Sabtu 06 Jun 2020 04:30 WIB

Legislator Pertanyakan Maksud Keputusan Buru-Buru Soal Haji

Keputusan Menteri Agama terkesan tidak dikomunikasikan dengan baik.

Rep: Ali Mansur/ Red: Agus Yulianto
Iskan Qolba Lubis
Foto: dok. Humas Fraksi PKS
Iskan Qolba Lubis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Iskan Qolba Lubis menyayangkan keputusan pembatalan penyelenggaraan ibadah Haji 2020 tanpa berkonsultasi dengan Komisi VIII DPR RI sebagai mitranya terlebih dulu. Ia juga mempetanyakan kenapa Kemenag terburu-buru membatalkan penyelenggaraan ibadah haji? 

"Dia (Kemenag) mau memutuskan cepat-cepat untuk apa? apa yang mau dia kejar? Kan logikanya jika Arab Saudi memutuskan dengan persyaratan ABCD baru kita pertimbangkan kita mampu atau tidak, semua negara begitu," tegas politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (5/6).

Iskan menilai, keputusan sepihak Kemenag dalam membatalkan penyelenggaraan ibadah haji jika dinilai tidak memperhatikan etika hubungan institusional. Kemudian jika nanti Pemerintah Arab Saudi memutuskan untuk tetap menyelenggarakan ibadah haji maka Umat Islam Indonesia hanya jadi penonton. Padahal, daftar tunggu calon jamaah haji Indonesia termasuk yang terlama. 

Kemudian, menurut Iskan, Kemenag mengabaikan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Umroh dan Haji, terutama pada pasal 46, 47, dan 48. Di pasal itu diatur kebijakan-kebijakan Kementerian Agama terhadap penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah harus dengan persetujuan bersama DPR RI. Bahkan dalam keputusan terakhir Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama (Menag) adalah membahas hal ini.

"Menurut saya keputusan menteri agama terkesan tidak dikomunikasikan dengan baik. Rapat dengan Kemenag adalah bahwa jadi atau tidaknya pemberangkatan haji tahun 2020 dan segala macam prosesnya akan diputuskan bersama dalam suatu RDP," terang Iskan.

Sebenarnya, lanjut Iskan, dalam undang undang keputusan berangkat haji ada pada Kepres atau Perpres. Dasar Perpres itu adalah keputusan Komisi VIII DPR RI dengan Kemenag, dari dasar itulah presiden membuat Kepres atau Perpres. Maka jika nanti, memang harus ada pembatalan Kepres itu harus dicabut dan tinggal disiapkan pembatalan Kepres-nya. 

"Kok dia mau batalin Kepres dengan KMA (Keputusan Menteri Agama), memang boleh? Masak Kepala desa mau batalin keputusan Camat atau Bupati. Ya kan logikanya begitu," keluhnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement