Rabu 10 Jun 2020 05:20 WIB

'Puncak Intelijen Militer adalah Menjadi Kepala Bais TNI'

Mohon maaf semua tahu, orang-orang besar intelijen itu ya dari Angkatan Darat.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyematkan penghargaan kepada Kepala Bais TNI Marsdya Kisenda.
Foto: Dispenau
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyematkan penghargaan kepada Kepala Bais TNI Marsdya Kisenda.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Marsekal Madya (Marsdya) Kisenda Wiranatakusumah mengenang momen saat dinyatakan lulus Akademi Angkatan Udara (AAU) 1986. Saat ia lulus, Letjen (Purn) Achmad Wiranatakusumah juga menyudahi kariernya sebagai sekretaris jenderal Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (Hankamnas), yang bertugas membuat Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN).

Menurut Kisenda, sebenarnya ayahnya sudah pensiun dari militer pada 1980, namun oleh Presiden Soeharto masa dinasnya di lembaga yang sekarang bernama Wantannas tersebut diperpanjang. “Entah gimana, hubungannya ayah dengan Pak Harto yang cukup unik, walaupun sudah pensiun tambah enam tahun lagi. Itu pertanda alam, begitu beliau selesai pada 1986, saya lulus Akabri,” kata Kisenda dalam acara #AirTalk yang disiarkan Airmen Radio dan Instagram resmi TNI AU pada Senin (8/6) malam WIB.

Ayah Kisenda bukan orang sembarangan. Achmad Wiranatakusumah pernah menjabat kepala staf Kostrad saat Soeharto menjadi panglima Kostrad. Sebelumnya, kala menjadi komandan Batalyon 26 Brigade Guntur II yang populer dijuluki Batalyon Siluman Merah, Achmad bersama anak buahnya kerap menghilang dari kejaran tentara Belanda. Karena legenda di masyarakat yang mengetahui ‘kehebatan’ pasukan Achmad, maka mereka dianggap bisa nyiluman atau menghilang. Dari situlah, munculah julukan Batalyon Siluman Merah.

“Belanda itu lebih senang ditawan ayah saya, karena ayah saya dulu menghargai Konvensi Genewa tentang tawanan perang. Sebelum ayah meninggal, hubungan dengan orang Belanda (yang pernah ditahan) masih baik,” kata Kisenda yang menjelaskan ayahnya bagian dari pasukan Divisi Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah dan ikut terlibat dalam penumpasan gerakan PKI di Madiun, Jawa Timur pada 1948.

Kisenda pun mengenang satu momen kala ia sempat ditegur ayahnya. Hal itu terjadi lantaran ia tidak lulus menjalani psikotes sebagai penerbang tempur. Kisenda mengaku, sebenarnya sangat menyenangi menjadi pilot pesawat tempur. Dia juga sempat menerbangkan pesawat Hawk MK-53 saat menjalani pendidikan kejuruan pada 1987.

Bahkan, ia juga sempat dinyatakan lulus pendidikan charlie untuk membentuk penerbang transport (pesawat angkut). Namun, ujung-ujungnya menjadi pilot tempur tidak kesampaian. Alhasil, ia pun banting stir masuk korps intelijen ketika ditawari salah satu direktur pengamanan Mabes AU.

Kisenda menyatakan, harus mulai membiasakan diri dengan lingkungan baru. Jika sebelumnya ia selalu berinteraksi dengan alat dan mesin kala menerbangkan pesawat, kini pekerjaannya menuntutnya harus berinteraksi dengan manusia. “Saya masuk dan saya cocok sampai saat ini, saya fokus di korps intelijen. Saya yang penting mengabdi,” kata kepala Bais TNI pertama yang menyandang bintang tiga tersebut.

Mendapati anaknya memilih korps intelijen, Achmad mempertanyakan jalan yang dipilih Kisenda. Menurut Achmad, jika ujungnya menjadi tentara malah masuk korps intelijen, mengapa tidak sejak awal mendaftar di Akademi ABRI (sekarang Akademi Militer) saja. Pasalnya, kala itu memang tokoh-tokoh hebat di dunia intelijen identik dengan matra TNI AD.

Adapun jika merupakan alumnus AAU, lebih dikenal sebagai pilot andal. Kisenda juga menyadari itu. Selama ini dalam benaknya, tertanam pikiran jika lulus AAU pasti keren kalau menjadi penerbang tempur. Bukan berarti merendahkan korps lain. Namun, ia memang sangat ingin menerbangkan pesawat.

Kisenda pun menjelaskan ke ayahnya, jika ia masuk Akabri belum tentu bisa disiplin menyelesaikan pendidikan. Dia malah takut di tengah jalan keluar, sehingga memilih mendaftar di AAU dengan harapan dapat menerbangkan pesawat tempur sesuai keinginannya.

Lho ayah saya bilang, ‘kamu kalau masuk intel gini kenapa gak dari dulu Angkatan Darat saja’? Ya di sini saya kira tak ada pembatasan bagi saya mau korps mau matra, mau apa, asal kita fokus melakukan, yang dulu intelijen domainnya, mohon maaf orang semua juga tahu, orang-orang besar intelijen itu ya dari Angkatan Darat, tapi kan ternyata saya juga bisa suskes saya,” ucap Kisenda menjelaskan sosok ayahnya yang juga tokoh intelijen.

Dengan tetap merendah, Kisenda akhirnya bisa membuktikan pilihan kariernya tidak salah. Pasalnya, ia yang merasa menjalani pekerjaan dengan mengalir dan biasa-biasa saja malah akhirnya menjadi kepala Bais TNI. Kisenda pun akhirnya bisa menyamai karier Achmad, yang sama-sama pensiun dari kedinasan TNI dengan menyandang pangkat bintang tiga.

“Malahan menurut saya puncak intelijen militer adalah kepala Bais (TNI), dan saya sangat bangga dengan pencapaian saya, mungkin kalau ayah saya masih hidup sangat bangga dengan saya,” ujar Kisenda yang seangkatan dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto ini.

Ada hal unik yang pernah dilalui Kisenda terkait perjalanannya di dunia militer. Suatu ketika, ia mengikuti tes untuk menjadi atase pertahanan (athan) yang ditugaskan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Apa yang terjadi? Dengan gamblang, Kisenda menjelaskan, jika ia harus bernasib tidak baik. Dia gagal lolos tes athan, dan tidak bisa merasakan penugasan di luar negeri.

Dia menduga, kegagalan terjadi lantaran ia lebih banyak bekerja sebagai intelijen lapangan. Sementara athan ini identik dengan kegiatan protokoler ketat, dan ia menyadari unggah-ungguh keprotokoleran sangat kurang. Meski begitu, ia akhirnya hanya bisa pasrah. Meski manusia bisa berencana, namun pada akhirnya jika Tuhan menganggap tidak pas, keinginan itu tidak bisa tergapai.

Dari perenungan itu, Kisenda menganggap, jalur karier menjadi athan tidak pas baginya. Dan itu bukan akhir baginya, lantaran sekarang ia malah membawahi athan yang ditugaskan di KBRI di seluruh penjuru dunia. “Saya ingat dulu saya tes athan tidak lulus, tapi akhirnya saya malah jadi kepala Bais yang mengorganisasikan dan membawahi athan,” kata mantan asisten pengamanan kepala staf Angkatan Udara (aspam KSAU) ini.

Dari berbagai perjalanan hidup yang kadang tidak sesuai rencana itulah, Kisenda belum bisa memastikan apa aktivitas yang dijalaninya setelah purnatugas pada akhir Agustus 2020. Menurut dia, pengalamannya selama ini membuktikan kadang keinginan manusia itu bisa tidak terwujud jika Tuhan tak berkehendak.

“Kembali lagi saya tunjukkan. Saya dulu ingin jadi penerbang tempur fighter, tapi Tuhan bilang kamu gak cocok. Di intel juga tadinya gak kelihatan-kelihatan, tahunya jadi (kepala Bais). Saya banyak cita-cita tidak jadi, tapi jadi di tempat lain,” kata Kisenda.

Meski begitu, ia memiliki hasrat ketika sudah pensiun masih bisa menyalurkan ilmunya bagi junior di TNI. Kisenda memegang falsafah sebagai pribadi yang senang membuat orang lain senang. Sehingga ia ingin mengabdikan diri ke TNI dengan menjadi pengajar siswa Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI atau Sesko angkatan.

Sebagai seorang yang gemar membaca, ia memiliki pengalaman yang dapat dibagikan kepada perwira TNI, yang pasti bermanfaat bagi perjalanan calon pemimpin militer. Hanya saja, ia menyerahkan semuanya kepada Tuhan untuk memberikan yang terbaik baginya saat mengisi waktu pensiun.

“Kalau boleh saya itu senang mengabdi dan berbuat pada orang banyak. Izinkan saya men-share ilmu saya, istilahnya ngajar. Saya senang berbagi ilmu dan berdiskusi, tentunya dari baca-baca sharing pengalaman,” ujar Kisenda yang sejak kecil gemar membaca, dan berjanji semakin giat membaca buku setelah pensiun karena bakal memiliki waktu luang lebih banyak.

Dia punya tips bagi siapa pun agar dalam menjalani pekerjaan bisa fokus dengan kemampuan diri sendiri. Kisenda berpesan, orang sebaiknya bekerja dengan tidak melihat kiri dan kanan. Bagi dia, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Karena itu, jangan silau melihat orang lain sukses. Jika seseorang terus memikirkan orang lain, malah bisa bikin frustrasi. Padahal, menurut Kisenda, belum tentu orang yang dianggap sukses itu hidupnya bahagia.

“Kita jangan lihat, membanding-bandingkan, bahagialah dengan apa yang kita kerjakan. Jangan menyalahkan orang lain kalau gagal, karena kebanyakan kita menyalahkan orang lain,” kata Kisenda yang mengaku mendapat berkah (blessing) bisa mengakhiri tugas kemiliteran dengan baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement