Jumat 05 Jun 2020 12:35 WIB

Kunci Sukses Grup Lorena Bertahan di Tengah Pandemi

Sektor transportasi mengalami tekanan berat akibat pandemi Covid-19. Adanya penutupan tempat pariwisata, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), disusul oleh larangan mudik, mutlak memukul sumber pendapatan sejumlah perusahaan angkutan. Dengan kondisi tersebut, rata-rata moda angkutan seperti bus harus masuk depo alias dikandangkan. Hal itu selanjutnya berdampak pada karyawan terutama para...

Rep: Vina Anggita (swa.co.id)/ Red: Vina Anggita (swa.co.id)
.
.

Sektor transportasi mengalami tekanan berat akibat pandemi Covid-19. Adanya penutupan tempat pariwisata, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), disusul oleh larangan mudik, mutlak memukul sumber pendapatan sejumlah perusahaan angkutan. Dengan kondisi tersebut, rata-rata moda angkutan seperti bus harus masuk depo alias dikandangkan. Hal itu selanjutnya berdampak pada karyawan terutama para sopir bus yang mau tak mau mesti dirumahkan.

 

Data Organisasi Angkutan Darat (Organda) mengungkapkan, total pekerja yang dirumahkan di sektor angkutan darat hingga April 2020 mencapai 1,5 juta orang. Ini terjadi karena jumlah penumpang yang menggunakan angkutan umum darat turun drastis mencapai 90% di tengah pandemi virus Corona.

Guna menekan kerugian terlalu dalam, para pengusaha angkutan darat akhirnya melakukan berbagai macam strategi. Seperti yang dilakukan oleh Grup Lorena, perusahaan transportasi darat yang berdiri sejak 1975 ini melakukan berbagai transformasi bisnis. Salah satunya mengalihfungsikan armada angkutan umum untuk melayani institusi yang bertugas menanggulangi Covid-19.

"Kita tidak tahu pandemi ini akan terjadi sampai kapan, tapi bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa survive. Siapa tahu dengan adanya pandemi ini kita menemukan strategi baru yang membuat kita semakin sustain ke depannya. Kita tidak tahu sebelum kita mencobanya," ujar Eka Sari Lorena Soerbakti, CEO Grup Lorena dalam webinar Adopt-Adapt-Adept 3 Mantras for the Future yang diadakan oleh Asture Solutions, Rabu (03/06/2020).

Diakui Eka, sebenarnya untuk bisnis transportasi penumpang atau barang selalu mengalami low season pada semester pertama. Bisnis akan mulai bergerak naik di bulan April mendekati liburan anak sekolah atau hari besar. Namun berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini bisnis tidak berjalan dengan normal. Pandemi Covid-19 memperpanjang low season sampai waktu yang tidak diketahui.

"Hitungan kita pada April lalu harusnya ramai karena orang-orang sudah mulai membeli barang-barang untuk supermarket atau mal, tapi karena Covid orang harus di rumah. Dan karena keadaan yang tidak pasti orang menahan diri untuk berbelanja, mereka hanya belanja barang-barang yang dibutuhkan," katanya.

Eka juga mengungkapkan, pihaknya harus menunda pemesanan bus baru. Bus yang dipesan dari Jepang tersebut rencananya akan dibuat menjadi sleeper bus yang diklaim memiliki konsep berbeda dari sleeper bus yang pernah ada di Indonesia. Tapi rencana tersebut akhirnya ditunda pada Februari lalu mengingat tren masyarakat yang tidak bepergian selama pandemi.

"Dengan adanya pandemi yang datang tiba-tiba, artinya kita harus membuat suatu analisis dan strategi untuk memecahkan masalah ini. Apa dampaknya pada kita, apa persepsinya customer, kita harus buat apa agar bisa survive, kira-kira kebijakan pemerintah arahnya kemana. Sebab dengan adanya otonomi daerah, terkadang ada kebijakan yang berbeda antara pusat dan kabupaten. Semua itu harus kita analisis dan kumpulkan informasinya untuk meng-adopt apa yang harus kita lakukan," jelas Eka.

Dia menambahkan, "Kita juga akhirnya melihat what to stop, karena dengan keadaan ini kita tidak bisa beroperasi secara normal. Lalu what to start, yang tadinya tidak kita pikirkan harus kita mulai. Tentunya dengan keadaan yang tidak seperti biasanya, kita juga harus find a balance, kita ngobrol dengan tim apa yang masih bisa dikerjakan dan dibutuhkan untuk bisa survive dan harapanya bisa sustain. Karena new normal akan menjadi our normal."

Accelerate the transition to agility pun menjadi penting bagi Eka. Bagaimana transisi tersebut bisa dilakukan dengan cepat tetapi tidak terkesan buru-buru. Akhirnya, kata Eka, Lorena banyak melakukan rekonfigurasi strategi, struktur, proses, Sumber Daya Manusia (SDM), dan teknologi.

Untuk angkutan barang misalnya, Lorena memfokuskan diri pada aktivitas ekonomi lokal (localize). Lorena membangun kerja sama dengan berbagai pihak termasuk berkolaborasi dengan Kereta Api Indonesia. Pengiriman jarak jauh dan menengah yang terhambat akibat PSBB pun dilakukan menggunakan kereta. Pengurangan jarak ini dinilai dapat menekan biaya operasional.

"Untuk barang, yang jarak menengah dan jauh memang terjadi penurunan. Akhirnya kita putuskan bahwa setiap daerah harus fokus terhadap aktivitas ekonomi lokal yang bersifat lokal atau antar kota dalam provinsi. Jadi distribusinya lebih pendek. Peluang untuk bermain dalam skala yang lebih kecil ini lebih banyak karena setiap daerah memiliki proyek khusus untuk dapat bertahan," jelasnya.

Selain berfokus pada aktivitas ekonomi lokal, Lorena juga mengurangi konsumen ritel dan lebih memfokuskan diri pada konsumen B2B. Meskipun harganya lebih terjangkau dibandingkan ritel, konsumen B2B dinilai lebih pasti karena terikat dengan kontrak.

Kerja sama dengan mitra lokal di kabupaten dan kecamatan, ataupun perusahaan lain ini, kata Eka, dapat mempromosikan dan menjangkau pasar dengan lebih cepat. "Sudah tidak tren lagi semuanya dilakukan sendiri, harus ada sharing economy yakni bekerja sama dengan pihak lain," ujar dia.

"Kami juga melihat tren yang sedang berkembang, apakah kita perlu buat chiller atau kerja sama dengan perusahaan penyedia chiller mengingat saat ini banyak orang yang membeli frozen food. Itu sudah kami lakukan, tapi tetap harus terus dipelajari, dilihat, direvisi, dipikiran lagi apakah ini akan sustain ke depannya. Termasuk melihat apakah seluruh trayek akan diisi lagi ke depannya, atau apakah nanti ada pola operasi yang berubah. Kita lihat situasi di lapangan," lanjutnya.

Eka menyebut, semua strategi tersebut tidak dapat dilakukan apabila tidak ada kesamaan mindset di antara karyawan. Pemantauan secara rutin menjadi sangat penting, bahkan saat ini frekuensinya bisa setiap jam. Begitupun dengan pengambilan keputusan yang saat ini dapat dilakukan setiap hari. Eka menyadari tidak ada organisasi yang bisa bertahan hanya berdasarkan saving, tetapi harus terjadi reorganisasi. Tim harus mampu melakukan Adopt, Adapt, dan Adept untuk bertahan di tengah situasi yang tidak pasti ini.

"Untuk melakukan itu, pertama harus punya willingness, mau beradaptasi dan menerima dengan keadaan yang baru. Ini akan memacu kita ntuk melakukan hal yang berbeda dari sebelumnya. Itu saya katakan pada tim, suka atau tidak suka kita harus punya niat. Kedua harus sepakat, tim harus sepakat dan saling mengisi. Kedua hal ini merupakan modal kuat untuk bisa bertahan tanpa melunturkan value yang kita punya atau objektif yang ingin kita capai," tuturnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan swa.co.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab swa.co.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement