Selasa 09 Jun 2020 05:05 WIB

Dilema Mahasiswa Arab Saudi di Luar Negeri

90 ribu mahasiswa Arab Saudi sedang menempuh pendidikan di luar negeri.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Ani Nursalikah
Dilema Mahasiswa Arab Saudi di Luar Negeri. Beberapa mahasiswa Arab Saudi yang dievakuasi dari Wuhan. China tiba di Riyadh, 2 Februari 2020.
Foto: Saudi Press Agency via AP
Dilema Mahasiswa Arab Saudi di Luar Negeri. Beberapa mahasiswa Arab Saudi yang dievakuasi dari Wuhan. China tiba di Riyadh, 2 Februari 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, ONTARIO -- Merebaknya virus Covid-19 memaksa para mahasiswa asal Arab Saudi menjalani masa-masa tak menentu ketika berada jauh dari rumah. Penerapan sistem belajar berbasis virtual (online) dengan mengandalkan platform pertemuan digital juga memunculkan pro dan kontra. 

Alhanouf Fahad, seorang mahasiswa hukum asal Saudi di Oregon, AS, mengatakan, kelas virtual memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurutnya, belajar melalui perangkat elektronik tanpa perlu pergi ke kampus, sangatlah fleksibel dan hemat waktu. Namun dia mengaku jadwal pertemuan belajarnya yang tidak menentu, kerap membuatnya tak nyaman. 

Baca Juga

“Kelas online di bawah karantina menghemat waktu saya dalam menggunakan transportasi. Lebih nyaman dan menawarkan fleksibilitas,” kata Alhanouf yang dikutip di Arab News, Senin (8/6). 

“Sedangkan musuh terbesar kelas online adalah penundaan dan tidak bisa mengunjungi perpustakaan universitas. Nilai saya juga terpengaruh, karena sedikit bahkan tidak adanya interaksi antara mahasiswa dan dosen,” keluhnya. 

Selama menjalani sistem pendidikan berbasis virtual, Alhanouf menganalogikan hidupnya seperti berada di ruang tunggu. Keterbatasan untuk berinteraksi langsung bersama kawan atau sekedar pergi jalan-jalan, membuat rutinitasnya berubah monoton. 

"Hari-hariku telah berubah menjadi tugas-tugas Google Classroom, kegiatannya hanya seputar belajar, menggambar dan merajut, menonton acara tak jelas di Netflix, dan Face Timing bersama keluarga saya untuk menghabiskan waktu,” ujarnya. 

Hal serupa juga dirasakan sang adik, Laila Fahad yang terjebak bersamanya di Oregon. Laila seharusnya sudah kembali ke Arab Saudi sejak akhir Maret lalu, namun wabah corona memaksanya tinggal lebih lama. 

Bukan hanya di Alhanouf dan Laila, Aseel Al-Harbi, seorang mahasiswa kedokteran asal Arab Saudi yang tengah mengejar gelar master di Universitas Leeds Inggris, mengatakan, saat virus corona mewabah, universitasnya dengan cepat mengambil langkah-langkah kuat, seperti menangguhkan kelas, menutup perpustakaan dan menerapkan sistem kuliah online.

“Saya biasa menghabiskan sebagian besar waktu saya di kampus antara kelas dan perpustakaan, jadi berada seharian di rumah adalah pembunuh motivasi yang nyata. Namun, saya tahu seluruh situasi ini juga baru bagi semua orang, dan kita semua sama,” ujar Harbi. 

Karena adanya pembatasan sosial, Harbi mengatakan, banyak rekannya yang merayakan kelulusan hanya melalui platform perkumpulan virtual seperti Zoom, Snapshat dan Skype. Sebagai mahasiswa yang tengah menanti kelulusan, Harbi mengaku khawatir apakah dia dapat naik ke podium dan menerima langsung ijazahnya, atau hanya muncul di layar dan mendengar sambutan rektor yang membosankan. 

“Setiap aspek dari rutinitas harian saya telah berubah. Meskipun itu tidak mudah, kita harus kuat, tetap positif dan mengikuti aturan karantina,” katanya.

Pada akhir 2019, Kementerian Pendidikan Saudi mengatakan ada lebih dari 90 ribu mahasiswa asal Arab Saudi yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Otoritas Umum Penerbangan Sipil (GACA) telah menyelesaikan sejumlah penerbangan repatriasi bagi warga negara Saudi, termasuk pelajar, yang ingin kembali ke tanah air.

Namun hingga kini Arab Saudi masih menghentikan semua penerbangan internasional keluar atau masuk sejak 15 Maret lalu, untuk mengekang penyebaran virus corona.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement