Kamis 11 Jun 2020 18:49 WIB

Pengusaha Bus AKAP di Garut Keluhkan SIKM Jakarta

Pengusaha bus juga mengeluhkan adanya batasan penumpang sebesar 50 persen.

Warga duduk di dalam bus (ilustrasi). Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyampaikan, pengusaha bus antarkota antarprovinsi (AKAP) mengeluhkan adanya aturan surat izin keluar masuk (SIKM) sebagai syarat bisa keluar masuk ibu kota Jakarta.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Warga duduk di dalam bus (ilustrasi). Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyampaikan, pengusaha bus antarkota antarprovinsi (AKAP) mengeluhkan adanya aturan surat izin keluar masuk (SIKM) sebagai syarat bisa keluar masuk ibu kota Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyampaikan, pengusaha bus antarkota antarprovinsi (AKAP) mengeluhkan adanya aturan surat izin keluar masuk (SIKM) sebagai syarat bisa keluar masuk ibu kota Jakarta. Sebab, aturan itu cukup membebankan waktu dan materi.

"Menyiapkan SIKM ini sulit, sangat memberatkan karena harus mengeluarkan biaya lagi," kata Ketua Organda Garut, Yudi Nurcahyadi kepada wartawan di Garut, Kamis (11/6).

Baca Juga

Ia menuturkan, angkutan umum antarkota maupun antarprovinsi sudah diperbolehkan beroperasi dengan mengikuti protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19. Aturan yang harus diterapkan pelaku usaha bus umum, kata dia, di antaranya harus memiliki SIKM, para penumpang maupun sopir wajib memakai masker, dan menyediakan hand sanitizer.

Selain keberatan pembuatan SIKM, kata dia, pengusaha bus juga mengeluhkan adanya batasan penumpang sebesar 50 persen. Sebab, tidak sesuai dengan biaya operasional yang harus dikeluarkan setiap kali beroperasi.

"Aturannya dibolehkan angkut 50 persen penumpang, sedangkan biaya operasionalnya lebih besar, masalah ini banyak dikeluhkan pengusaha bus," katanya.

Terkait pemerintah sudah mengeluarkan aturan penyesuaian tarif angkutan, kata Yudi, besaran kenaikannya dibatasi minimal 10 persen dan maksimal 20 persen yang hanya diberlakukan untuk bus kelas eksekutif. Sedangkan bus kelas ekonomi, lanjut dia, tidak ada kenaikan, sehingga bus tersebut belum berani beroperasi karena biaya operasionalnya tidak akan tertutupi jika jumlah penumpang dibatasi sebesar 50 persen.

"Bus ekonomi tidak ada kenaikan tarif, makanya belum ada yang beroperasi karena biaya operasionalnya tidak akan tertutupi," katanya.

Sebelumnya, pemerintah membolehkan bus umum beroperasi pada 8 Juni 2020 dengan syarat setiap penumpang diperiksa kesehatannya, memakai masker, jaga jarak dan menjaga kebersihan diri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement