Selasa 09 Jun 2020 11:16 WIB

Kekhawatiran Penyebaran Covid-19 dari Demo George Floyd

Ada potensi aksi unjuk rasa menjadi bibit penyebaran Covid-19.

Sejumlah orang turut mengambil bagian dalam aksi demonstrasi Black Lives Matter di Kopenhagen, Denmark, Ahad (7/6). Aksi tersebut sebagai tanggapan atas pembunuhan George Floyd oleh petugas polisi di Minneapolis, AS, yang telah menyebabkan protes di banyak negara dan di seluruh dunia.  Aksi unjuk rasa dikuatirkan bisa menjadi bibit penyebaran Covid-19.
Foto: Nikolai Linares / Ritzau Scanpix via AP
Sejumlah orang turut mengambil bagian dalam aksi demonstrasi Black Lives Matter di Kopenhagen, Denmark, Ahad (7/6). Aksi tersebut sebagai tanggapan atas pembunuhan George Floyd oleh petugas polisi di Minneapolis, AS, yang telah menyebabkan protes di banyak negara dan di seluruh dunia. Aksi unjuk rasa dikuatirkan bisa menjadi bibit penyebaran Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Kamran Dikarma, Rizky Jaramaya, Fergi Nadira

Kekhawatiran itu agaknya terjadi. Demo antirasialisme dan protes terhadap kekerasan kepolisian di Amerika yang terjadi beberapa hari terakhir menimbulkan ketakutan kemungkinan kembali penyebaran virus corona jenis baru atau Covid-19.

Baca Juga

Dilansir dari CNN, Selasa (9/6), hampir separuh dari negara bagian di Amerika memperlihatkan kenaikan kasus Covid-19. Namun, studi menunjukkan bahwa situasi bisa jauh lebih buruk jika negara bagian tidak menutup diri.

Amerika Serikat telah mencatatkan 2 juta kasus Covid-19. Sementara itu, korban meninggal akibat virus corona di negara tersebut telah mencapai 110.514 jiwa.

 

Secara total, 22 negara bagian memperlihatkan adanya kenaikan tren virus corona. Sebanyak 20 negara bagian mencatatkan penurunan kasus dalam beberapa hari terakhir dan delapan negara bagian stabil.

Salah satu negara bagian yang mencatatkan lonjakan kasus adalah Florida. Kenaikan kasus baru bahkan meningkat hingga 46 persen dalam sepekan, bertepatan dengan masa negara bagian itu memasuki fase kedua pembukaan karantina.

Secara global, pandemi Covid-19 agaknya masih jauh dari berakhir. Badan Kesehatan Dunia atau WHO mencatat pada Ahad (7/6) terjadi kenaikan jumlah kasus tertinggi dalam satu hari di dunia selama pandemi terjadi.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, 136 ribu kasus baru dilaporkan dalam satu hari. "Hampir 75 persen kasusnya datang dari 10 negara, kebanyakan di Amerika dan Asia Selatan," katanya.

Peneliti dari University of California Berkeley mengatakan, sekitar 60 juta kasus Covid-19 bisa dihindari di Amerika hingga awal April berkat aturan yang dibuat di sana. "Temuan ini muncul ketika pemimpin dunia mencoba menyeimbangkan kerugian ekonomi yang besar dari biaya kebijakan kesehatan darurat dengan manfaat kesehatan publik, yang cukup sulit dilihat," kata peneliti University of California Berkeley.

Aturan darurat itu seperti menutup bisnis dan sekolah, melarang travel, dan meminta masyarakat mengisolasi diri. "Studi tidak memperkirakan berapa banyak kehidupan yang mungkin diselamatkan dari kebijakan yang ada, dengan banyaknya infeksi, angka kematian seharusnya lebih tinggi."

Saat pengunjuk rasa membanjiri jalanan, pejabat bidang kesehatan menekankan pentingnya waspada. Virus corona bisa menular hanya dengan berbicara atau bernapas.

Pembawa virus bisa menyebarkannya bahkan ketika ia tidak memiliki gejala apa pun. Karena itu, penting mengenakan masker dan menjaga jarak sebisa mungkin.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan pengawasan ketat ke pengunjuk rasa. Direktur CDC Dr Robert Redfield mengatakan, pengunjuk rasa harus dievaluasi dan dites.

"Saya melihat ada potensi, (aksi unjuk rasa) bisa menjadi bibit penyebaran," kata Redfield. Hal tersebut terutama di area metropolitan yang kasus transimisinya tinggi.

Dikutip laman Worldmeters pada Senin (8/6) siang, AS tercatat memiliki 2.007.449 kasus Covid-19. Negara Bagian New York menjadi wilayah dengan kasus tertinggi, yakni mencapai 398.828. New York memiliki 30.442 kematian akibat Covid-19 atau terbanyak jika dibandingkan wilayah AS lainnya.

New Jersey berada di bawah New York dengan 166.006 kasus dan 12.216 kematian. Kalifornia menyusul di tempat ketiga dengan 131.710 kasus dan 4.653 kematian.

Illnois berada di posisi keempat dengan 127.757 kasus dan 5.904 kematian. Massachusetts menempati urutan kelima dengan 103.436 kasus dan 7.316 kematian.

Selain kelima negara bagian tersebut, kasus di wilayah lainnya masih berada di bawah angka 100 ribu. Sementara itu, pasien sembuh di Negeri Paman Sam tercatat sebanyak 761.708.

Aksi unjuk rasa memprotes kematian pria kulit hitam George Floyd akibat kekerasan oleh petugas kepolisian tidak hanya terjadi di Amerika. Aksi serupa meluas ke Eropa, termasuk ke Inggris, yang membuat kekhawatiran akan penyebaran corona juga terjadi lagi di sana.

Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan, aksi protes anti rasisme yang diikuti oleh ribuan orang di London dan kota-kota besar lainnya dapat berisiko menyebabkan peningkatan jumlah kasus virus corona. Sebagian besar peserta aksi protes mengabaikan protokol untuk menjaga jarak dan mengenakan masker.

"Saya sangat mendukung argumen yang dibuat oleh para pemrotes, tetapi virus itu tidak membeda-bedakan dan berkumpul dalam kelompok besar. Melanggar peraturan justru dapat meningkatkan risiko penyebaran virus," ujar Hancock, dilansir dari Reuters.

Anggota kelompok Penasihat Ilmiah untuk Keadaan Darurat (SAGE), John Edmunds, mengatakan, risiko penyebaran virus lebih rendah di luar ruangan. Perkiraan saat ini adalah penularan sekitar satu dari seribu orang.

"Jika Anda memiliki kerumunan beberapa ribu orang, beberapa dari orang-orang itu menjadi menular. Jadi, itu berisiko memiliki ribuan orang berkumpul bersama," kata Edmunds kepada BBC TV.

Selama vaksin belum ditemukan, protokol kesehatan yang ketat memang harus diadopsi siapa pun dalam era new normal. WHO sudah mewajibkan pemakaian masker bagi semua orang di depan umum guna menghentikan penularan Covid-19.

Informasi baru menunjukkan bahwa masker dapat menghalangi tetesan virus yang berpotensi menular. Sebelumnya WHO tidak mewajibkan orang memakai masker dan menyatakan tidak ada cukup bukti untuk mengatakan bahwa orang sehat harus memakai masker. Beberapa negara pun sudah lebih dahulu mewajibkan pemakaian masker di negara masing-masing tanpa rekomendasi WHO.

Pakar Utama Teknis WHO pada Covid-19, Maria Van Kerkhove, mengatakan rekomendasinya bagi orang-orang untuk mengenakan masker kain, bukan masker medis, di daerah-daerah di mana ada risiko penularan penyakit. WHO selalu menyarankan bahwa masker medis harus dipakai oleh orang yang sakit dan mereka yang merawatnya.

Organisasi itu mengatakan, pedoman baru telah diminta oleh studi selama beberapa pekan  terakhir. "Kami menyarankan pemerintah untuk mendorong agar masyarakat umum memakai masker," kata Dr Van Kerkhove.

Pada saat yang sama, WHO menekankan bahwa masker penutup wajah hanyalah salah satu dari serangkaian alat yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko penularan. "Masker sendiri tidak akan melindungi Anda dari Covid-19," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

photo
Black Lives Matter Gerakan Melawan Rasisme - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement