Selasa 09 Jun 2020 15:45 WIB

Pejabat Xinjiang: Larangan Puasa Ramadhan Mengada-ada

Turkestan Timur dinilai tebar propaganda negatif untuk pisahkan Xinjiang dari China.

FILE - Foto tertanggal 3 Desember 2018, menunjukkan menara penjaga dan pagar tinggi berkawat duri di sekeliling  kamp konsentrasi di Kunshan Industrial Park. Berdasarkan data yang bocor menyebutkan tempat ini menjadi tempat indoktrinasi di Artux di Xinjiang.
Foto: AP Photo
FILE - Foto tertanggal 3 Desember 2018, menunjukkan menara penjaga dan pagar tinggi berkawat duri di sekeliling kamp konsentrasi di Kunshan Industrial Park. Berdasarkan data yang bocor menyebutkan tempat ini menjadi tempat indoktrinasi di Artux di Xinjiang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, China, Senin (8/6), menganggap larangan puasa bagi umat Islam setempat selama bulan Ramadhan lalu mengada-ada. Isu tersebut dinilai merupakan fabrikasi oleh kelompok Turkestan Timur.

"Tuduhan larangan yang dibuat oleh oleh kelompok dari luar negeri sangat mustahil. Setiap bulan Ramadhan, mereka biasa menyebarkan isu itu untuk menyerang Xinjiang secara membabi buta," kata juru bicara Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang Ilijan Anayt dikutip media lokal.

Baca Juga

Menurut dia, kelompok Turkestan Timur yang berkeinginan memisahkan Xinjiang dari China itu menuduh pemerintah daerah setempat melarang umat Islam berpuasa Ramadhan. "Di dalam laman World Uygur Congress terungkap rencana mengunggah klip video yang menempatkan warga etnis Uighur sebagai sasaran persekusi selama Ramadhan," ujar Ilijan.

Ilijan menegaskan bahwa tidak ada satu pun warganya yang didiskriminasi atau dizalimi karena memiliki keyakinan dalam beragama atau tidak di daerahnya.

Semua kegiatan keagamaan, baik yang dilaksanakan di tempat ibadah atau di rumah, seperti shalat dan puasa, diatur oleh kelompok agama atau umat beragama itu sendiri dan dilindungi oleh hukum.

Terkait video yang mempertontonkan persekusi terhadap warga etnis Uighur, Ilijan menyatakan sebagai berita palsu yang bertujuan untuk mempertentangkan antarkelompok etnis, memutus hubungan antaretnis, dan membangkitkan amarah antaretnis di wilayah paling barat China itu.

"Niat mereka sangat licik. Tidak dapat dimungkiri, Xinjiang telah menikmati aktivitas keagamaan yang harmonis dan teratur selama bulan puasa," ujarnya.

Sementara itu, untuk menanggapi tuduhan bahwa kamp pelatihan vokasi sangat berisiko tinggi terhadap penularan Covid-19, jubir mengatakannya sebagai tuduhan yang sangat tidak berdasar. Menurut data pemerintah setempat, di Xinjiang terdapat 76 kasus positif Covid-19. Namun dalam 100 hari berturut-turut tidak ada kasus penambahan baru.

"Melalui kerja keras bersama yang dilakukan oleh semua kelompok etnis di Xinjiang, situasi pandemi di daerah ini tertanggulangi secara efektif," ujarnya menambahkan.

Pemerintah daerah setempat membangun kamp vokasi sesuai undang-undang yang berlaku untuk mendidik warga setempat untuk belajar bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional China, konstitusi, dan berlatih keterampilan serta program deradikalisasi. Menurut pemerintah daerah setempat, semua peserta didik di kamp vokasi tersebut telah lulus pada Desember 2019. Etnis Uighur merupakan etnis terbesar di Xinjiang yang mayoritas beragama Islam.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement