. Mereka dianggap mampu beradaptasi sangat baik dengan masyarakat Belanda sehingga tak lagi dianggap asing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement