Sabtu 06 Jun 2020 16:37 WIB

Polisi Kazakhstan Tangkap Puluhan Pengunjuk Rasa

Polisi menangkap puluhan pengunjuk rasa anti pemerintah yang turun ke jalan

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Kazakhstan
Kazakhstan

REPUBLIKA.CO.ID, ALMATY -- Polisi di kota Almaty, Kazakhstan menangkap puluhan pengunjuk rasa anti pemerintah yang turun ke jalan. Walaupun undang-undang unjuk rasa baru yang lebih liberal diharapkan mulai berjalan.

Negara Asia Tengah itu kerap dikritik organisasi hak asasi manusia karena mewajibkan unjuk rasa disetujui pihak berwenang. Namun bulan lalu Presiden Kassym-Jomart Tokayev menandatangani undang-undang yang mencabut kewajiban tersebut.

Namun pemerintah mengatakan undang-undang yang secara teknis mulai berlaku pada Sabtu (6/6) ini perlu notifikasi lima hari sebelum diterapkan. Mereka mengatakan kelompok oposisi tidak menyerahkan notifikasi rencana unjuk rasa dan melanggar peraturan pembatasan sosial untuk memutus rantai penularan virus korona.

Polisi termasuk unit anti huru-hara menjaga alun-alun kota Almaty serta jalan di dekatnya. Tempat sekitar 100 aktivis berkumpul. Polis memecah pengunjuk rasa menjadi kelompok-kelompok kecil.

Setidaknya salah seorang aktivis membawa spanduk bertuliskan 'I can't breathe' yang diambil dari kasus kematian warga kulit hitam George Floyd yang dibunuh polisi kulit putih di Minneapolis, Amerika Serikat (AS). Kasus tersebut memicu unjuk rasa besar-besaran di seluruh penjuru AS. 

Beberapa pengunjuk rasa bersorak 'Orang tua, pergi sana!', menunjuk mantan Presiden Nursultan Nazarbayev. Penguasa yang masih berpengaruh di bekas negara Uni Soviet itu.

Sejumlah orang menuntut Kassym-Jomart Tokayev untuk segera mengundurkan diri. Ia juga sekutu Nazarbayev yang berkuasa sejak diktaktor itu mengundurkan diri tahun lalu.

"Mengapa masyarakat di negara kaya minyak dan gas justru miskin?' tulis pengunjuk rasa di salah satu spanduk.

Setelah sempat bentrok sebentar, polisi menahan puluhan pengunjuk rasa. Lalu mengangkut mereka ke mobil-mobil minivan.

Negara kaya minyak berpopulasi 19 juta jiwa itu terhantam jatuhnya harga minyak mentah serta dampak ekonomi pandemi virus korona. Berdasarkan data resmi lebih dari empat juta orang kehilangan pemasukan selama karantina nasional yang diberlakukan dua bulan dan baru berakhir Mei lalu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement