Jumat 12 Jun 2020 10:40 WIB

Kisah Nabi Dzulkifli AS

Ada yang menyatakan Dzulkifli adalah putra Nabi Ayyub AS.

Kisah Nabi Dzulkifli AS
Foto: MgIt03
Kisah Nabi Dzulkifli AS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Nabi Dzulkifli ‘alaihi as-salam disebut dalam Al-Qur’an 2 kali, pertama pada Surat Al-Anbiya’ ayat 85, dan kedua Surat Shad ayat 48. Kedua surat itu adalah masuk kelompok surat-surat Makkiyah. Allah SWT berfirman:

 وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِدۡرِيسَ وَذَا ٱلۡكِفۡلِۖ كُلّٞ مِّنَ ٱلصَّٰبِرِينَ ٨٥

Baca Juga

“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anbiya’ 21: 85)

 وَٱذۡكُرۡ إِسۡمَٰعِيلَ وَٱلۡيَسَعَ وَذَا ٱلۡكِفۡلِۖ وَكُلّٞ مِّنَ ٱلۡأَخۡيَارِ ٤٨

“Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa’ dan Dzulkifli. semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.” (Q.S. Shad 38: 48)

Dalam kedua ayat di atas, nama Dzulkifli disebutkan setelah nama nabi-nabi dan rasul. Pada surat Al-Anbiya’ 85 disebutkan setelah Nabi Ismail dan Nabi Idris, sedangkan pada Surat Shad ayat 48 disebutkan setelah Nabi Ismail dan Ilyasa’. Walaupun tidak disebutkan secara tegas bahwa Dzulkifli adalah seorang Nabi, tetapi karena disebutkan setelah penyebutan nama nabi-nabi, maka masyhur di kalangan para ulama dan sejarahwan bahwa Dzulkifli juga seorang Nabi. Ibnu Katsir menegaskan dalam kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (9: 431) bahwa Dzulkifli adalah seorang Nabi dengan alasan tidak ada seorangpun yang namanya disebut dalam deretan nama nabi-nabi kecuali dia adalah seorang nabi.

Ada yang menyatakan bahwa Dzulkifli adalah putera Nabi Ayyub AS. Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Athlas Al-Qur’an (hal. 100) meletakkan nama Nabi Dzulkifli dalam urutan setelah Nabi Ayyub AS. Begitu juga Muhammad Washfi dalam bukunya Tarikh al-Anbiya’ wa ar-Rusul (hal. 171) meletakkan nama Dzulkifli dalam urutan setelah Nabi Ayyub AS.

Ada juga sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Dzulkifli bukan seorang Nabi tetapi hanya seorang yang saleh dan penguasa yang adil. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Mujahid, sebagaimana dikutip Ibn Katsir (hal. 431), bahwa Dzulkifli adalah seorang laki-laki saleh, bukan seorang nabi. Ia memberikan jaminan kepada kaumnya bahwa ia sanggup menangani dan mengatur urusan mereka dengan adil dan bijaksana. Oleh sebab itu dia dijuluki Dzulkifli.

Ibnu Jarir at-Thabari juga mengutip riwayat dari Mujahid, bahwa setelah Ilyasa’ berusia lanjut dia mengumpulkan kaumnya dan mengatakan bahwa dia akan menunjukkan seseorang untuk melanjutkan tugasnya memimpin kaumnya. Orang yang akan ditunjukkan itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu selalu puasa siang hari, shalat malam tiap malam dan tidak boleh marah. Mendengar tawaran atau tantangan dari Ilyasa’ itu tampillah seorang laki-laki menyatakan kesanggupannya. Tetapi penampilannya tidak meyakinkan, masyarakat menganggap rendah orang tersebut. Ilyasa’ menanyakan kepada laki-laki itu apakah dia sanggup memenuhi atau tidak syarat itu? Laki-laki itu menyatakan sanggup. Tapi Ilyasa’ tidak menunjuknya hari itu.

Pada kesempatan lain tawaran itu kembali dilontarkan Ilyasa’ dengan tiga syarat yang sama, tidak ada yang sanggup kecuali laki-laki tersebut. Akhirnya Ilyasa’ mengangkatnya sebagai penggantinya.

Iblis mengumpulkan setan-setan dan mengatakan kepada mereka: “Kalian harus menggoda laki-laki tersebut”. Para setan mencoba menggodanya, tapi tidak berhasil. Lalu Iblis turun tangan sendiri menggodanya. Dia datang menemui laki-laki pengganti Ilyasa’ tersebut dalam rupa seorang laki-laki tua yang lemah.

“Saya ada persengketaan dengan penduduk di tempat ku tinggal. Masalahnya begini, begini. Laki-laki tua itu bercerita panjang lebar kian kemari, sehingga menghabiskan waktu tidur siangnya. Laki-laki saleh itu hanya menggunakan kesempatan tidur siang sebentar untuk istirahat.

Tidak boleh ada siapa pun datang bertamu atau berurusan pada waktu itu. Tapi iblis bisa menembus pengawalan dan tanpa sepengetahuan petugas sudah berhadapan langsung dengan laki-laki saleh tersebut. Iblis yang menyamar menjadi laki-laki tua berharap laki-laki saleh itu akan marah, tapi ternyata dia tidak marah, tetap melayani sampai waktu istirahatnya habis.

Laki-laki saleh itu menyarankan kepada orang tua yang punya persoalan itu agar datang ke majelisnya besok untuk diselesaikan pesoalannya. Besok orang tua itu sengaja tidak datang. Justru dia datang lagi pada waktu laki-laki saleh itu beristirahat dan mulai mengadukan masalahnya dengan bertele-tele, segaja mengulur waktu agar waktu istirahatnya habis.

Harapannya laki-laki saleh itu marah sehingga melanggar syarat yang disepakati dengan Ilyasa’. Tetapi laki-laki saleh itu tidak pernah marah. Akhirnya Iblis menyerah, tidak sanggup menggoda laki-laki itu agar marah. Sejak itu laki-laki saleh itu digelari Dzulkifli.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkannya melalui hadits Zuhair Ibnu Ibn Ishaq, dari Daud, dari Mujahid dengan lafal yang semisal. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdullah Ibn al-Haris, Muhammad ibn Qaisdan Abu Hujairah al-Akbar serta yang lain-lainnya dari kalangan ulama salaf, alur kisahnya mirip dengan kisah ini. Ibn Katsir mengomentari kisah itu, hanya Allah lah yang mengetahui  kebenarannya.

Imam Ahmad, sebagaimana dikutip Ibn Katsir, telah meriwayatkan sebuah hadits gharib, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar sebuah kisah dari Rasulullah, bukan hanya dua tiga kali tapi sampai tujuh kali. Dalam kisah itu disebutkan dulu di kalangan Bani Israil ada seorang Al-Kiflu (tetua) yang tidak segan-segan melakukan dosa apa pun.

Pada suatu hari datang seorang wanita minta tolong kepadanya, dia mau memberi bantuan 60 dinar tapi dengan syarat wanita itu mau tidur dengannya. Tatkala perbuatan zina, sudah hampir dilakukan, tubuh wanita itu bergetar dan dia menangis. Tetua itu bertanya: “Mengapa kamu menangis? Apa kamu tidak senang? Wanita menjelaskan bahwa dia belum pernah melakukan perbuatan dosa ini. Sebenarnya dia tidak mau melakukannya tapi karena terdesak oleh kebutuhan hidup, dia terpaksa melakukannya.

Tetua itu kemudian tidak jadi berzina dengan wanita itu. Dia menyuruh wanita itu pulang dan uang 60 dinar itu menjadi haknya. Saat itu juga dia bertekad tidak akan melakukan perbuatan maksiat lagi. Malam itu juga tetua itu meninggal dunia. Besoknya tertulis di pintu rumahnya kalimat, “Allah telah mengampuni Al-Kiflu”.

Menurut Ibn Katsir riwayat tersebut tidak terdapat dalam kutub Sittah. Hanya Allah lah yang tahu kebenarannya. Tetapi kalau diperhatikan riwayatnya, yang diceritakan di situ adalah al-Kiflu bukan Dzulkifli. Bisa saja yang diceritakan itu tokoh lain yang bernama Al-Kiflu, bukan Dzulkifli.

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (17.2 101) menyatakan cerita-cerita tentang Dzulkifli walau bersumber dari hadis tapi kualitasnya tidak jelas, kemungkinan kisah tersebut masuk dalam kategori Israiliyat. Cukuplah yang kita yakini informasi dari Al-Quran bahwa Dzulkifli adalah seorang Nabi dan Rasul yang sabar, sholih dan baik.

Sumber: https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/01/22/kisah-nabi-dzulkifli-as/

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement