Senin 15 Jun 2020 10:07 WIB

Perseteruan Turki-Mesir hingga Fatwa

Erdogan fasih menggunakan ‘kartu’ masjid untuk kepentingan politik dalam negeri.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Istanbul, Jumat, 29 Mei. Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan berdiri di balkon Istana Huber, menghadap Selat Bosphorus. Ia melambaikan tangan kepada para peserta pawai perahu yang sedang merayakan peringatan 567 tahun penaklukan Konstantinopel — yang kemudian berganti nama menjadi Istanbul. Tidak kurang dari 30 kapal dengan berbagai hiasan, terutama bendera Turki, ikut pawai yang digelar Federasi Layar Turki itu.

Presiden Erdogan, seperti dilaporkan media Aljazeera dan BBC News Araby, sangat antusias mengikuti rangkaian peringatan penaklukan Konstantinopel, salah satunya pawai kapal tadi. “Pada peringatan 600 tahun penaklukan Istanbul nanti, yang bertepatan dengan tahun 2053, insya Allah kita akan mewariskan pada anak-anak muda kita Turki yang jaya sebagaimana kejayaan pada masa leluhur kita, kejayaan zaman Sultan Muhammad al Fatih,” kata Erdogan dalam pidatonya.

Menurut Erdogan, penaklukan Konstantinopel merupakan ‘simbol pembangunan, kemajuan, keadilan, dan kasih sayang’. Ia pun mengajak berdoa bersama agar  Tuhan memberi rakyat Turki lebih banyak kemenangan dan kesuksesan. Pada kesempatan lain, ia mengatakan peringatan penaklukan ini harus disertai dengan pembacaan surat Al Fatihah di Hagia Sophia.

Hagia Sophia pada awalnya adalah gereja, lalu pada 1453 dijadikan masjid setelah Khalifah Usmaniyah berhasil menundukkan Konstantinopel. Pada 1934, Kemal Attaturk, pendiri Republik Turki Modern yang sekuler menjadikannya sebagai museum sampai sekarang. Konstantinopel pun diubah menjadi Istanbul.

Pada hari itu, dilepas pula dua kapal pengeboran minyak. Kapal ‘al Fatih’ yang berlayar untuk memulai operasi di Laut Hitam dan kapal ‘al Qonuni’ yang beroperasi di Laut Mediterania. Beberapa pihak menganggap pemberian nama dua sultan Usmani — al Fatih (Muhammad al Fatih) dan al Qonuni (Sulaiman al Qonuni) — pada dua kapal pengeboran itu sebagai upaya menghubungkan kejayaan Kekhalifatahan Usmaniyah dengan Pemerintahan Erdogan.

Sementara itu, di Kairo, 2 jam 20 menit penerbangan dari Istanbul, pusat media Darul Ifta Mesir pada 7 Juni merilis fatwa yang menyebutkan penaklukan (al fath) Konstantinopel sebagai invasi atau pendudukan (al ghozwu) oleh Usmaniyah/Ottoman. Hal ini disebutkan dalam paragraf yang ditujukan untuk mengecam upaya mengubah museum Hagia Sophia menjadi masjid kembali. Dikatakan, Hagia Sophia dibangun sebagai gereja selama era Bizantimum pada 537 dan terus begitu selama 916 tahun, sampai Kekhalifahan Usmaniyah menduduki (ihtalla) Konstantinopel. Mereka kemudian menjadikannya masjid.

Fatwa sekitar 1800 kata itu diberi judul ‘Erdogan terus menggunakan senjata fatwa untuk memperkuat tirani (istibdad) di dalam negeri dan membenarkan ambisi kolonialnya (al atma’ al isti’mariyah) di luar negeri’. Darul Ifta Mesir juga mengecam intervensi Turki di daerah konflik Suriah dan Libia, serta sikap permusuhan Erdogan pada sejumlah negara Arab, terutama Mesir dan negara-negara Teluk.

Pernyataan Darul Ifta Mesir itu juga mengkritik politik internal Turki yang dikatakannya memberangus suara oposisi. Menurut fatwa itu, Presiden Erdogan sengaja memanfaatkan retorika agama untuk kepentingan politiknya, yaitu untuk mencapai stabilitas dalam negeri dengan memberantas lawan-lawan politiknya. “Fatwa Erdogani jelas menunjukkan kediktatoran mutlak Erdogan dalam rangka proyek Usmaniyahnya,” tertulis dalam fatwa itu.

Selanjutnya, fatwa Darul Ifta Mesir juga menyebutkan, Erdogan fasih menggunakan ‘kartu’ masjid untuk kepentingan politik dalam negeri. Tujuannya untuk memperoleh keuntungan politik dan menyelamatkan popularitasnya yang goyah di tengah wabah Covid-19 dan memburuknya perekonomian negara. Kini, para pejabat urusan agama Turki telah mengeluarkan seruan kepada masyarakat Turki untuk menunggu keputusan yang akan mengubah Museum Hagia Sophia menjadi masjid kembali.

Fatwa Darul Ifta Mesir itu langsung memicu kontroversi luas. Terutama yang menyangkut penyebutan ‘penaklukan (al fath) Konstantinopel’ sebagai ‘pendudukan Usmaniyah’. Apalagi Darul Ifta yang merupakan otoritas agama telah menggambarkan salah satu penaklukan yang paling penting dalam sejarah Islam sebagai invasi.

Dalam sejarah Islam, penaklukan lebih dikenal sebagai pembebasan atau fath/futuhat, yang akan memberi kebebasan, kesejahteraan, keadilan, dan keamanan buat warga setempat. Ini berbeda dengan pendudukan yang berujung pada penjajahan, yang justru memiskinkan dan menyengsarakan rakyat yang dijajah. Terkait dengan Konstantinopel, dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW justru memuji tentara yang dapat menaklukkan kota itu.

Para pengguna media sosial pun membandingkan penaklukan (fath) Konstantinopel dengan penaklukan Mesir. Yakni, apakah penaklukan Mesir oleh Umar ibn Ash bisa juga disebut dengan pendudukan atau penjajahan? Tentu saja tidak. Hal yang sama dengan penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad al Fatih.

Kepala Urusan Agama Turki Dr Ali Arbash mengkritik fatwa Darul Ifta Mesir sebagai tidak layak dan menciderai sejarah Islam. Ia mengatakan, penyebutan penaklukan (al fath) Konstantinopel dengan pendudukan (ihtilal) oleh Usmaniyah sebagai sangat disayangkan dan bertentangan dengan moral dan fakta sejarah. Arbash tidak menyinggung tentang tuduhan Darul Ifta Mesir kepada Presiden Erdogan. Ia hanya fokus untuk mengklarifikasi posisi Sultan Muhammad al Fatih dan penaklukan Konstantinopel.

Setelah dihujani berbagai kritik, Darul Ifta Mesir kemudian menarik fatwanya. Di akun Facebook Darul Ifta Mesir tanggal 8 Juni disebutkan penaklukan Konstantinopel adalah penaklukan besar (umat) Islam yang telah telah disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan itu dilakukan oleh Sultan Muhammad al Fatih. Namun, Darul Ifta tetap pada pernyataannya tentang Erdogan sebagai telah memanfaatkan senjata fatwa untuk memperkuat tiraninya. “Dan Erdogan tidak ada hubungannya dengan Sultan Muhammad al Fatih.”

Saling serang dalam fatwa ini sebenarnya bermula dari masalah politik. Erdogan, yang merupakan pendukung Ikhwanul Muslimin, mengecam keras pengambilalihan kekuasaan oleh Jenderal Abdul Fattah Sisi dari Presiden Muhammad Morsi pada 2013. Hingga sekarang, Erdogan menyebutnya sebagai kudeta militer terhadap pemerintahan yang sah dan terpilih secara demokratis.

Sementara itu, pihak Jenderal Sisi menyebut pengambilalihan kekuasaan tersebut justru untuk menyelamatkan bangsa Mesir dari perang saudara. Presiden Sisi kemudian membubarkan Ikhwanul Muslimin dan bahkan menganggap mereka sebagai kelompok teroris. Mesir juga menuduh Turki Erdogani sebagai pelindung para tokoh teroris Ikhwanul Muslimin.

Perseteruan politik Mesir-Turki ini terus berlanjut ke perang saudara yang kini berlangsung di Libia. Turki Erdogani mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (Hukumah al Wifak al Wathony) di Tripoli yang dipimpin PM Fayez al Sarraj. Pemerintah ini diakui oleh PBB. Di lain pihak, Mesir mendukung Tentara Nasional Libia (al Jaysh al Wathony al Libi) yang bermarkas di Tobruk pimpinan persiunan Jenderal Khalifa Haftar. Yang terakhir ini tidak mengakui keberadaan Pemerintah Kesepakatan Nasional. Kedua kelompok kini sedang berperang sengit untuk memperluas wilayah kekuasaan.

Mesir menuduh Pemerintah Kesepakatan Nasional sebagai teroris yang didukung oleh Turki. Tuduhan ini didasarkan bahwa keduanya berhaluan Ikhwanul Muslimin yang dianggap teroris oleh Mesir. Sementara itu, Turki menuduh Tentara Nasional sebagai kelompok kudeta yang didukung pemerintah hasil kudeta. Perseteruan Mesir-Turki semakin buruk ketika keduanya saling melibatkan fatwa-fatwa agama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement