Selasa 02 Jun 2020 21:57 WIB

5 Poin Catatan Nuklir Iran dan Ketidakadilan Barat

Amerika, Inggris, dan sejumlah negara Barat sudutkan program nuklir Iran.

Gedung yang disinyalir berpotensi menjadi pengendali nuklir Iran.
Foto: Al Jazeera
Gedung yang disinyalir berpotensi menjadi pengendali nuklir Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Surwandono 

Nuklir merupakan sebuah energi alternatif yang memungkinkan bentuk efisiensi konsumsi energi dunia. Namun setelah tragedi di Chernobyl 1988, dan beberapa negara kecil menguasai teknologi ini, setiap frasa yang bernama nuklir akan senantiasa dikonstruksi negatif. Nuklir senantiasa disamakan dengan persenjataan nuklir. Setiap negara yang menguasai teknologi nuklir dalam konteks sipil senantiasa akan dicurigai dikembangkan untuk kepentingan militer dan agresi.

Baca Juga

Iran merupakan negara Islam kedua yang mendeklarasikan memiliki kemampuan nuklir baik dalam kebutuhan sipil, maupun dalam militer. Namun media senantiasa melemparkan isu bahwa Iran sangat potensial menjadi 'Bom Islam II' yang senantiasa bermakna oposisional terhadap kepentingan Barat, terutama Inggris dan Amerika Serikat.

Apalagi ditambah dengan fakta bahwa rezim Ahmadinejad yang berkuasa di Iran ketika itu adalah rezim konservatif. Rezim yang mulai mendeklarasikan kembali isu ''ekspor revolusi.'' Bukan itu saja, Iran oleh kepentingan Amerika Serikat dan Inggris telah dimasukkan ke dalam poros kejahatan.

Konstruksi media Barat ini sedikit banyak akan memberikan sinyal yang kuat bahwa Iran adalah ''musuh aktual peradaban Barat'' --bahkan bisa diperluas menjadi ''musuh peradaban dunia''. Apalagi di tengah kemakmuran ekonomi dan teknologi, Iran akan sangat mungkin memproduksi teknologi nuklir dalam jumlah yang besar, sehingga dalam batas tertentu, Iran akan menampakkan wajah agresifnya seperti pada dekade 1980-an dengan terciptanya perang delapan tahun dengan Irak. 

Ada beberapa keunikan pengembangan nuklir di Iran dibandingkan dengan negara-negara dunia kedua dan ketiga. Pertama, Iran dalam satu dekade terakhir hampir tidak memiliki musuh aktual regional yang mengharuskannya senantiasa bersiaga penuh dengan menempatkan piranti nuklir sebagai alat untuk balance of power. Kalaupun Iran pernah konflik dengan Irak, hal itu sudah terjadi tiga dekade lalu. Bahkan sekarang ini, pemerintah Talabani di Irak berbasis Syi'ah.

Dengan negara Sunni di Timur Tengah, Iran relatif sudah diterima dalam beberapa negara yang mayoritas Sunni. Terbukti, Iran dalam lima tahun terakhir telah menjadi Ketua Organisasi Konferensi Islam (OKI). Bagaimana dengan Israel? Iran tidak pernah melakukan konfrontasi langsung state by state, tidak ada sengketa wilayah antara Iran dan Israel, bahkan Iran bukanlah termasuk dalam geografi Kana'an (tanah yang dijanjikan) bagi Israel.

Kedua, ada kecenderungan proyek nuklir Iran bukanlah proyek latah dan beraspek ''mercusuar'' dan gagah-gagahan untuk menutupi kebobrokan dalam negeri. Hal ini ditandai dengan tidak melemahnya posisi makro ekonomi Iran dan politik Iran. Sangat berbeda dengan India dan Pakistan, di mana saat keduanya mengembangkan teknologi nuklir pada dekade 1980-an, sangat berpengaruh dengan kondisi makro ekonominya. Posisi makro ekonomi Iran jauh lebih baik terutama saat kenaikan BBM.

photo
Foto menunjukkan bagian atas dari fasilitas nuklir reaktor air berat Arak, 250 kilometer barat daya ibu kota Teheran, Iran. - (Mehdi Marizad/Fars News Agency via AP)

Ketiga, Pengembangan nuklir Iran merupakan sebuah keniscayaan, di tengah pertumbuhan ekonomi Iran yang semakin mengesankan dan kemungkinan ancaman ''penetrasi'' AS dalam satu dekade ke depan. Ahmadinejad sebagai presiden yang berhaluan konservatif sangat menyadari bahwa Iran merupakan musuh potensial AS terutama dari kubu Republik, dan bukanlah musuh potensial negara-negara Arab. Di tengah ''kelelahan'' AS, Iran sangat peka mengambil inisiatif untuk progresif dan intensif. Pengembangan nuklir bagi Iran merupakan alat bargaining dalam sistem politik internasional, bukan untuk mengancam negara tetangganya.

Pengembangan ini juga untuk menunjukkan izzah umat Islam bukan bangsa inferior. Dan Iran sepertinya sangat hati-hati dalam manajemen nuklir. Selama proses pemeriksaan dari IAEA akhir-akhir ini posisi nuklir Iran tidaklah sedramatis nuklir Korea Utara yang readiness untuk agresi. Jika Iran tidak melakukan manajemen nuklir dengan baik, baik dalam skala teknologi, penggunaan, metode, dan waktu yang tepat, maka sudah bisa dipastikan Iran akan segera digencet bersama Irak di tahun 2003.

Keempat, Iran juga sangat menyadari bahwa aset cadangan minyak di negara petro dolar semakin berkurang. Bahkan menurut penelitian Dhurarudin Mas'ad (LIPI, 1999), Qatar akan kehabisan deposit minyaknya satu dekade ke depan. Jika negara-negara petro dolar tidak bisa memanej dengan baik, dalam hitungan lima dasawarsa lagi, wilayah Timur Tengah dan Teluk akan menjadi negara yang mengalami degradasi ekonomi karena hilangnya sumber devisa. Nuklir merupakan energi masa depan yang harus dipersiapkan secara massif, agar di abad 21 dunia Arab dan Islam tidak bergantung dalam suplai energi dan teknologi nuklir yang dikuasai negara Barat. 

Setiap upaya dari negara nonnuklir untuk menjadi negara nuklir senantiasa mendapatkan kecaman bahkan ancaman aneksasi dari negara besar, terutama AS dan Inggris. Namun jika negara tersebut tetap memaksakan diri, dalam dua dekade terakhir ancaman aneksasi belumlah terbukti. India dan Pakistan atau bahkan Israel tidak mendapatkan tekanan aneksasi. Hanya Korea Utara yang digertak terus oleh AS, karena di kawasan tersebut terdapat dua negara sekutu dekat AS di Asia Timur yakni Jepang dan Korea Selatan.

* Naskah ini dikutip dari sebagian artikel berjudul Framing Nuklir Iran dari dokumentasi Harian Republika. Pada saat naskah ini ditulis Surwandono berprofesi sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement