Jumat 05 Jun 2020 03:51 WIB

Ilmu yang Diperlukan untuk Tafsir Alquran

Penafsiran Alquran membutuhkan sejumlah ilmu yang diperlukan.

Ilmu yang Diperlukan untuk Tafsir Alquran. Foto: (Ilustrasi) Surah al-Kahfi di dalam Alquran
Foto: Ist
Ilmu yang Diperlukan untuk Tafsir Alquran. Foto: (Ilustrasi) Surah al-Kahfi di dalam Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk menafsirkan Alquran, ada beberapa ilmu yang harus dikuasai. Dalam kitab Fadhilah Amal yang ditulis oleh Maulana Zakariyya Al Khandahlawi disebutkan, Ibnu Mas'ud RA berkata, “jika kita ingin memperoleh ilmu, maka pikirkan dan renungkanlah makna-makna Alquran, karena di dalamnya terkandung ilmu orang-orang dahulu dan sekarang."

Namun, menurut Maulana Zakariyya, untuk memahaminya, kita mesti menunaikan syarat dan adab-adabnya terlebih dahulu. Berdasarkan keterangan para ulama, Maulana Zakariyya menyebut untuk menafsirkan Alquran diperlukan keahlian dalam lima belas bidang ilmu.

Baca Juga

”Saya akan meringkas kelima belas ilmu itu semata-mata agar diketahui bahwa tidak mudah bagi setiap orang memahami makna batin Alquran ini," kata Maulana Zakariyya.

Kelimabelas ilmu itu adalah:

 

Pertama, Ilmu Lughat, yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata Alquran. Mujahid rah.a berkata, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tidak layak baginya berkomentar tentang tentang ayat-ayat al Qur’an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang lughat tidaklah cukup karena kadang kala satu kata mengandung berbagai arti. Jika hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Bisa jadi kata itu mempunyai arti dan maksud yang berbeda."

Kedua, Ilmu Nahwu (tata bahasa). Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja I’rab hanya didapat dalam ilmu nahwu.

Ketiga, Ilmu Sharaf (perubahan bentuk kata). Mengetahui ilmu sharaf sangat penting, karena perubahan sedikit bentuk suatu kata akan mengubah maknanya.

Ibnu Faris berkata, “jika seseorang tidak mempunyai ilmu sharaf, berarti ia telah kehilangan banyak hal.” Dalam Ujubatut Tafsir, Syaikh Zamakhsyari rah.a. menulis bahwa ada seseorang yang menerjemahkan ayat al Qur’an yang berbunyi:

{ يَوْمَ نَدْعُوْا كُلَّ أُنَاسٍ بِامَامِهِم}

“(ingatlah) pada suatu hari (yang pada hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya.” (Qs. Al Isra [17] : 71)

Karena ketidaktahuannya tentang ilmu Sharaf, ia menerjemahkan ayat itu seperti ini: “pada hari ketika manusia dipanggil dengan ibu-ibu mereka.” Ia mengira bahwa kata ‘imaam’ (pemimpin) yang merupakan bentuk mufrad (tunggal) adalah bentuk memahami ilmu sharaf, tidak mungkin akan mengartikan ‘imaam’ sebagai ibu-ibu.

Keempat, Ilmu Isytiqaq (akar kata). Mengetahui ilmu isytiqaq sangatlah penting. Dengan ilmu ini dapat diketahui asal-usul kata. Ada beberapa kata yang berasal dari dua kata yang berbeda, sehingga berbeda makna. Seperti kata ‘masih’ berasal dari kata ‘masah’ yang artinya menyentuh atau menggerakan tangan yang basah ke atas suatu benda, atau juga berasal dari kata ‘masahat’ yang berarti ukuran.

Kelima, Ilmu Ma’ani. Ilmu ini sangat penting diketahui, karena dengan ilmu ini susunan kalimat dapat diketahui dengan melihat maknanya.

Keenam, Ilmu Bayaan. Yaitu ilmu yang mempelajari makna kata yang zhahir dan yang tersembunyi, juga mempelajari kiasan serta permisalan kata.

Ketujuh, Ilmu Badi’, yakni ilmu yang mempelajari keindahan bahasa. Ketiga bidang ilmu diatas juga disebutsebagai cabang ilmu balaghah yang sangat penting dimiliki oleh para ahli tafsir. Alquran adalah mukjizat yang agung, maka dengan ilmu-ilmu diatas, kemukjizatan Alquran dapat diketahui.

Kedelapan, Ilmu Qira’at, Ilmu ini sangat penting dipelajari, karena perbedaan bacaan dapat mengubah makna ayat. Ilmu ini membantu menentukan makna paling tepat diantara makna-makna suatu kata.

Kesembilan, Ilmu Aqa’id. Ilmu yang sangat penting dipelajari ini mempelajari dasar-dasar keimanan. Kadangkala ada satu ayat yang arti zhahirnya tidak mungkin diperuntukkan bagi Allah Swt. Untuk memahaminya diperlukan takwil ayat itu.

Kesepuluh, Ushul Fiqih. Mempelajari ilmu ushul fiqih sangat penting, karena dengan ilmu ini kita dapat mengambil dalil dan menggali hukum dari suatu ayat.

Kesebelas, Ilmu Asbabun-Nuzul. Yaitu ilmu untuk mengetahui sebab-sebab turunnya, maka maksud suatu ayat mudah dipahami. Karena kadangkala maksud suatu ayat itu bergantung pada asbabun nuzul-nya.

Keduabelas, Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih tetap berlaku.

Ketigabelas, Ilmu Fiqih. Ilmu ini sangat penting dipelajari. Dengan menguasai hukum-hukum yang rinci akan mudah mengetahui hukum global.

Keempatbelas, Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui hadits-hadits yang menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.

Kelimabelas, Ilmu Wahbi. Ilmu khusus yang diberikan kepada Allah kepada hamba-Nya yang istimewa, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

مَنْ عَمِلَ بِما عَلِمَ وَرَثَهُ الله عِلْمَ مَالَمْ يَعْلَمْ

“Barangsiapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak ia ketahui”.

Juga sebagaimana disebutkan dalam riwayat, bahwa Ali RA pernah ditanya oleh seseorang, “Apakah Rasulullah telah memberimu suatu ilmu atau nasihat khusus yang tidak diberikan kepada orang lain?” maka ia menjawab, “Demi Allah, demi Yang menciptakan Surga dan Jiwa. Aku tidak memiliki sesuatu yang khusus kecuali pemahaman Alquran yang Allah berikan kepada hamba-Nya.” Ibnu Adi Dunya berkata, “Ilmu Alquran dan pengetahuan yang didapat darinya seperti lautan yang atk bertepi.”

Menurut Maulana Zakariyya, ilmu-ilmu yang telah diterangkan di atas adalah alat bagi para mufassir Alquran. "Seseorang yang tidak memiliki ilmu-ilmu tersebut lalu menafsirkan Alquran, berarti ia telah menafsirkan menurut pendapatnya sendiri, yang larangannya telah disebutkan dalam banyak hadits," kata Maulana Zakariyya.

Para sahabat telah memperoleh ilmu bahasa arab secara turun temurun, dan ilmu lainnya mereka dapatkan melalui cahaya Nubuwwah. Imam Suyuthi rah.a. berkata, “Mungkin kalian berpendapat bahwa ilmu Wahbi itu berada diluar kemampuan manusia. Padahal tidak demikian, karena Allah sendiri telah menunjukan caranya, misalnya dengan mengamalkan ilmu yang dimiliki dan tidak mencintai dunia.”

Sumber: Fadhilah Amal / Maulana Zakariyya Al Khandahlawi

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement