Sabtu 06 Jun 2020 17:16 WIB

4 Orang Sekeluarga di Gubeng Surabaya Meninggal

4 Orang Sekeluarga di Gubeng Surabaya Meninggal, Begini Kisahnya

Rep: jatimnow.com/ Red: jatimnow.com
4 Orang Sekeluarga di Gubeng Surabaya Meninggal, Begini Kisahnya
4 Orang Sekeluarga di Gubeng Surabaya Meninggal, Begini Kisahnya

jatimnow.com - Sungguh pilu yang dialami D, warga Gubeng Kota Surabaya. Dalam kurun waktu kurang dari seminggu, di tengah Pandemi Covid-19, dia harus kehilangan keluarga tercintanya. Yaitu papa, mama, kakak dan keponakannya.

Yang pertama kali meninggal dunia adalah papanya, Gatot Soehardono (68) pada 30 Mei 2020 pukul 7.30 Wib di salah satu rumah sakit di Surabaya selatan.

Baca juga:

  • Satu Keluarga Meninggal Dunia di Gubeng, Terpapar Covid-19?
  • Satu Keluarga di Gubeng Meninggal, Warga Resah

Kedua, calon keponakannya di dalam kandungan yang berusia 8 bulan dari kakaknya Debby Kusumawardhani (34). Janin itu dimakamakan pada 30 Mei pukul 18.00 Wib.

Sedangkan 31 Mei, kakak pertamanya Debby meninggal dunia pada pukul 01.50 Wib dan dimakamkan juga di Makam Keputih Surabaya. Selang dua hari kemudian, mamanya Christina Sri Winarsih (60) juga meninggal dunia di rumah sakit yang sama pada pukul 14.30 Wib.

D (27), anak bungsu dari keluarga itu menceritakan musibah di keluarganya yang merenggut empat orang tersayangnya.

"Sekitar pertengahan Mei itu memang kakak lagi hamil 8 bulan. Beliau kontrol kandungan ke rumah sakit di Surabaya utara. Biasanya memang kalau kontrol, kakak dan suami itu nginap semalam di rumah di Ampel (rumah orang tua kakak iparnya)," kata D kepada jatimnow.com, Sabtu (6/6/2020).

Setelah dari Ampel, kakak dan kakak iparnya pulang ke rumah di Gubeng. Kakak ipar langsung sakit selama tiga hari. Sakitnya flu, kayak meriang tetapi kemudian sembuh.

"Terus menular ke kakak saya nomor dua, mengalami sakit flu, batuk, panas, sudah ke dokter juga dan minum obat," ujarnya.

"Terus kemudian saya ingat sekali karena saya WA ke kakak pertama pagi 19 Mei, saya mau ada perlu dengan beliau terus kemudian beliaunya bilang lagi sakit, badannya panas mau ke rumah sakit. Terus diantar sama suaminya ke rumah sakit," katanya.

Saat di rumah sakit tersebut kakaknya sempat di rapid test dan hasilnya non reaktif. Karena kakaknya sedang hamil 8 bulan sehingga tidak berani konsumsi sembarang obat. Dokter juga tidak berani memberikan obat karena posisinya hamil.

Keadaan kakak pertamanya tidak semakin baik dan mengalami sesak nafas. Di saat bersamaan, kondisi tubuh mamanya juga mulai ngedrop. Mamanya, kata D, tidak punya riwayat sakit dan sebelumnya tidak pernah ke rumah sakit.

Almarhumah Debby Kusumawardhani

"Tanggal 25 kakak saya semakin sesak dan minta diantarkan ke rumah sakit. Saya antar ke rumah sakit terus di UGD dan disuruh pulang rawat jalan. Saya nggak hafal kenapa disuruh pulang, kata suaminya, nggak ada tempat bed dan over load nggak ada tempat untuk isolasi ibu hamil," ujarnya sambil menambahkan sewaktu dirawat belum divonis positif Covid-19.

Pada Hari Raya Idul Fitri tanggal 24 Mei, mamanya D minta diantarkan ke rumah sakit. Ketika masuk di IGD mamanya dirawat, diinfus dan diambil sampel darahnya.

"Karena mama waktu itu belum di rapid test," ujarnya.

Setelah menjalani perawatan di IGD, hari itu juga mamanya diperbolehkan pulang dan hanya rawat jalan.

Pada 26 Mei pagi, salah satu rumah sakit menggelar rapid test di kantor KONI Jawa Timur di Jalan Kertajaya. D melihat hasil rapid-nya di aplikasi kedokteran.

Sedangkan hasil rapid mamanya di aplikasi tersebut masih belum keluar. Kemudian pada sore harinya, mamanya ditelpon oleh dokter rumah sakit di Jakarta.

"Dokter dari Jakarta menyampaikan bahwa hasil rapid test mama itu reaktif dan diduga ada virus. Ngomongnya seperti itu dokternya," katanya.

Saat mamanya ditelpon oleh dokter di Jakarta, mama sempat bertanya.

"Dok ini apa nggak terlalu lama jadwal swab-nya tanggal 2. Terus dokternya bilang, nggak apa-apa ibu diikuti saja, disesuaikan jadwalnya," katanya.

"Sebetulnya pada saat di rumah sakit waktu itu, mama dijadwalkan swab oleh dokter. Tapi jadwal swab-nya itu tanggal 2 Juni," tambahnya.

Melihat kondisi mamanya yang selalu mengeluh sakit, hasil rapid test reaktif dan jadwal swab terlalu lama, D mencari informasi tentang test swab mandiri dan hasilnya cepat keluar. Namun, D tidak menemukan swab mandiri yang sesuai diharapkannya.

"Karena menurut saya itu (jadwal swab 2 Juni) juga terlalu lama," ujar dia.

Pada tanggal 26 Mei sore, kakak pertamanya mengeluh sakit. D mengantarkan kakaknya ke rumah sakit.

"Saya mengantarkan kakak saya karena sudah merasa tidak kuat. Saya antarkan lagi, akhirnya masuk ke IGD," lanjutnya.

Pada 27 Mei dini hari, D mendapatkan kabar kakak pertamanya gagal nafas terus dipasang ventilator oleh pihak rumah sakit, tapi posisi detak jantung janin di kandungan berusia 8 bulan sudah tidak berfungsi

"Pada saat itu dokter belum berani mengeluarkan janin yang ada di kandungannya kakak. Karena kondisi kakak masih kritis pada waktu itu," ujarnya.

Pada tanggal 27 Mei, D yang tinggal di kawasan Medokan, Surabaya ini ditelpon mamanya menyampaikan kondisi papanya sedang sakit dan kondisi tubuhnya sedang ngedrop (menurun).

Pada 29 Mei pagi hari, mamanya menghubungi D untuk segera mengantarnya ke rumah sakit dan memaksa untuk rawat inap.

"Karena mama sudah nggak kuat lagi. Kondisi papa juga sama-sama nggak kuat," katanya.

Ketika hendak diantar, mamanya menghubungi sudah berangkat ke rumah sakit dengan menumpang taksi online, pada pukul 9 pagi.

"Papa kondisinya beliau ini juga nggak kuat, jadi minta nyusul. Sekitar jam 12-an papa diantar kakak ipar nyusul ke rumah sakit," terangnya.

Waktu di rumah sakit, mama dan papanya di rapid test dan paru-parunya di foto rontgen atau foto thorax.

"Hasilnya memang beliau berdua sama-sama positif hasil rapidnya, dan hasil foto thoraxnya di paru-parunya sudah ada bintik-bintik putih (ciri-ciri Covid-19). Kemudian langsung dijadikan satu kamar di ruang isolasi, bapak sama ibu," terangnya.

Keesokan harinya pada 30 Mei pagi, D mendapatkan kabar papanya meninggal dunia sekitar pukul 07.30 Wib.

"Saya dengar kakak kedua teriak sambil menangis, ternyata ditelepon sama mama bahwa papa meninggal dunia pukul 7.30 Wib," ujarnya.

Papanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Keputih, Surabaya pada sore harinya. Prosesi pemakamannya sesuai standar protokol kesehatan Covid-19.

D tidak sempat melihat jenazah papanya untuk yang terakhir kalinya. Karena setelah menjalani prosesi pengurusan jenazah secara Islam, petugas dari rumah sakit yang mengenakan alat pelindung diri (APD) langsung membawa jenazah ke TPU Keputih.

"Saya nggak sempat lihat papa untuk yang terakhir kali. Dari rumah sakit langsung dibawa mobil ambulans dari dinas sosial ke Keputih," tuturnya.

Setelah prosesi pemakaman papanya, kakak iparnya pergi ke rumah sakit tempat istrinya (kakak D) dirawat.

"Dari sana mengabarkan janin bayi sudah bisa dikeluarkan pada sekitar Magrib dan juga harus dimakamkan. Pemakamannya juga sesuai standar Covid-19," ujarnya.

Pada 30 Mei pukul 22.00 wib malam, D menghubungi kakak pertamanya. Kakaknya mengabarkan, paru-parunya sudah membaik.

Tapi kabar duka muncul lagi. D dihubungi kakak iparnya pada 31 Mei dini hari bahwa kakak pertamanya itu meninggal dunia pada pukul 01.50 Wib.

"Saya ditelpon bolak-balik oleh kakak ipar saya, ternyata mengabarkan kalau kakak saya sudah meninggal dunia pukul 01.50 Wib," tuturnya.

Ia menceritakan, kakak pertamanya terkonfirmasi positif Covid-19 itu satu hari setelah masuk rumah sakit.

"Ada telepon dari Puskemas Mojo bilang bahwa hasil swab kakak saya di rumah sakit itu positif Covid-19. Terus Puskesmas Mojo minta data KK satu rumah untuk dijadwal swab juga," ujarnya.

Sudah tiga keluarganya meninggal dunia di tengah pandemi Covid-19. D juga juga terus berkomunikasi dengan mamanya yang masih dirawat di rumah sakit.

Katanya, mamanya minta di swab untuk segera mungkin. Namun, keterangan dari rumah sakit jadwal swab rencananya pada 2 Juni 2020.

"Mama masih bisa komunikasi lewat telpon. Kalau telepon itu masih mampu, tapi telponnya cuman nangis sama sesak saja. Jadi beliau mengeluh sesak dan nggak kuat begitu," tuturnya.

Pada 2 Juni, D pergi ke rumah sakit untuk mengirimi ibunya air zam-zam. Ketika tiba di rumah sakit pada pukul 16.00 Wib, D mendapatkan kabar dari pihak rumah sakit bahwa ibunya meninggal dunia pada pukul 14.30 Wib.

"Saya mau ke rumah sakit mau ngasih air zam-zam ke mama. Sampai di rumah sakit pukul 16.00 Wib, saya dipanggil sama dokter dikabari mama saya dinyatakan meninggal dunia pukul 14.30 tadi," kata D.

Mamanya juga dimakamkan di TPU Keputih. Di Keputih ada makam papanya, keponakannya, kakak pertama.

Semua urusan mama, papa adalah D. Sedangkan kakak keduanya tidak bisa berpergian karena harus menjalani isolasi mandiri di rumahnya di kawasan Gubeng.

"Rapid test kakak kedua saya juga reaktif, harus menjalani isolasi mandiri di rumah di Gubeng," tukasnya.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan jatimnow.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab jatimnow.com.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement