Kamis 04 Jun 2020 00:02 WIB

YLBHI: Pemerintah Jangan Dianggap Remeh Putusan PTUN

PTUN menyatakan pemerintah melanggar hukum karena blokir akses internet di Papua.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Aksi menuntut agar pemerintah segera menghentikan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat tahun lalu (ilustrasi). PTUN menyatakan pemerintah melanggar hukum karena blokir akses internet di Papua.
Foto: Republika/Febryan.A
Aksi menuntut agar pemerintah segera menghentikan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat tahun lalu (ilustrasi). PTUN menyatakan pemerintah melanggar hukum karena blokir akses internet di Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu koordinator tim advokasi gugatan pemblokiran akses internet di Papua ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Muhamad Isnur, menyampaikan, pemerintah telah melanggar konstitusi karena dinyatakan melanggar hukum oleh majelis hakim. Ia pun meminta pemerintah untuk tidak menganggap enteng hasil putusan tersebut.

"Kalau melanggar hukum berarti pemerintahan ini melanggar konstitusi karena Indonesia negara hukum," ujar perwakilan dari YLBHI itu kepada wartawan, Rabu (3/6).

Baca Juga

Ia mengatakan, seorang presiden yang disumpah untuk taat konstitusi harus menjaga agar pelaksanaan pemerintahannya tidak melanggar undang-undang (UU). Selain itu, seorang presiden juga harus memastikan pelaksanaan pemerintahannya tidak melanggar asas pemerintahan yang baik.

"Dia harus menjaga agar pelaksanaa pemerintahan itu good governance tidak melanggar UU dan tidak melanggar asas pemerintahan yang baik," jelas dia.

Menurut Isnur, putusan PTUN terkait pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat itu bisa membuat pemerintah kehilangan legitimasinya dan berujung pada pembangkangan oleh masyarakat. Ia juga berharap putusan tersebut dapat menjadi evaluasi bagi pemerintah.

"Tentunya evaluasi bagi pemerintah dan jangan dianggap sekadar remeh temeh," kata dia.

Majelis hakim PTUN menyatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) melanggar hukum karena melakukan pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 lalu. Perkara tersebut diajukan 21 November 2019 dengan Nomor 30/G/TF/2019/PTUN.JKT.

"Mengadili, dalam eksepsi menyatakan eksepsi tergugat satu dan tergugat dua tidak diterima. Dalam pokok perkara, satu, mengabulkan gugatan para penggugat," ujar Hakim Ketua PTUN Jakarta, Nelvy Christin, saat membacakan putusan, Rabu (03/06).

Pemerintah dinyatakan melakukan perbuatan melanggar hukum atas perbuatan mereka pada Agustus hingga September 2019 lalu. Perbuatan melanggar hukum yang pertama, yakni melakukan pelambatan akses bandwith di beberapa wilayah kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat dan Papua pada 19 Agustus 2019 pukul 13.00 WIT-20.30 WIT.

Perbuatan pemerintah yang diputus melanggar hukum berikutnya, yakni saat melakukan pemblokiran layanan dan/atau data pemutusan akses internet secara menyeluruh di 29 kota/kabupaten Provinsi Papua dan 13 kota di Papua Barat dari 21 Agustus sampai 4 September 2019 hingga pukul 23.00 WIT.

Pelanggaran hukum selanjutnya, yakni tindakan pemerintah yang memperpanjang pemblokiran internet di empat kabupaten di wilayah Papua, yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya dan di dua kabupaten di wilayah Papua Barat. Yakni, Kota Manokwari dan Kota Sorong pada 4 September pukul 23.00 WIT sampai 9 September 2019 pada 20.00 WIT.

"Menyatakan tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh tergugat I dan tergugat II adalah perbuatan melanggar hukum," ujar Nelvy.

Tergugat I dalam perkara ini adalah Presiden Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Sedangkan pihak penggugat pada perkara ini adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili oleh Abdul Manan dkk dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) yang diwakili oleh Damar Juniarto dkk.

Sebelumnya, langkah melakukan pemblokiran internet di wilayah Papua dan Papua Barat dilakukan saat terjadi kerusuhan di sejumlah wilayah di sana. Kala itu kerusuhan dipicu oleh tindakan rasis di Surabaya dan di beberapa daerah lainnya.

Menkominfo saat itu, Rudiantara, mengatakan pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat sudah melalui pembahasan rapat dengan aparat penegak hukum. Rudiantara mengatakan, pemblokiran akses internet tidak diambil secara sepihak oleh Kemenkominfo.

Ia menjelaskan, pemblokiran tidak dilakukan di seluruh Papua maupun Papua Barat, namun di titik-titik keramaian dan rawan kerusuhan. Karena itu, ia membantah pemblokiran sebagai tindakan represif Pemerintah. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement