Selasa 02 Jun 2020 10:02 WIB

Aspek Struktural Kultural New Normal Perlu Disiapkan

New normal akan melahirkan banyak aspek kultural baru di masyarakat.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Indira Rezkisari
Karyawan dengan menggunakan face shield melayani pengunjung di salah satu gerai hypermart di Jakarta, Senin (1/6). Kemendag telah menerbitkan surat edaran terkait penerapan skema new normal untuk sektor perdagangan yang tetuang salam surat edaran nomor 12 tahun 2020
Foto: Prayogi/Republika
Karyawan dengan menggunakan face shield melayani pengunjung di salah satu gerai hypermart di Jakarta, Senin (1/6). Kemendag telah menerbitkan surat edaran terkait penerapan skema new normal untuk sektor perdagangan yang tetuang salam surat edaran nomor 12 tahun 2020

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat sosial Dr Devie Rahmawati mengatakan, pemerintah harus menyiapkan dua aspek yakni struktural dan kultural, sebelum menerapkan tatanan normal baru. Secara struktural, artinya pemerintah menyiapkan sistem, regulasi dan partisipasi aktif aparat penegak hukum.

"Regulasi tentang siapa, kapan dan bagaimana masyarakat dapat berada di ruang sosial, perlu didesain dan disosialisasikan dengan luas," ujar Devie kepada Republika, dikutip Selasa (2/6).

Baca Juga

Misalnya, pemerintah harus mendesain toko apa saja yang boleh buka, bagaimana caranya membuka toko, siapa saja yang boleh berbelanja, dan apa saja yang harus disiapkan toko. Aparat keamanan juga harus ditentukan waktu kerja atau jadwalnya.

Sehingga, aparat secara konsisten hadir di ruang-ruang sosial untuk mendampingi masyarakat menjalani normal baru dengan persuasif. Kehadiran aparat secara kasat mata menjadi penting untuk memastikan ketertiban dan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.

Devie melanjutkan, secara kultural, pemerintah perlu mengedukasi dan sosialisasi terkait munculnya banyak kultur baru. Contohnya, budaya mengantre dengan menjaga jarak fisik minimal satu sampai dua meter untuk mencegah penularan virus corona.

"Banyak kultur baru di antaranya mengantre. Ini perlu kesabaran," kata Devie.

Di sisi lain, Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menanggapi upacara peringatan Hari Lahir Pancasila secara virtual akibat pandemi Covid-19, Senin kemarin. Menurut dia, beberapa upacara ada yang bisa dilakukan secara virtual dan upacara yang harus dihadiri fisik.

"Tetapi kalau situasi sudah normal (baru) upacara peringatan tersebut seyogianya tetap dilakukan (secara fisik) seperti upacara proklamasi 17 Agustus 1945. Upacara Peringatan hari angkatan perang 5 Oktober misalnya itu harus secara fisik. Karena tentara kita bukan virtual," kata Asvi.

Selain itu, upacara pelantikan pejabat juga harus secara fisik. Akan tetapi, kata dia, pelaksanaan upacara di tengah pandemi Covid-19 harus dengan mematuhi ketat protokol kesehatan penanganan Covid-19.

Dengan demikian, upacara dapat berjalan khidmat. Paling penting, lanjut Asvi, esensi dari sebuah peringatan sejarah adalah rakyat mengamalkan nilai dalam peristiwa sejarah tersebut.

"Esensi dari sebuah peringatan sejarah adalah kita tetap seperti yang dulu, merdeka 17 agustus, membela Tanah Air 5 Oktober, berjiwa pahlawan 10 November, dan seterusnya," tutur Asvi.

Ia berdoa, kasus Covid-19 tidak meningkat seiring arus balik Lebaran dan tahun ajaran baru sekolah. Ia berharap, Agustus saat peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan sudah mulai reda dari wabah virus corona.

"Dengan demikian kita bisa memperingati hari proklamasi lebih khidmat," imbuh Asvi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement