Sabtu 13 Jun 2020 16:34 WIB

Si Kribo (Cerpen)

Malam itu Si Kribo pulang dengan wajah tenang. Sebuah senyuman terukir di bibirnya.

Ilustrasi.
Foto:

Sejak membantu suami di lapak koran kami, aku terbiasa bergaul dengan mantan preman. Kuncinya hanya satu, kami berikan empati maka kami mendapatkan “hati” mereka.

Sebenarnya, tidak hanya mantan preman yang belanja koran pada kami. Para subagen dan pengecer kami beragam, ada yang pegawai negeri, pegawai bank, mahasiswa dan juga pelajar.

Bagi yang karyawan kantor, tentu saja posisi mereka masih pegawai rendahan yang memerlukan uang tambahan selain gaji. Bagi kami, apa pun latar belakang pelanggan, mereka adalah orang-orang ulet, tahan banting dan rendah hati.

Genap dua tahun menikah, si Kribo memberi tahuku bahwa istrinya hamil. Dia sangat bahagia. Aku arahkan si Kribo mengurus surat keterangan tidak mampu ke Ketua RT dan RW, ke kantor kelurahan dan Dinas Sosial.

Aku tahu, sebagai pengecer koran, penghasilannya hanya cukup untuk makan dan mengontrak rumah petak. Tidak untuk yang lain, termasuk berobat.

“Besok, bapak bantu kamu mengurusnya ke rumah sakit,” kata suamiku.

“Kalau tidak bisa juga, gimana, Pak?” jawab Si Kribo ketakutan.

“Jangan pesimis, Bo! Kita ini masih termasuk bagian dari grup penerbit. Mereka tidak akan macam-macam karena takut diberitakan wartawan,” kataku menyemangati Kribo.

“Maksud ibu?” tanya Kribo dengan wajah bingung.

“Maksudnya, kalau wartawan memberitakan bayi kamu ditahan rumah sakit karena tidak kuat mbayar, pasti akan viral. Pihak rumah sakit dan Dinas Sosial tidak mau ramai,” suamiku menjelaskan.

“Oknum rumah sakit yang salah, masa istri dan bayi Kribo yang menanggungnya. Bos-bos di sana pasti akan memulangkan istri dan bayi kamu, Bo, tanpa biaya,” kataku menenangkan Kribo.

“Tapi, bapak ma ibu yang melobi orang rumah sakit, ya,” kata Kribo memastikan.

“Iya. Kamu tunggu saja pukul 9 pagi. Kami ke rumah sakit setelah urusan koran beres,” jawab suamiku.

Malam itu Si Kribo pulang dengan wajah tenang. Sebuah senyuman terukir di bibirnya. “Gak sabar lagi aku, Bu, bawa anakku pulang,” katanya ketika bersalaman denganku.

“Ibu juga gak sabar melihat anakmu. Kribo juga, gak?” tanyaku menggoda.

“Iya Bu, Kribo, tapi kulitnya putih kayak ibunya,” jawab si Kribo sambil tersenyum.

“Kalau gak Kribo, bukan anak Si Kribo namanya,” kata suamiku bercanda.

“Pak Agen bisa saja,” jawab Si Kribo sambil tertawa senang. 

Besoknya, pukul tujuh pagi, Ujang datang dengan nafas terengah-engah. Rupanya, dia berlari-lari ke lapak kami.

“Pak Agen, cepat, lihat Si Kribo di rumah sakit! Dia digebukin orang di sana."

Tanpa pikir panjang, kami menurunkan rooling door lapak dan menggemboknya, bergegas berangkat ke rumah sakit.

Gimana ceritanya, Jang?” tanya suamiku sambil menyetir.

“Kata satpam Si Kribo nyolong duit keluarga pasien lain. Lapar kali, kan sudah beberapa hari enggak dagang koran.”

Gak mungkin, Jang, semalam ibu ngasih uang ke dia,” bantahku.

“Keadaan si Kribo, gimana?” tanya suamiku ingin tahu.

“Habis Pak, dipukulin pakai kayu, digebukinlah,” jawab Ujang bergidik.

“Sudah Jang, jangan ngomong lagi. Ibu enggak kuat,” jawabku. Aku menggigil.

Kenapa gak kamu bantu?” suamiku masih saja bertanya. Mungkin dia penasaran.

“Pak, Pak, kalau massa sudah beringas, gimana ngebantu? Satpamnya ikutan lagi. Yang ada, akunya digebukin juga,” jawab Ujang lagi.

Suamiku memarkirkan mobil di parkiran rumah sakit. Terseok-seok aku mengikuti suami dan Ujang berlari ke pos satpam. Ternyata, si Kribo di seberang jalan rumah sakit.

Ia tergeletak di trotoar. Badannya ditutupi koran. Orang-orang melihatnya dari jauh. Mungkin takut dituduh menganiaya Si Kribo atau jadi saksi mata. Muka Si Kribo memerah dan bengkak. Darah mengalir dari hidungnya.

“Ya Allah, kenapa gak dibawa ke IGD? Padahal di depan rumah sakit,” kataku marah.

“Jangan ngamuk! Kasihan Si Kribo,” suamiku menasihati.

Aku mendekati Si Kribo dan berjongkok. Aku singkap korannya, ternyata Si Kribo telanjang. Tubuhnya juga babak belur, tapi masih bernafas. Si Kribo masih mengenali kami. Air matanya keluar ketika menatap kami.

Kenapa Bo?” tanyaku. Air mata berurai di pipiku. Aku membayangkan anak dan istrinya.

“A ... aku difit ..., nah, ..., aku ga nyolong. Bi ... bi, lang istriku. Anakku, to ... tolong Bu ...,” jawabnya terbata-bata dan kemudian diam.

Sore ini aku dan suami berada di Pondok Rangon. Kami mengantarkan Si Kribo ke peristirahatan terakhirnya. Satpam rumah sakit mengatakan barang bukti curiannya dua lembar uang seratus ribu. Semalam ketika bersalaman aku menyelipkan uang ke tangan Si Kribo sebanyak dua ratus ribu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement