Rabu 03 Jun 2020 01:29 WIB

Negara Penuh Istilah

Banyak istilah muncul terkait dengan persoalan Covid-19

Agus Yulianto
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agus Yulianto*

Saat ini, dunia masih diguncang oleh pandemi Covid-19. Penyakit yang kali pertama muncul di Wuhan, China ini, terus menebar teror. Penyebarannya pun tergolong cepat, bahkan telah menjadi pandemi. Tak hanya di negeri China, tapi kini, penyakit itu melanda hampir seluruh dunia.

Bahkan, penyakit ini telah ‘memakan’ ratusan ribu jiwa meninggal. Ya, angka kasus infeksi virus corona di dunia masih mengalami peningkatan setiap harinya. Data teranyar yang dilaporkan dari berbagai negara di dunia, Selasa (2/6) menyebutkan, jumlah kasus infeksi virus corona sebanyak 6.358.294 kasus. Dari jumlah itu, angka kematian yang dicatat mencapai 377.031 kasus. Sedangkan jumlah pasien sembuh sebanyak 2.888.571 orang.

Untuk Indonesia sendiri, menurut data BNPB per Selasa (2/6), jumlah asien positif Covid-19  mencapai 27.549 orang, dengan 7.935 orang dinyatakan sembuh dan total kematian mencapai 1.663. Dari angka itu, kasus positif Covid-19 belum menunjukkan tren penurunan.

Ironisnya, hingga kini, belum ada vaksin atau obat yang dapat menangkal penyakit ini, meski sejumlah pakar dan ilmuwan dunia terus bergelut dengan waktu untuk segera mendapatkan vaksin penawar Covid-19.

Belum adanya antivirus ini, jelas membuat rasa cemas dan panik berbagai kalangan, khususnya warga dunia. Selain itu, kebijakan dan langkah kongkrit yang dibuat serta dilakukan pemerintah untuk mencegah penyebaran virus ini pun belum optimal, bahkan terkesan asal jalan.

Itu terlihat, di tengah mewabahnya infeksi covid-19 ini, banyak muncul beragam istilah yang berkaitan dengan penyakit ini, mulai dari pandemi, social distancing, lockdown, isolasi (karantina) PSBB, OTG, PDP, herd imunity, New Normal hingga yang teranyar AKB dan entah apalagi nanti. Semua istilah itu, diharapkan pemerintah bisa menekan laju penyebaran covid.

Di sisi lain, terlepas dari itu semua, pemerintah juga berharap seluruh masyarakat diminta untuk tidak panik. Bahkan, harus tetap waspada dan terus menjaga kesehatan diri.

Hanya saja, fakta yang ada, justru sebaliknya. Beragam istilah yang muncul terkait Covid-19 ini justru membuat masyarakat bingung untuk bersikap. Kebingungan ini pun dibarengi dengan kegamangan para pemegang kebijakan menyangkut upaya penanganan dan solusinya (pemulihan, red) mengatasi persoalan Covid-19.

Entah kapan isitilah-istilah itu mucul. Yang pasti, kemunculannya itu berbarengan dengan upaya pemerintah dalam mengatasi penyebaran virus corona di tengah masyarakat Indonesia yang memiliki sifat sedikit ‘bandel’ dan cuek atas kasus Covid-19 yang masih terjadi hingga saat ini.

Coba tengkok dengan istilah social distancing  atau ‘pembatasan sosial’. Istilah ini menghindari tempat umum, menjauhi keramaian, dan menjaga jarak minimal dua meter dari orang lain. Dengan adanya jarak, penyebaran penyakit ini diharapkan dapat berkurang. Tapi faktanya, masyarakat masih banyak yang abai dengan seruan itu dengan tetap mengunjungi mal atau tempat-tempat keramaian lainnya tanpa menghiraukan protokol kesehatan.

Kemudian juga muncul istilah lockdown atau karantina wilayah. Dengan kebijakan lockdown, pemerintah hendak melakukan pembatasan pergerakan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk menutup akses masuk dan keluar wilayah. Tujuannya pun untuk mengurangi kontaminasi dan penyebaran penyakit Covid.

Begitu juga dengan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia. Aturan ini untuk menekan kasus dan mencegah penularan virus corona atau Covid-19 di masyarakat. Namun dalam penerapannya termasuk ‘setnegah hati.

Mengapa? Ini karena dengan menerapkan lockdown ataupun PSBB, maka pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang cukup besar hingga ratusan trilun rupiah untuk ‘mengganti kompensasi’ atas kolapsnya sektor ekonomi, dampak dari merumahkan (PHK) pegawai/karyawan dan masih banyak lainnya sektor yang terdampak Covid-19.

PSBB ini memang ditandai dengan pembatasan kegiatan di tempat umum, keagamaan, sosial, dan budaya, serta berbagai moda transportasi. PSBB juga meliburkan sekolah dan tempat kerja kecuali bidang yang dinilai vital bagi kehidupan masyarakat.

Belum lagi PSBB ini mampu meminimalisasi penyebaran virus corona di tengah masyarakat, istilah lain sudah muncul lagi, new normal dan juga AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru). Setelah ini, entah apalagi. Yang jelas, masyarakat ingin ada kejujuran dari pemerintah menyangkut kebijakan-kebijakan yang dibuatnya menyangkut penanganan Covid-19 ini.

Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui, pemerintah belum bisa mengendalikan penyebaran covid di seluruh provinsi yang terinfeksi. Sebab, berdasarkan data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, kasus covid terkini telah ditemukan di 34 provinsi dan 416 kabupaten/kota.

Itu disampaikan Jokowi saat peninjauan kesiapan penerapan prosedur standar new normal di sarana ibadah di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (2/6).”Karena kita tahu bahwa penyebaran covid sampai saat ini di Tanah Air memang belum semua provinsi wilayah bisa kita kendalikan,” kata Jokowi.

Bahkan, sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat karena Covid-19, belum juga hilang. Hanya saja, permintaan maaf ini, tampaknya tidak didukung oleh pejabat pemerintah yang membuat kebijakan penanganan percepatan pemulihan Covid-19. Mereka seolah-olah tak merasa bersalah dengan kebijakan yang dibuatnya.

Sebab, bila dilihat dari kondisi yang ada, agaknya tidak ada perubahan kebijakan agar penanganan wabah corona semakin baik. Ya, tidak sinkronnya kebijakan yang dikeluarkan pejabat di pemerintah pusat itulah yang membuat pemerintah daerah dan masyarakat bingung. Kebijakan yang mencla-mencle dan sebagainya.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement