Ahad 14 Jun 2020 22:32 WIB

Muslim Gipsy Rumania, Masih Kuat Pegang Kepercayaan Leluhur

Umat Islam Rumania masih kuat memegang kepercayaan leluhur.

Umat Islam Rumania masih kuat memegang kepercayaan leluhur.  Ilusrasi bendera Rumania
Foto: brianswanson.theworldrace.org
Umat Islam Rumania masih kuat memegang kepercayaan leluhur. Ilusrasi bendera Rumania

REPUBLIKA.CO.ID,  Komunitas Muslim di Rumania terdiri dari beragam etnis. Salah satunya adalah kelompok gipsy. Mereka menyebut dirinya Horahane Rroma. Artinya kira-kira bangsa Turki yang berbahasa Rromani, bahasa di Rumania. 

Masyarakat yang hidup nomaden ini masih seperti gipsy lainnya. Sebagian besar masih menganut sinkretisme. Ritual-ritual berbau pengorbanan pada dewa masih hidup di beberapa wilayah. 

Baca Juga

Muslim Gipsy sebetulnya sangat sedikit. Komunitas mereka hanya sekitar 10 ribu-15 ribu orang. Itu artinya tak ada 0,05 persen dari total kaum gipsy yang hidup di negeri Eropa Timur ini. 

Sensus terakhir yang dilakukan pada 1992 menunjukkan kelompok gipsy mencapai 409.723 orang. Atau jumlah mereka sekitar 1,8 persen dari total penduduk Rumania. Namun data tak resmi menyebut angka mereka mencapai 2,5 juta orang. 

Gipsy sendiri merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di Rumania. Selain mereka, masih ada etnis Tartar, Albania, dan bangsa kulit putih lainnya. Sedang komunitas Muslim yang terdiri dari sedikit bangsa Tartar, Albania, dan keturunan Turki sendiri terkonsentrasi di lembah yang membentang antara Sungai Danuba dan Laut Hitam. 

Warga Albania dan Tartar serta keturunan Turki yang beragama Islam itu mengakui Horahane Rroma sebagai pemeluk Islam. Hanya, mereka menganggap bukan bagian atau sama sekali tak ada hubungan. 

Sedang penduduk Rumania yang secara resmi menganut agama nasional Kristen Ortodoks, Horahane Rroma sama sekali tak mengakuinya. Sebab, agama dan kepercayaannya berbeda. 

Horahane Rroma seolah menjadi kelompok terbuang. Mereka tak diakui sana sini. Di kelompok gipsy sendiri, si Horahane Rroma, gipsy Muslim, ini dikenal dengan kata Turks. Singkat dan jelas. 

Tak banyak literatur atau penelitian yang dilakukan terhadap kelompok ini. Namun dari sedikit penulisan yang ada tentang kelompok penghuni wilayah Dobrudja, salah satu daerah di lembah sungai Danuba ini, mengatakan mereka datang pada abad ke 16 masehi. Sebutannya adalah sanjak atau sebuah divisi.

Yang terakhir ini merujuk pada sebuah regu pelayan untuk tentara Ottoman. Dugaan ini didukung keberadaan undang-undang khusus untuk kaum Gipsy Rumelia yang dibentuk oleh Sultan Sulaiman yang memerintah pada 1530 dan undang-undang pengawasan kaum gipsy sanjak yang dikeluarkan pada 1541. 

Gipsy lain mungkin merupakan pembelot yang kemudian datang di negeri yang dipimpin dinasti Ottoman yang telah memeluk Islam. Gipsy Muslim di Dobrudja tak mempunyai budaya menulis. Namun, mereka mengenal tradisi lisan.

Dan kebiasaan mereka untuk yang satu ini sangat kaya. Mereka terbiasa dengan dongeng, legenda, teka-teki, dan jimat atau guna-guna serta nyanyian. Namun sayangnya, budaya ini juga tak direkam dengan baik sehingga sulit menganalisis asal kebudayaannya. Padahal jika diteliti, kebiasaan ini justru bisa menunjukkan asal leluhur mereka. 

photo
Kegiatan shalat warga muslim di AS (ilustrasi) - (VOA)

Kepercayaan leluhur dan Islam Muslim Gipsy di Rumania tergolong Sunni dan bermazhab Hanafi. Tampaknya ini merujuk pada peradaban yang hidup semasa Dinasti Ottoman yang sempat menempatkan pusat kekuasaannya di Turki. Karena itu, pada bangsa gipsy ini juga kerap terdengar semboyan, 'Kami Muslim dan Percaya pada Tuhannya orang Turki'.

Umat Islam penghuni lembah Dobrudja sendiri sering menganggap muslim gipsy tak mempunyai pengetahuan agama yang baik. Bahkan kelompok ini sering disindir sebagai 'Masyarakat Tak Bertuhan' (Allahsiz insalar). Penyebabnya adalah ritual keberagamaan yang berbeda.

Muslim gipsy pergi ke masjid hanya pada hari raya Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Selain itu tidak. Dan sindiran itu kadang merujuk juga pada dualisme keberagamaan yang dianut bangsa gipsy Muslim (devia god/benga satan). 

Kemampuan adaptasi kaum gipsy memang tergolong minim. Apa pun budaya baru yang mereka serap, tetap saja mereka pertahankan kepercayaan yang diturunkan leluhur. Ini termasuk juga pada agama dan bentuk ritual yang harus dilakukan. 

Praktik ini terjadi juga dalam kehidupan gipsy yang beragama Islam. Kehidupan sehari-hari mereka menunjukkan bahwa kepercayaan dan praktik ritual agama leluhur masih hidup dan berkembang. Misalnya kepercayaan pada setan, patung berukir yang dipercaya memiliki roh gaib dan dewa-dewa yang melingkupi daur hidup mereka. 

Dalam kebiasaan sehari-hari, aturan halal dan haram dalam Islam juga dihubungkan dengan budaya gipsy ujo (bersih) dan melalo (najis atau kotor). Misalnya penggunaan guna-guna atau jimat. Hukum penggunaanya tidak berkaitan dengan hukum Islam, tapi pada kebiasaan setempat. 

Contoh lainnya adalah dalam perayaan Hirdelesi. Festival tahunan ini berhubungan dengan peringatan hari kematian yang jatuh pada 6 Mei tiap tahun. Ritual ini dirayakan seluruh gipsy, sekalipun beragama Islam di Dobrudja. 

Upacara ini menggunakan api sebagai simbol utama. Api memang simbol penting dalam hari-hari penting bangsa gipsy. Pada upacara Hirdelesi, api dinyalakan di depan rumah. Kemudian seluruh anggota keluarga melompat melewatinya. Dengan melompat ke atas api, mereka yakin telah menyucikan diri dari dosa dan membebaskan diri dari niat buruk.

Api telah menghanguskan tubuh yang berdosa dan niat buruk yang tersirat dalam badan. Setelah upacara, bangsa gipsy merasa terlahir kembali. Hirdelesi mirip dengan festival Newroz yang dirayakan bangsa Kurdi di Iran dan lainnya. Kadang upacara ini disebut juga 'Paskahnya orang Turki'. Ini lantaran mereka menyalakan juga lilin di dalam rumah kala Hirdelesi.

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement