Kamis 11 Jun 2020 16:56 WIB

Ad-Durrun Nafis, Permata yang Indah

Karya Syekh Muhammad Nafis Al Banjari banyak diminati.

Rep: Syahruddin El Fikri/ Red: Muhammad Hafil
Ad-Durrun Nafis, Permata yang Indah. Foto: Ilustrasi Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari
Foto: tangkapan layar google
Ad-Durrun Nafis, Permata yang Indah. Foto: Ilustrasi Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari

REPUBLIKA.CO.ID, BANJAR -- Selama hidupnya, Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari menulis beberapa buah karya. Karya-karya tersebut sebagian membahas tentang masalah hubungan antara makhluk dengan khaliq, atau dalam bidang tasawuf. Buku-bukunya, antara lain, Kanz as-Sa'adah fi Bayan Istilihat as-Sufiyyah (suatu buku yang menguraikan istilah-istilah sufi) dan Ad-Durrun an-Nafis fi Bayan Wahdah al-Af'al wa al-Asma' wa as-Sifat wa az-Zat (Permata Berharga tentang Kesatuan, Nama, Sifat, dan Zat).

Buku Terakhir ini biasa disebut dengan ad-Durr an-Nafis (Permata Berharga), yang ditulis dalam bahasa Melayu ditulis dengan huruf Arab.

Baca Juga

Dan hingga kini, karya Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari banyak diminati dan masih digunakan sebagai buku pegangan tasawuf di sebagian wilayah Asia Tenggara. Bahkan, hingga kini, kitab ini masih terus dicetak di sejumlah negara seperti Makkah (Arab Saudi), Kairo (Mesir), Singapura, dan Surabaya (Indonesia). Kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.Secara garis besar buku ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan, bagian isi yang menjelaskan maqam (tingkatan) yang harus dilalui oleh seorang sufi, dan bagian penutup.

Pada bagian pendahuluan terbagi atas dua pokok pembahasan. Pembahasan pertama menjelaskan hal-hal yang dapat merusak usaha seorang salik (pengikut tasawuf) untuk mencapai keridlaan Allah SWT. Menurut Nafis, hal-hal yang dapat merusak usaha seorang Salik dalam mencapai keridlaan Allah itu adalah malas mengerjakan ibadah dalam keadaan mampu; lemah pendirian dan tidak mempunyai tekad untuk melakukan ibadah karena tergoda oleh kehidupan duniawi; serta cepat merasa bosan dalam melakukan ibadah.

Adapun pokok bahasan kedua dari pendahuluan berisi penjelasan tentang hal yang mengakibatkan gagalnya seseorang dalam mencapai tujuan mencapai keridlaan Allah SWT. Hal tersebut adalah syirik khafi (syirik terselubung), yang terdiri atas riya (pamer), sum'ah (mencari pujian dalam beribadah), 'ujub (membanggakan diri dengan ibadah, memandang ibadah sebagai perbuatan sendiri dan bukan sebagai nikmat yang diberikan Tuhan), dan hijab (ibadahnya menjadi pembatas antara dirinya dan Tuhan karena ia terpesona dengan keindahan ibadahnya itu dan mengganggap ibadahnya sudah sampai kepada Allah SWT).

Oleh karena itu, Syekh Muhammad Nafis mengingatkan, untuk mencapai ridla Allah, seorang salik harus yakin betul bahwa segala sesuatu pada hakikatnya adalah dari Allah SWT.Kemudian, pembahasan kitab dilanjutkan dengan bagian kedua yang membahas empat pasal, yaitu tauhid al-af'al, tauhid al-asma', tauhid as-sifat, dan tauhid az-zat. Dalam tauhid al-af'al, dijelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini pada hakikatnya adalah af'al (perbuatan) Allah SWT. Adapun tentang tauhid al-asma', Syekh Muhammad Nafis menyebutkan bahwa segala nama pada hakikatnya bersumber pada Allah SWT, karena segala yang wujud selain Allah adalah khayal (semu) atau wahm (sangkaan) belaka.

Tingkatan selanjutnya adalah tauhid as-sifat, yakni luluhnya seluruh sifat makhluk, termasuk dirinya sendiri ke dalam sifat Allah SWT. Sifat-sifat seperti qudrah (berkuasa), iradah (berkehendak), 'ilmu (mengetahui), hayah (hidup), sama' (mendengar), bashar (melihat), dan kalam (berkata-kata), adalah sifat Allah SWT. Dan bagi makhluk, sifat itu adalah semu. Pada tahap ini, seorang salik sudah mencapai taraf baqa bi sifat Allah (berada dalam sifat-sifat Allah SWT).

Kemudian, tentang Tauhid Az-Zat. Menurut Syekh Nafis, tauhid Az-Zat merupakan peringkat tauhid tertinggi. Inilah tujuan akhir setiap usaha seorang sufi. Sufi yang mencapai peringkat ini akan melihat bahwa tidak ada yang maujud (benar-benar ada) kecuali wujud Allah SWT. Wujud yang lain selain wujud Allah SWT adalah fana (tidak ada) di dalam wujud Allah SWT.

Berdasarkan gambaran isi Kitab Ad-Durrun Nafis di atas, banyak pihak yang menilai pemikiran tasawuf Syekh Muhammad Nafis merupakan corak pemikiran tasawuf falsafi yang berpaham Kesatuan Wujud atau Wahdatul Wujud. Sehingga, ada beberapa ulama yang secara keras menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam kitab tersebut haram untuk dipelajari dan dikaji. Bahkan, ada pula yang lebih keras menyatakan bahwa barang siapa yang mempelajari bahkan meyakini isi dan ajaran dalam kitab tersebut maka ia menjadi kafir. Fatwa ini disampaikan oleh mufti Kerajaan Johor, Sayyid Alwi Thahir Haddad.

Sikap pro dan kontra masyarakat dalam menerima dan mempelajari serta yang menolak kitab ini, dalam pandangan Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari (Banjarmasin), Prof Dr Asmaran, AS, MA, terbagi tiga kelompok.Pertama, kelompok yang memandang bahwa Kitab Ad-Durrun Nafis adalah kitab tasawuf yang tidak boleh diajarkan, karena dianggap banyak mengandung kesalahan, atau tidak sejalan dengan ajaran tasawuf mazhab ahlusunnah wal jamaah.

Kedua, kelompok yang melihat Kitab Ad-Durrun Nafis sebagai kitab tasawuf yang mengandung ajaran tinggi, sebagaimana dikatakan oleh pengarangnya sendiri bahwa ulama yang tinggi pengetahuan agamanya sajalah yang dapat memahami isi dan materi kitab tersebut, maka ia tidak boleh diajarkan kepada sembarang orang.

Karena itulah, menurut kelompok kedua ini hanya orang-orang tertentu atau mereka yang memenuhi syarat saja yang boleh mempelajari dan membacanya.Kemudian, kelompok ketiga berpendapat bahwa Kitab Ad-Durrun Nafis mempunyai kedudukan yang sama dengan kitab tasawuf pada umumnya. Karena itu, sebagai salah satu aspek ajaran Islam ia tidak boleh dirahasiakan, setiap orang mukmin boleh mempelajari dan membacanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement