Jumat 05 Jun 2020 15:59 WIB

Siapa Keith Ellison, Muslim Kulit Hitam Pimpin Kasus Floyd?

Keith Ellison terkenal sebagai aktivis hak-hak warga Amerika kulit hitam.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
 Jaksa Agung Negara bagian Minnesota, Keith Ellison akan memimpin penuntutan pelaku pembunuhan George Floyd.
Foto: AP/Amr Nabil
Jaksa Agung Negara bagian Minnesota, Keith Ellison akan memimpin penuntutan pelaku pembunuhan George Floyd.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kasus pembunuhan seorang pria Afrika-Amerika bernama George Floyd di tangan polisi kulit putih di Minneapolis telah memantik kemarahan dan unjuk rasa di sejumlah wilayah di Amerika Serikat (AS). Para pengunjuk rasa menilai ada rasisme dalam penanganan polisi terhadap warga kulit hitam di negara itu.

Penuntutan kasus kematian Floyd tersebut akan dipimpin Jaksa Agung Negara bagian Minnesota, Keith Ellison. Ellison, yang merupakan pria kulit hitam, merupakan jaksa penuntut umum terkemuka di Minnesota, negara bagian di mana Floyd meninggal. Sebagai jaksa agung, dia akan memimpin penyelidikan terhadap setiap penuntutan kepada para polisi terkait kematian Floyd.  

Baca Juga

Sebagai seorang pengacara terkenal di negara bagian, dia kini menjadi sorotan setelah AS diguncang aksi protes terhadap kebrutalan polisi yang ditargetkan kepada komunitas kulit hitam.  

Namun demikian, persidangan bisa menjadi tantangan bagi Ellison (56). Sebab, dia merupakan sosok yang dibenci kalangan sayap kanan lantaran terlalu liberal dan dihormati pendukungnya sendiri sebagai seseorang yang dapat memberikan keadilan.  

Sebelum menjadi jaksa penuntut negara bagian, dia adalah seorang mahasiswa yang memperjuangkan hak-hak orang kulit hitam. Ellison masuk Islam saat dia menjadi mahasiswa pada usia 19 tahun. Kala itu, dia aktif terlibat dalam menyoroti kebrutalan polisi terhadap orang kulit hitam. 

Ellison memiliki pengalaman langsung tentang kebrutalan polisi. Hal itulah yang mendorongnya untuk mengambil peran aktif dalam gerakan hak-hak sipil.

Pada 1989, Ellison membentuk kelompok yang disebut Koalisi untuk Akuntabilitas Polisi, yang menerbitkan buletin yang merinci kebrutalan polisi. Dia membuat kampanye yang mencari keadilan bagi pasangan kulit hitam lansia, yang terbunuh dalam serangan polisi.

Dia membantu mengorganisir aksi unjuk rasa dan berbicara di konferensi pers untuk menekan jaksa agung Minnesota saat itu untuk menyelidiki petugas polisi yang melempar granat setrum di sebuah apartemen, sementara orang-orang muda kulit hitam yang terjepit di tanah di luar berteriak bahwa ada orang tua di dalam. 

Tidak ada petugas polisi yang pernah didakwa atas insiden itu. Selama bertahun-tahun, identitasnya telah berubah. Di sekolah menengah, dia menjadi bagian dari sebuah band bernama The Deviants. Di universitas, dia membela pemimpin karismatik nan kontroversial dari Nation of Islam (NOI), Louis Farrakhan.  

Ellison tercatat sebagai Muslim pertama yang terpilih ke kongres pada 2006, dan mengambil sumpahnya pada Alquran. Hal itu lantas menjadi sebuah langkah yang membuat marah beberapa politisi kulit putih. 

Saat ini, Ellison ditunjuk untuk memimpin penuntutan dengan harapan akan mencerminkan semangat keadilan. Ellison dipandang memiliki pengalaman yang dibutuhkan untuk memimpin penuntutan.

photo
Para pengunjuk rasa berbaris di Jembatan Brooklyn setelah rapat umum di Cadman Plaza Park, Kamis, 4 Juni 2020, di New York. Protes berlanjut setelah kematian George Floyd, yang meninggal setelah ditahan oleh petugas kepolisian Minneapolis pada 25 Mei - (AP/John Minchillo)

Dari pengalamannya, dia memang selalu terlibat dalam masalah sosial sejak masa kuliahnya. Pada 1984, ketika sedang mengejar gelar sarjana di Wayne State University, dia menulis sebuah artikel tentang Bernhard Goetz, orang kulit putih yang menembak dan melukai empat pria Afrika-Amerika di kereta bawah tanah New York pada tahun yang sama. Dalam artikel itu dia mempertanyakan simpati yang meluas bagi penembak.

"Ya, aku akan memberitahumu. Karena pria kulit hitam di bawah 25 tahun semuanya adalah pencuri, penjahat dan pengedar narkoba di mata masyarakat umum," tulisnya di buku tersebut, seperti dilansir di TRT World, Jumat (5/6).

Kemudian dalam artikel itu, yang diterbitkan dalam sebuah makalah universitas, dia berkata, "Dan ketika masyarakat umum dan media memaafkan penembakan untuk empat pemuda kulit hitam berdasarkan ketakutan seorang pria paranoid, itu tidak akan lama sebelum petugas polisi, wanita tua, gamer bertahan hidup akhir pekan, dan semua orang menganggapnya sebagai musim terbuka bagi saudara-saudara." 

Di masa itu, dia lantas masuk Islam dan mulai mendatangi masjid. Setelah mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Minnesota, kepercayaan politiknya mulai terbentuk. Dia diketahui telah mengambil kasus nasionalisme kulit hitam selama tahun-tahun ketika memimpin Asosiasi Mahasiswa Hukum Kulit Hitam.

Dalam sebuah wawancara pada saat itu, dia berbicara tentang pasangan kulit hitam yang terbunuh dalam serangan polisi. Dia berkata, "Jika Anda berpikir bahwa hanya dengan membawa orang Afrika-Amerika ke kepolisian akan mengubahnya, Anda menyangkal fakta bahwa ini adalah masalah sistemik dan tidak acak, "koboiisme" individual atas nama polisi. Kepolisian dirancang untuk menekan komunitas warna dan komunitas kelas pekerja Eropa." 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement