Kamis 04 Jun 2020 18:59 WIB

Menengok New Normal di Istana Presiden

Adaptasi new normal juga diterapkan dalam kegiatan-kegiatan resmi Presiden di Istana.

Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Mensesneg Pratikno meninjau kesiapan penerapan prosedur new normal di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (4/6/2020).
Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Mensesneg Pratikno meninjau kesiapan penerapan prosedur new normal di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (4/6/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Wahyu Suryana

Periode new normal atau tatanan kebiasaan baru akan segera berlaku. Tak terkecuali di Istana Presiden Republik Indonesia.

Baca Juga

Kebiasaan baru memang sudah mulai dijalankan di lingkungan Istana Kepresidenan sejak awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Saat itu, pemeriksaan suhu tubuh dan penyemprotan disinfektan dilakukan terhadap seluruh tamu yang masuk istana.

Tak hanya itu, kegiatan rapat-rapat kabinet pun tak lagi dilakukan dengan tatap muka. Dimulai pertengahan Maret 2020 lalu, seluruh rapat terbatas dan sidang kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi mulai dijalankan secara virtual. Biasanya, presiden memimpin rapat dari ruang kerjanya di Istana Merdeka, sementara para menteri mengikuti dari kantor masing-masing.

Memasuki kenormalan baru yang sudah di depan mata ini, protokol kesehatan pun akan diterapkan dalam jangka panjang di lingkungan Istana. Termasuk dalam acara-acara kenegaraan yang sebelumnya selalu dihadiri banyak tamu penting.

"Arahan Bapak Presiden bahwa kita sudah harus melakukan kegiatan dengan melakukan new normal. Bagaimana kesiapannya? Untuk semua Istana, mulai dari Bogor, Jakarta, Tampaksiring di Bali, Yogyakarta, itu semua diperlakukan," ujar Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (4/6).

Adaptasi kebiasaan baru juga diterapkan dalam kegiatan-kegiatan resmi Presiden di Istana. Untuk acara pelantikan misalnya, pejabat yang hadir dibatasi antara lima hingga tujuh orang. "Kemarin beberapa pelantikan misalnya KSAL dan KSAU, tidak lebih dari 5 undangan. Itu kegiatan resmi kenegaraan," kata Heru.

Tak hanya itu, prosedur pengujian tes cepat Covid-19 bagi para tamu yang berkunjung ke Istana juga diberlakukan dan menjadi standar baru. Menurut Kasetpres, syarat bagi tamu untuk menjalani tes cepat ini sudah berlangsung selama 2-3 minggu tanpa ada keluhan.

"Secara tidak langsung bahwa itu kita sudah melakukan new normal kan awalnya tidak ada rapid (test). Begitu juga pakai masker. Awalnya kan kita suruh pakai masker ada yang pakai, ada yang tidak. Sekarang semua pakai masker. Pengemudi, baik itu pengemudi menteri atau tamu Presiden, semua sudah pakai masker dan masing-masing menunggu di kendaraan masing-masing," jelasnya.

Selain pembatasan jumlah undangan atau tamu yang hadir, pembatasan jarak antarorang pun diatur dalam acara yang dihadiri Presiden di Istana. Di samping itu, upacara peringatan yang biasanya dilakukan secara langsung di lapangan pun kini bisa dilakukan secara virtual, misal upacara peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2020.

Hari ini, Presiden Jokowi juga sudah memantau sendiri persiapan penerapan prosedur standar kenormalan baru untuk sarana tempat ibadah di Masjid Baiturrahim Istana Kepresidenan Jakarta. Nantinya, masjid hanya akan menampung 20 persen dari kapasitas maksimal. "Yang tadinya 750 jadi 150 (jamaah)," kata Heru.

Tak hanya itu, sejumlah prosedur juga nantinya akan diberlakukan sebagai standar baru. Misalnya, penempatan sabun atau hand sanitizer di beberapa titik untuk digunakan oleh jamaah sebelum berwudhu dan memasuki masjid.

Sementara itu, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa perubahan juga terjadi dalam hal peliputan acara-acara Presiden di Istana. Misalnya, jika biasanya wartawan yang hadir dalam acara Presiden banyak, maka kini dikurangi dengan bantuan adanya streaming dan konsep TV pool serta foto pool.

"Artinya ya memang dibatasi. Juga kendaraan juga akan berkurang yang tadinya 10 (penumpang) mungkin jadi lima (penumpang). Karena itu adalah keharusan yang harus dijalankan, itu bagian dari protokol kesehatan," jelas Bey.

Peneliti virus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, dr. Mohamad Saifudin Hakim, menegaskan pentingnya pemerintah tetap menerapkan aturan secara ketat di era new normal. Aturan memakai masker saat kegiatan di luar rumah, jaga jarak, menjaga kebersihan dengan cuci tangan, hindari kerumuman massa, dan membatasi aktivitas sosial adalah kunci kehidupan di saat vaksin Covid-19 belum ditemukan. "Melakukan isolasi dan karantina bagi yang terpapar virus dan lainnya," ujar Hakim.

Ia melihat, wacana pelonggaran PSBB dan penerapan new normal di Indonesia masih dipahami sebagian masyarakat sebagai strategi herd immunity secara bebas dan tidak terkontrol. Ia menjelaskan, strategi tersebut salah kaprah.

New normal yang dimaksudkan bukan berarti pemerintah membiarkan masyarakat beraktivitas layaknya tidak ada wabah. Konsep yang benar masyarakat mulai kembali menjalankan aktivitas secara biasa, tapi tetap menerapkan protokol kesehatan.

"Di era new normal, pemerintah memang tidak menerapkan herd immunity tanpa kontrol, tapi dengan pembatasan sosial yang sedikit dibuka disertai dengan kampanye perubahan perilaku. Kendati begitu, langkah ini tetap berimplikasi terbentuknya herd immunity, meskipun dalam jangka yang panjang," kata Hakim.

Namun, langkah ini masih berisiko gagal karena belum bisa dipastikan herd immunity memang betul bisa tercapai atau tidak. Hingga kini belum ada data dan bukti yang valid kekebalan terhadap SARS-CoV-2 terbentuk setelah infeksi alami.

Beberapa studi melaporkan kekebalan atas virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 hanya baru muncul 10 persen dari seluruh individu yang terinfeksi. Sehingga, seharusnya protokol yang lebih ditekankan langkah-langkah mencegah persebaran.

Untuk itu, ia berharap, pemerintah tidak terburu-buru mengimplementasikan new normal pada Juli mendatang. Pemerintah diharapkan bisa mengkaji ulang rencana itu, melihat tren nasional jumlah kasus positif Covid-19.

Sebab, upaya-upaya mencegah penyebaran virus masih perlu dioptimalkan dan didukung peningkatan kapasitas melakukan tes dan contact tracing. Disertai upaya-upaya kontingensi karantina untuk mencegah munculnya klaster baru.

Ia mengingatkan, tren nasional tetap naik dan belum ada tanda penurunan signifikan secara konsisten. Seharusnya, new normal diterapkan setelah kurva melandai atau penurunan jumlah kasus secara signifikan yang konsisten.

"Jadi, kalau new normal dijalankan Juli, maka pemerintah harus siap kalau ada pertambahan kasus baru lagi," ujar Hakim.

photo
Presiden Joko Widodo dan New Normal (Ilustrasi) - (republika/mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement