Sabtu 06 Jun 2020 05:14 WIB

Peneliti Virus: Jangan Tergesa Terapkan Normal Baru

Skenario normal baru harus dijalankan ketika kurva Covid-19 melandai.

Pekerja hotel menggunakan alat pelindung diri saat menyiapkan kamar di Hotel Inaya Putri Bali, Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (5/6/2020). Menjelang penerapan tatanan hidup normal baru (new normal), hotel tersebut menerapkan protokol kesehatan seperti dengan penggunaan alat pelindung diri, melakukan penyemprotan cairan disinfektan secara rutin, memeriksa suhu tubuh tamu hotel, memberi jarak antar kursi di restoran serta menyiapkan menu makanan secara digital sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19.
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Pekerja hotel menggunakan alat pelindung diri saat menyiapkan kamar di Hotel Inaya Putri Bali, Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (5/6/2020). Menjelang penerapan tatanan hidup normal baru (new normal), hotel tersebut menerapkan protokol kesehatan seperti dengan penggunaan alat pelindung diri, melakukan penyemprotan cairan disinfektan secara rutin, memeriksa suhu tubuh tamu hotel, memberi jarak antar kursi di restoran serta menyiapkan menu makanan secara digital sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dosen sekaligus peneliti virus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) dr Mohamad Saifudin Hakim berharap, skenario tatanan normal baru tidak tergesa diterapkan pada Juli 2020. Ia mengingatkan, normal baru seharusnya dijalankan ketika kurva Covid-19 melandai.

"Tren nasional tetap naik dan belum ada tanda penurunan signifikan secara konsisten," kata Hakim melalui keterangan tertulis di Yogyakarta.

Baca Juga

Semestinya, menurut Hakim normal baru diterapkan setelah kurva melandai atau ada penurunan jumlah kasus secara signifikan yang konsisten. Hakim yang juga dosen Departemen Mikrobiologi FKKMK UGM ini berpendapat bahwa selain mengkaji ulang rencana penerapan normal baru, upaya mencegah penyebaran virus masih perlu dioptimalkan dengan didukung dengan peningkatan kapasitas tes, penelusuran kontak, disertai berbagai upaya kontingensi/emergensi karantina untuk mencegah munculnya klaster baru.

"Jadi kalau normal baru dijalankan bulan Juli, maka pemerintah harus siap kalau ada pertambahan kasus baru lagi," kata dia.

photo
New Normal di Sekolah - (Republika)

Sementara itu, terkait strategi kekebalan kelompok (herd immunity) untuk menangani Covid-19 secara alami atau tanpa vaksinasi, menurut Hakim, tidak perlu diterapkan. Herd immunity dengan infeksi secara alami sangatlah berisiko.

Tidak hanya menyebabkan terjadinya sakit atau penyakit, tetapi individu yang terkena infeksi alami juga berpotensi menjadi agen penularan. Kondisi tersebut akan semakin memakan banyak korban jiwa sampai pada tahap penularan dapat berhenti setelah individu yang tersisa dapat bertahan hidup dan memiliki kekebalan.

Sementara itu, dalam kasus Covid-19, menurut Hakim, belum ada kepastian apakah kekebalan yang didapat secara alami terhadap SARS-CoV-2 benar-benar dapat melindungi seseorang dalam jangka waktu yang lama atau membuat mereka tidak akan terinfeksi kembali.

"Sayangnya, untuk kondisi sekarang ini, vaksin masih agak jauh tahap pengembangannya untuk bisa secara efektif mengatasi Covid-19," kata Hakim yang saat ini tengah melakukan persiapan dengan tim peneliti Pusat Kajian Kesehatan Anak untuk melakukan Uji Klinis Vaksin Rotavirus Fase III.

photo
New Normal di Tempat Makan - (Republika)

Oleh karena itu, Hakim mengatakan bahwa konsep herd immunity tidak boleh menjadi tujuan dalam menanggulangi wabah Covid-19, yang infeksinya masih menyebar dengan liar. Menurut dia, masyarakat tidak boleh dibiarkan bebas begitu saja seperti kondisi sebelum ada wabah.

"Pemerintah harus tetap menerapkan aturan secara ketat, seperti menganjurkan tetap memakai masker saat berkegiatan di luar rumah, jaga jarak, menjaga kebersihan dengan mencuci tangan, menghindari kerumunan massa, membatasi aktivitas sosial, melakukan isolasi, dan karantina bagi yang terpapar virus, serta langkah pencegahan lainnya," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement