Sabtu 13 Jun 2020 11:14 WIB
Komunis

Komunis-Santri 1950-an: Persaingan Khutbah dengan Ludruk

Pertarungan Komunis-Santri: Persaingan Pengaruh Khutbah Jumat dan Ludruk 1950-an

Sanriwati berlatih memanggul senjata pada masa perjuangan kemerdekaan.
Foto: PBNU
Sanriwati berlatih memanggul senjata pada masa perjuangan kemerdekaan.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pada satu sisi Pemilu 1955 kerap diakui sebagai pemilu yang paling ideal sejak Indonesia Merdeka. Namun dalam soal ini ternyata banyak catatan, khususna di Jawa, misalnya pemilu ini digelar di tengah situasi masyarkat Jawa yang tingkat buta hurufnya masih sangat tinggi. Saat itu, tingkat melek hurufnya  hanya 45,5 persen.

Tak ayal lagi dari kajian sejarawan MC Rickles dalam bukunya ‘Mengislamkan Jawa’ menyebutkan bila di kalangan masyarakat Jawa, ketika memilih belum yang rasional. Mobilisasi para pemilih suara kebanyakan didasari atas motviasi oleh rumor, takhakyul, slogan, dan para politikus demigod. Bahkan, yang disebut paling akhir ini jumlahnya cukup banyak.

Selama masa kampanye Pemilu 1955, pertikaian, ancaman, penculikan, dan pembunuhan terjadi selama masa kampanye. Ada rumor yang tak bertanggungjawab baha makanan dan sumur telah dibubuhi racun. Ketakutan santri-abangan dimanuplasi baik di pedesaan maupun di kota-kota kecil: kaum abnagan khawatir bahwa bila Masyumi menang –yang diharapkan oleh banyak orang—akan membuat mereka ditindas, sementara  dipihak santri beredar rumor bahwa kemenangan PKI berate pembunuhan terhadap para kiai.

Saat itu muncul pula ramalan-ramalan tentang akan terjadinya peristiwa supernatural dan penjualan jimat dan obat yang diyakini dapat memberi kekebalan laris manis. Berbagai permasalahan yang mengundang perdebatan seperti haram-halalnya perjudian atau baik-tidaknya bentuk kesenian rakyat semakin memacah santri dan abangan secara politisi.

Didi G Sanusi

  • Keterangan foto: Kampanye Pemilu 1955.

NU mencoba menyakinkan kalangan siswi sekolah bahwa kampanye 1955 adalah perjuangan hidup atau mati. Dengan menguntip kajian sejarawan Doorn-Harder dalam ‘Women Shaping Islam’ di dalaman 219, salah seorang dari responden dari kalangan santri diberitahu. Dia mengenangkan begini,”Jika engkau tidak membantu NU agar menang,…Partai Komunis akan menang, dan engkau akan dibacok sampai mati.”

Akiabtanya antara dua kubu ini diketahui, NU menggunakan khotbah Jumat untuk propaganda politik, sedangkan PKI memanfaatkan kesenian-kesenian rakyat dengan tujuan serupa. Salah seorang informan yang dimiliki sejarawan UGM, Bambang Pranowo ketika menulis buku yang bertajuk ‘Islam Factual: Antara Tradisi dan relasi kuasa di halaman 30 menceritakan kisahnya yang saat itu tinggal dekat Gunung Merbabu. Dia mengisahkan bagaimana PKI membuat pertunjukan kethoprak di mana kalanan kai dan haji dihina dan disamakan dengan tuan tanah.

Mirip dengan itu, pertunjukan ludruk yang terkenal di Surabaya dipakai untuk menarik penonton dari kalangan jelata yang pro-PKI. Di dalam pertunjukan-pertunjukan tersebut, di hambarkan kehidupan kaum miskin sementara kehidupan kaum elite dikeam dengan gaya dideskripsikan dengan sangat komikal dan seringkali menjijikan.

Cara tersebut misalnya dengan cara mengekresikannya dalam sajian panggung melalui tokoh ludruk yang ditampilkan pejoratif  melalui wujud banci-banci tua serta badut berbibir ‘ndower’ di hadapan penonton yang meliputi ‘perempuan pekerja seks, pencuri dan penjudi”. Padahal di sisi lain secara ideal ludruk bukanlah ‘terompet’ Marxis yang murni. Akibat sajian ludruk seperti ini,  kesenian tersebut ikut tertimbas stigma buruk karena dianggap memainkan lakon sebagai propanda komunis atau  juga dianggap menjadi salah satu ikon pertunjukan yang terlalu mesum dan tak senonoh.

header img

  • Keterangan foto: Karikatur di koran pada Pemilu 1955.

Dalam tulisan selanjutnya Ricklefs juga menyatakan dengan mengutup seorang sumber yang pada tahun 1956 menulis buku tentang kota Semarang.  Sumber tersebut bernama Soekirna yang kala itu menjabat sebagai ‘Acting Kepala Jawatan Penerangan Kota Besar Semarang’. Dia menulisn tentang apa saja yang terjadi di Semarang –dan tentu saja yang terjadi di seluruh pelosok Jawa – ditandai dengan banyaknya kaum miskin karena adanya blok imperialias dan kapitalis yang menentang komunisme. Dia juga menulis mengenai konflik sosial, persoalan ekonomi yang dihadapi rakyat banyak, korupsi, harga-harga yang tidak stabil, nilai tukar yang jatuh dan kurangnya perumahan

Soekirno lenih jauh menulis seperti ini:

‘Krisis akhlak merajalela di mana-mana… di kalangan rakyat tampak kehilangan pegangan jiwa. Perguruan kebatinan atau perguruan klenik banyak timbul di dalam masyarakat. Kejahatan-kejahatan seperti perampokan, pebegalan, penipuan, perjudian, pelacuran, pembunuhan sukar diberantas. Demikian pula gerombian bersenjata yang sangat … merugikan rakyat dan negara, merampok, membunuh, dan membakar rumah-rumah penduduk masih saja dapat bertindak di desa-desa. Fanatsime terutama terhadap agama Islam makin menghebat.'

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement