Sabtu 06 Jun 2020 09:55 WIB
Soekarno

6 Juni: Kebesaran Soekarno Melalui Jejak Gelar dan Lagu

I Juni hari ulang tahun Soekarno.

Soekarno muncul dari jendela kereta pai menyambut teriakan masa rakyat pada masa revolusi
Foto: istimewa
Soekarno muncul dari jendela kereta pai menyambut teriakan masa rakyat pada masa revolusi

REPUBLIKA.CO.ID, --Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Hari ini, 6 Juni Presiden Pertama RI lahir di Blitar dari keluarga 'priyay kecil'  di Blitar Jawa Timur. Nama kecilnya adlaah Koesno,yang kemudian oleh bapaknya karena sering sakit diganti namanya menjadi Soekarno.

Dari nama itu tersirat keinginan untuk menjadi seorang satriya seperti sosok Karno seperti dalam kisah legendaris Mahabarata. Karno juga diartikan sebagai telinga. Maka dengan menambah kata Soe(Su,ejan masa kini) yang berati indah atau tampan, Soekarno semenjak awal hidupnya disudah didoakan dengan namanya agar menjadi sosok ksatria yang tampan serta dapat menjadi pendengar suara rakyat yang baik.

Di masa dewasa dan tua, di kala menjadi proklamtor dan kemudian menjadi Presiden pertama RI nama Soekanroo bertambah dengan berbagai mana gelar. Tambahanyang pertama adalah gelar insinyur karena dia menyelesaikan pendidikannya di ITB.  Setelah itu rakyat mengenalnya dengan berbagai tambahan gelar lain, seperti gelar prestisus dalam bidang akamedik seperti Doktor Honoris Causa (doktor kehormatan/DR HC) hingga tambahan gelar 'H' (haji) karena dia menunaikan ibadah rukun Islam kelima ke Makkah. Setelah pulang dari haji nama Soekarno kemudian ditambahi dengan Achmad. Dan nama Achmad Soekarno begitu lekat, terutama di kalangan bangsa Afrika, seperti di Mesir dan Maroko. Ini dibuktikan dengan nama Ahcmad Soekarno di jalanan utama negeri itu.

Dan memang terbukti kemudian Ormas Islam juga tak mau kalah dengan memberi gelar yang tak kalah menterang kepada Soekarno. Para kiai di Nahdatul Ulama saat itu memberi gelar 'Waliya Amri Ad-Daruri bi-as Syaukah' yang berarti pemimpin pemerintah di masa darurat mengiat syah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Gelar ini diberikan dalam Muktamar NU pada tahun 1954 di Surabaya. Kala kemudian saah satu putrinya yang juga sempat menjadi Presiden, Megawati Soekarnoputri, pernah mengenangkan bahwa gelar kepala ayahandanya dari kalangan Kiai NU itu sangat membekas benaknya dan tak bisa dilupakan.

''Ini tidak bisa saya lupakan seumur hidup dan gelar itu belum pernah dicabut oleh Nahdlatul Ulama,'' kata Megawati pada peringatan 'khaul' Bung Karno di Blitar pada tahun 2018.

Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah berarti pemimpin pemerintahan di masa darurat.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Gelar yang Pernah Diberikan Warga Nahdliyin kepada Soekarno", https://nasional.kompas.com/read/2018/06/21/06441081/ini-gelar-yang-pernah-diberikan-warga-nahdliyin-kepada-soekarno.

Penulis : Kristian Erdianto

Editor : Diamanty Meiliana

Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah berarti pemimpin pemerintahan di masa darurat.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Gelar yang Pernah Diberikan Warga Nahdliyin kepada Soekarno", https://nasional.kompas.com/read/2018/06/21/06441081/ini-gelar-yang-pernah-diberikan-warga-nahdliyin-kepada-soekarno.

Penulis : Kristian Erdianto

Editor : Diamanty Meiliana

Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah berarti pemimpin pemerintahan di masa darurat. Gelar itu membuat kebijakan-kebijakan Bung Karno, sebagai pemimpin pemerintahan di masa darurat, mengikat secara sah bagi umat Islam dan bangsa Indonesia. Gelar tersebut disahkan dalam Muktamar NU Tahun 1954 di Surabaya. "Oleh sebab itu saya berbangga atas ketegasan sikap NU bahwa Pancasila dan NKRI adalah final," kata Megawati.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ini Gelar yang Pernah Diberikan Warga Nahdliyin kepada Soekarno", https://nasional.kompas.com/read/2018/06/21/06441081/ini-gelar-yang-pernah-diberikan-warga-nahdliyin-kepada-soekarno.

Penulis : Kristian Erdianto

Editor : Diamanty Meiliana

Dan memang pada masa puncak kejayaaannya, yakni pada periode 1965 hingga 1965, sebutan kepada Soekarno kemudian bertambah cukup banyak dan unik. Pada masa itu ada gelar yang sifatnya terindikasi sangat berbau politis praktis, misalnya Presiden Seumur Hidup. Dalam soal ini politisi senior Ridwan Saidi mengenangkan bila gelar itu dipakai dari kalangan politisi dari kalangan karena ada kiri dan menjaga Soekarno agar tetap berada dalam tampuk kekuasaan.''Ini manuver politik praktis kekuasaan sebab setelah tahun 1955 hingga 1965 memang tidak diselenggarakn pemilu. Dan bila  saat ada pemilu mereka sadar partai kiri atau PKI itu yang akan menang,'' katanya.

                                  *****

Selian soal gelar yang terkesan sebagai manuver kekuasaan, juga ada gelar atau sebutan lain yang mentereng dari Soekarno. Kala itu dikenal sebutan, Soekarno peyambung lidah rakyat, hingga sebutan yang sangat tinggi layaknya raja-raja atau kais, yakni Paduka Yang Mulia (PJM, ejan bahasa Indonesia lama).

Jejak ini terlacak pada lagu yang hits di tahun 1960-an yang dinyanyikan biduanita asal tanah Tatar Sunda, Lilis Suryani. Lagu yang dinyanyilannya adalah berjudul Kepada PJM (Paduka Jang Mulia) Presiden Soekarno. Lagu itu begini:

Sama dengan lagu Lilis Suryani yang tampaknya ditulis ketika Soekarnp berulang tahun pada tahun 1964, ada juga lagu lain yang serupa. Lagu ini juga berisi sanjungan dan ucapan selamat ulang tahun keada Soekarno yang kala itu menjadi Presiden dan berada pada masa puncak kekuasaanya. Lagu ini dinyanyikan Rossy dengan 'Kwintet' Mus Mustafa. Lagu ini terlacak ditulis pada tahun awal 1966.

                                         *****

Sebagaimana  layaknya bila seseorangh sudah beranjak dari tampuk kekuasaan, pujian ini pergi setelah Soekarno tidak lagi menjabat sebagai presiden. Namun, uniknya pada tahun 1977 ada sosok yang terkait dengan Soekarno yang kemudian dinyanyikan dalam sebuah lagu pujian. Pujian ini karena kecantikannya. Lagu itu berisi kekaguman Fredy Tamela kepada paras rupawannya Ratna Sari Dewi yang layaknya bidadari turun dari kayangan, yakni dari Jepang.

Lagu 'Ratna Sari Dewi' ini sempat hits dansering diputar di radio saat itu. Fredy yang kesehariannya adalah personial band 'Cokpit' yang terbiasa main meniru 'Art Rocknya' grup Genesis asal Inggris menyanyikan lagu ini dengan merdu. Lagu ini juga diaransemen gitairs legendari musik rock Indonesia 'God Bless', Ian Antono. Lagunya begini:

Lalu pada masa kini kenangan akan sosok Soekarno juga melekat pada mendiang musikus legendaris Jawa yang baru saja wafat, Didi Kempot. Dalam lagu 'Sungkem' di menceritaan resah kesusahan hidupnya sebagai rakyat kecil kepada Soekarno. Didi mengatakan akan pergi mengadu dengan menziarahi makam Soekarno di Blitar. Uniknya lagiu 'Sungkem' ini dia akan persembahan kepada Megawati Soekarno Putri. Berikut ini lagu tersebut:

Akhirnya berbeda dengan lagu Didik Kempot yang melankoli dan membikin patah hati di masa dahulu, di pertengahan dekade 1960-an ada lagu karya Bung Karno yang juga menjadi hits karena dinyanyikan penyanyi top ibu kota seperti Bing Slamet, Titiek Puspa, dan Lies Lemana. Lagu itu berjudul 'Bersuka Ria'. Dalam lagu ini juga tersirat pesan Bung Karno agar rakyat tetap anti kepada kekuatan imperialisme baru yang disebut dengan akronim Nekolim (Neo Kolonialis dan imperialisme). Lagu dengan musik pengiring Jak Lesmana seperti ini:

Akhirnya seperti kata penyair Chairil Anwar maka mari 'kita kasih tangan' ucapan selamat ulang tahun hari kepada Bung Karno atas hari kelahirannya. Mari kita bergembira, bersuka ria. Lenyapkan duka lara, bergembira semua la la la la

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement