Selasa 09 Jun 2020 05:25 WIB

Meski Pandemi, Penanganan Strok tak Bisa Ditunda

Penderita strok punya periode emas 4,5 jam untuk penanganan demi perbaikan kondisi.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Reiny Dwinanda
Pencitraan pada otak menunjukkan dampak strok (ilustrasi). Pemulihan penderita strok bergantung pada kecepatan penanganan sejak timbul gejala.
Foto: AP
Pencitraan pada otak menunjukkan dampak strok (ilustrasi). Pemulihan penderita strok bergantung pada kecepatan penanganan sejak timbul gejala.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Strok termasuk salah satu penyakit yang jumlah penderitanya banyak di Indonesia. Kejadian strok berkisar 250 kasus per 100 ribu penduduk berisiko. Asumsinya, setiap enam detik ada satu kasus baru stroke.

"Data menunjukkan demikian, masuk 10 killer di Indonesia atau pembunuh kedua di dunia,” kata dokter saraf di Siloam Hostital Kebon Jeruk, Jakarta, dr Hadi Widjaja dalam webinar Penanganan Kesehatan Saraf di Era New Normal, Senin (8/6).

Baca Juga

Meskipun kematian karena strok hanya 25 persen, tetapi penyakit saraf itu menimbulkan risiko kecacatan atau disabilitas yang tinggi. Berdasarkan data, dampak strok, yakni, 25 persen kematian, 10 persen sembuh, 25 persen kecacatan minor, 40 persen cacat sedang hingga berat, dan 10 persen disabilitas parah dengan perawatan jangka panjang.

Hadi menjelaskan, penderita stok hanya memiliki waktu emas 4,5 jam untuk mendapat pemulihan yang lebih baik.

“Itu yang membuat strok bergantung pada waktu, kalau datang terlambat, maka kecil kemungkinan pemulihan sempurna,” ujar dia.

Pengobatan strok memiliki sejumlah pilihan pemulihan dengan mengetahui tingkat keparahan. Awalnya, pasien yang masuk unit gawat darurat (UGD) akan melakukan pencitraan otak dan terapi reperfusi (IVT dan EVT). Kemudian, dokter menentukan metode perawatan, entah di ICU, unit strok, atau bangsal.

"Rehabilitasi dan pencegahan perburukan dilakukan selama perawatan, rawat jalan, dan kontrol faktor risiko," tuturnya.

Hadi mengatakan era pandemi Covid-19 membuat perawatan dan pengobatan strok tak bisa berjalan baik. Ada kekhawatiran dari sisi pasien maupun petugas medis. Hal itu membuat pihak rumah sakit membuat sistem perawatan baru.

“Kedaruratan medis tak bisa menunggu, harus ditangani dalam waktu sesingkat-singkatnya,” kata Hadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement