Ahad 07 Jun 2020 13:47 WIB

Trump akan Pakai 10 Ribu Tentara untuk Atasi Demo

Rencana Trump mengerahkan militer mendapat penolakan dari pejabat di sekitarnya.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Teguh Firmansyah
Petugas polisi dari Ferguson, Mo, berlutut dan bergabung dengan pengunjuk rasa aksi menyerukan keadilan atas kematian George Floyd di tempat parkir kantor polisi, Sabtu (30/5). Demonstrasi itu dipicu oleh kematian Floyd, seorang pria kulit hitam yang terbunuh ketika ditahan polisi di Minneapolis pada 25 Mei
Foto: Robert Cohen/St. Louis Post-Dispatch via A
Petugas polisi dari Ferguson, Mo, berlutut dan bergabung dengan pengunjuk rasa aksi menyerukan keadilan atas kematian George Floyd di tempat parkir kantor polisi, Sabtu (30/5). Demonstrasi itu dipicu oleh kematian Floyd, seorang pria kulit hitam yang terbunuh ketika ditahan polisi di Minneapolis pada 25 Mei

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan mengerahkan 10 ribu personel pasukan militer untuk mengendalikan aksi protes di Washington DC pada pekan ini, menurut laporan the Washington Post dan CBS News. Menurut pejabat Pentagon, Jaksa Agung Bill Barr, Menteri Pertahanan Mark Esper, dan Kepala Staf Gabungan Militer Mark Milley kurang sepakat. Mereka mengusulkan agar tidak ada pengerahan pasukan dalam pertemuan di Gedung Oval, Senin (8/6). 

“Kita perlu mengendalikan jalanan. Kami membutuhkan 10 ribu tentara di sini (Washington). Saya menginginkannya sekarang juga," kata Trump, dikutip sumber di Pentagon seperti dilansir the Hill, Ahad (7/6).

Baca Juga

Sebelumnya, Presiden Trump mengatakan, dia mempertimbangkan tindakan untuk meredam aksi protes nasional terkait kematian pria Afrika-Amerika, George Floyd, oleh petugas kepolisian di Minneapolis pada 25 Mei lalu. Kebijakan Trump yang mengerahkan pasukan militer untuk meredam aksi demo menuai kritik dari sejumlah pihak.

Beberapa anggota parlemen mengkritik kebijakan Trump yang mengerahkan kekuatan pasukan keamanan secara berlebihan untuk menghentikan aksi protes nasional. Sebelumnya, pasukan keamanan membubarkan demonstran dengan menggunakan gas air mata dan pentungan di Lafayette Square, dekat Gedung Putih.

 

Kebijakan Trump juga mendapatkan kritik keras dari mantan menteri pertahanan, James Mattis. Mattis menuding Trump telah memecah belah bangsa dan melanggar hak-hak konstitusional.

"Donald Trump adalah presiden pertama dalam hidup saya yang tidak mencoba menyatukan rakyat Amerika. Sebaliknya dia mencoba memecah belah kita. Kami menyaksikan konsekuensi dari tiga tahun upaya yang disengaja ini. Kami menyaksikan konsekuensi tiga tahun tanpa kepemimpinan yang matang," ujar Mattis.

Mattis menjabat sebagai menteri pertahanan di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama. Dia kemudian tetap menjabat sebagai menteri hingga Donald Trump menjadi presiden. Namun, Mattis mengundurkan diri pada Desember 2018 setelah berselisih dengan Trump mengenai penarikan pasukan AS dari Suriah.

Mattis banyak disukai oleh anggota Kongres dari kedua kubu partai. Partai Republik menyatakan penyesalan ketika mengetahui bahwa Mattis dipecat. Setelah keluar dari pemerintahan Trump, Mattis tidak pernah muncul di hadapan publik dan menghindari untuk mengkritik presiden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement