Kamis 04 Jun 2020 05:41 WIB

Saat Trump Malah Dikecam Usai Angkat Alkitab di Depan Gereja

Langkah Trump memicu kontroversi dan kecaman dari berbagai kalangan di AS.

Presiden AS Donald Trump di depan Gereja St John
Foto: Al Jazeera
Presiden AS Donald Trump di depan Gereja St John

REPUBLIKA.CO.ID,  WASHINGTON -- Langkah Presiden AS mengangkat Alkitab di depan Gereja St. John Washington saat berlangsungnya aksi demonstrasi atas kematian George Floyd menuai kontroversi. Tak sedikit yang mencibir langkah Donald Trump tersebut.

Sejumlah pengunjukrasa menganggap taktik presiden itu justru dapat memicu gelombang unjuk rasa baru. "Ini merupakan reaksi yang sangat mendalam," ujar salah seorang aktivis Michael Sampson.

Baca Juga

Sampson yang tinggal di Florida merupakan aktivis salah satu penggerak aksi. Pesan Sampson ke Trump sangat jelas. Presiden memerintahkan polisi antihuru hara dan gas air mata ke arah demonstran yang damai, namun pada saat yang sama Trump berjalan ke Gereja untuk berfoto dan mengangkat injil.  "Ini adaah hal yang menakutkan bagi kami," katanya seperti dilansir ABC.

Trump diyakini memberikan pesan politik kuat saat mengangkat Alkitab tersebut. Menurut CNN Trump memberi pesan tersirat ke Kristen evengelis kulit putih. "Ingat, saya di pihak Anda."

Langkah Trump itu juga diyakini sebagai upayanya untuk tetap dapat mendulang suara dari kalangan evengelis pada pemilu presiden November mendatang. Namun pertanyaannya apakah cukup, mengingat Trump juga menuai banyak kritik terkait dengan penanganan virus Corona di AS.

Riset Pew baru-baru ini mengindikasikan hanya sekitar kalangan evengelis kaum putih yang menyetujui langkah Trump terhadap penanganan Corona.

Whitney T. Kuniholm, wakil presiden di the American Bible Society, termasuk yang menyayangkan langkah Trump. Menurutnya saat ini semua diselimuti kekhawatiran dengan pandemi dan isolasi sosial. Saat ini kekerasan dan ketidakadilan rasial juga masih muncul. Ekonomi juga sedang mengalami ketidakpastian. "Kita harus harus hati-hati tidak mengangkat Alkitab sebagai simbol politik," ujarnya seperti dilansir Christianitytoday.

"Karena, lebih dari itu, kita membutuhkan sebuah kebenaran," katanya menambahkan. 

Sejatinya yang punya hubungan langsung dengan kalangan evengelis adalah wakil presiden AS Mike Pence. Namun Mike Pence pun tak terlihat dalam foto bersama Trump.  Uskup Episkopal di Washington Marian Edgar Budde menilai, langkah Trump hanyalah sebuah sandiwara. Presiden tidak menyelesaikan persoalan mendasar atas kematian George Floyd. Alih-alih ia hanya mengekploitasi simbol keagamaan.

Gelombang aksi protes atas kematian Floyd meluas di berbagai kota di AS dan dunia. Floyd  ditangkap karena menggunakan uang 20 dolar AS palsu di sebuah toko. Dalam sebuah rekaman video, Floyd diborgol dan tidak memberontak dalam penangkapan tersebut. Namun, polisi mengklaim bahwa dia sempat melawan ketika ditangkap.

Seorang perwira polisi, Derek Chauvin menekan lututnya di bagian leher Floyd hingga dia tak bisa bernafas. Sementara, berdasarkan rekaman video, dua polisi lainnya menekan lutut mereka di bagian punggung Floyd. Dia dibawa ke rumah sakit, namun nyawanya tak tertolong. Kematian Floyd adalah kasus terbaru dari kebrutalan polisi terhadap pria kulit hitam yang tertangkap dalam rekaman video.

Hal ini memicu protes atas rasisme dalam penegakan hukum AS. Insiden baru ini juga menghidupkan kembali ketegangan rasial yang membara di sebuah negara yang terpecah secara politis yang telah terpukul oleh pandemi korona dengan orang Afrika-Amerika menyumbang jumlah kasus yang sangat tinggi.

Kematian Floyd memiliki kemiripan dengan kematian Eric Garner, yang meninggal dalam sebuah penangkapan pada 2014 di New York. Ketika itu, Garner berulang kali mengatakan kepada polisi,"Saya tidak bisa bernapas."

Paus Francis mengutuk segala bentuk rasisme dan kekerasan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara lainnya. Pernyataan Francis terkait dengan  kematian George Floyd oleh seorang perwira polisi di Minneapolis, yang menimbulkan gelombang aksi protes di seluruh AS. "Kita tidak bisa menutup mata dari rasisme dan pengucilan, namun kekerasan adalah bentuk merusak diri sendiri dan mengalahkan diri sendiri," ujar Francis.

Paus Francis berharap, pemerintah AS dapat melakukan rekonsiliasi dan perdamaian nasional. Dia menyebut bahwa kematian Floyd sangat tragis. Francis mengirimkan doa untuk Floyd dan orang-orang yang meninggal dunia karena rasisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement