Ahad 07 Jun 2020 05:44 WIB

BMKG Latih Petani Pahami Iklim

Berkembangnya hama penyakit disebabkan tak sesuainya pola tanam dengan kondisi iklim.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Muhammad Fakhruddin
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Indonesia (BMKG) Dwikorita Karnawati (kanan) bersama Bupati Temanggung HM AL Khadziq (kedua kanan) berbincang tentang bawang merah jenis karet saat panen bawang merah Sekolah Lapang Iklim (SLI) BMKG di perladangan lereng Gunung Sumbing di Desa Legoksari, Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (6/6/2020). Panen bawang merah di lahan percontohan tersebut menggunakan program SLI dengan pendekatan yang memberdayakan petani untuk memahami dan memanfaatkan informasi tentang cuaca, iklim, musim secara efektif dalam pertanian.
Foto: Antara/Anis Efizudin
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Indonesia (BMKG) Dwikorita Karnawati (kanan) bersama Bupati Temanggung HM AL Khadziq (kedua kanan) berbincang tentang bawang merah jenis karet saat panen bawang merah Sekolah Lapang Iklim (SLI) BMKG di perladangan lereng Gunung Sumbing di Desa Legoksari, Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (6/6/2020). Panen bawang merah di lahan percontohan tersebut menggunakan program SLI dengan pendekatan yang memberdayakan petani untuk memahami dan memanfaatkan informasi tentang cuaca, iklim, musim secara efektif dalam pertanian.

REPUBLIKA.CO.ID,TEMANGGUNG -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggelar Sekolah Lapang Iklim (SLI) virtual di Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulyo, Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu (6/6). Kegiatan tersebut sebagai langkah antisipatif menghadapi iklim ekstrem di tengah pandemi Covid-19.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan dampak iklim ekstrem sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian karena akan mengakibatkan penurunan produksi secara kuantitas maupun kualitas.

Selain itu, berkembangnya hama penyakit disebabkan tidak sesuainya pola tanam dengan kondisi iklim yang kemudian mengancam kualitas produksi hingga gagal panen. Risiko gagal panen yang dialami petani ini tentu saja akan berdampak luas pada sistem ketahanan pangan nasional.

"Petani dan penyuluh pertanian perlu mendapat sosialisasi secara massif tentang iklim. Tujuannya selain produksi yang dihasilkan semakin meningkat, informasi dari BMKG dapat dimanfaatkan secara maksimal guna mendukung sektor pertanian," kata Dwikorita dalam keterangan pers pada Republika.co.id, Sabtu (6/6).

Dwikorita memaparkan, petani dan penyuluh pertanian dibekali sejumlah materi pengetahuan. Di antaranya pengenalan unsur cuaca, alat ukur cuaca dan penakar hujan sederhana, pemahaman informasi dan prakiraan iklim/musim, proses pembentukan hujan, pemahaman iklim/iklim ekstrem hingga materi tentang pengaruh cuaca atau iklim terhadap hama dan penyakit pada tanaman.

Penyampaian materi dan konsultasi dilakukan secara virtual dengan bahasa sederhana agar mudah dimengerti petani dan penyuluh pertanian. "Metode pembelajaran jarak jauh ini dilaksanakan sebagai langkah pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19, tanpa menghilangkan substansi pokok dalam SLI," ujar Dwikorita.

Dengan memahami informasi iklim, diharapkan produktivitas pertanian bisa meningkat hingga 30 persen. Jika dulu petani secara tradisional bisa berpatokan pada hari dan bulan, maka sekarang harus berpatokan dengan data, yaitu pola curah hujan tiap wilayah.

BMKG telah memprediksi puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus. Adapun curah hujan diperkirakan masih berlangsung hingga Juni. Percepatan tersebut guna mengantisipasi terjadinya krisis pangan.

"30% wilayah di Indonesia yang memasuki zona musim akan mengalami kemarau lebih kering dari biasanya. Percepatan musim tanam ini dilakukan dengan memanfaatkan sisa curah hujan sebelum memasuki kemarau panjang," sebut Dwikorita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement