Senin 01 Jun 2020 08:02 WIB

Covid-19 Jembatan Menuju Renaisans Indonesia

Sejumlah langkah harus dilakukan agar Covid-19 menjadi jembatan renaisans Indonesia.

Marwan Jafar
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Marwan Jafar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Marwan Jafar*

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia global, termasuk Indonesia, menjadi wahana pembelajaran berharga. Kondisi ini harus dihadapi sebagai jembatan lintasan menuju renaisans. Kondisi demikian diibaratkan (meminjam istilah Petrarch) sebagai "The Dark Age" atau "Zaman Kegelapan" pada Tahun 1330-an menuju Renaisans, atau masa "Dhulumat" atau  "Kegelapan" menuju "Nur" atau "Cahaya" pada peristiwa Fathu Makkah di masa Nabi Muhammad SAW.

Pemerintah harus melakukan evaluasi berbagai bidang strategis, terutama  ekonomi, sosial, budaya, kesehatan dan SDM secara lebih mendetail, terukur, terencana dan komprehensif. Kondisi pandemi ini dapat menjadi jembatan lintasan menuju renaisans, dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, perlu melakukan  pencermatan dan analisis yang mendalam dan komprehensif terhadap dinamika perkembangan global pandemi covid-19. Dinamika tersebut harus disikapi hati-hati, kritis dan waspada, sekalipun tetap menjalin komunikasi dan diplomasi intens dengan negara-negara yang memiliki kisah sukses menekan angka resiko penyebaran covid-19 . Ini dalam rangka mencari solusi terbaik penanganan pandemi tersebut.

Perkembangan penanganan pandemi covid-19 di berbagai negara, kata Marwan, menjadi referensi dan perbandingan bagi Indonesia. Hal ini karena setiap negara memiliki karakteristik tersendiri, baik aspek geografis, kultur, tingkat pendidikan masyarakat, dan sebagainya.

Indonesia tidak bisa serta merta disamakan dengan negara lain, tidak sepenuhnya bergantung pada  WHO, tidak sepenuhnya bergantung pada  ahli asing. Kita ini negara besar dan kepulauan, terletak di garis khatulistiwa, majemuk dari segala aspek, budaya, etnis, pendidikan dan lainnya, sehingga dalam menghadapi dan menangani pandemi covid-19 juga tidak musti sama  dengan negara-negara lain.

Kedua, perlu sosialisasi terus menerus tentang  pentingnya kesiapan menghadapi Era Tatanan Baru. Sosialisasi dilakukan  melalui berbagai media, baik media massa, terutama Televisi, media online, media sosial, dan aktivitas  keagamaan, seperti ceramah, khutbah, pembelajaran di kampus, sekolah, pondok pesantren hingga kegiatan komunitas, ormas sosial keagamaan di berbagai level sampai tingkat RT/RW.

Ketiga, perlu penyiapan berbagai sarana prasarana, infrastruktur kesehatan, seperti Rumah Sakit, Balai Kesehatan dan Puskesmas hingga memberdatakan kembali Posyandu. Termasuk memperhatikan ketersediaan APD, alkes, obat-obatan, vitamin dan peralatan penunjang lainnya.

Keempat, hal yang harus diperhatikan juga adalah perlu penyiapan ketersediaan pangan, energi, minyak dan gas bumi serta kebutuhan dasar masyarakat untuk masa pasca pandemi kelak.

Kelima, perlu penyiapan ketercukupan anggaran negara, antara lain melalui refocusing di semua Kementerian/Lembaga, baik di Era Tatanan Baru maupun pascapandemi dalam konteks Bansos. Termasuk bantuan insentif program bagi pelaku usaha sektor informal  UMKM dan industri agar mereka segara beraktivitas kembali.

Keenam, perlu strategi internalisasi  tata nilai peradaban, budaya, Social Enginering dan tatanan  masyarakat yang agung sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Tata nilai  tersebut menjadi spirit berharga bagi upaya mewujudkan masyarakat  Tamaddun, meminjam istilah Ibnu Khaldun, Harakah Hissi (indera), Wahmi (intuisi), dan Aqli (akal), meminjam Istilah Al-Ghazali, Ghazwul Fikr, meminjam istilah Ali Syariati, yang berarti membangun suatu negeri  atau bangsa madaniyah  yang mempunyai peradaban tinggi dan maju.

Ketujuh, perlu penguatan kelembagaan penanganan bencana alam maupun non alam, baik terkait tata kelola managerial, hubungan antar Kementerian/Lembaga terkait, kewenangan dan kebijakan, penganggaran, SDM, infrastruktur, teknologi dan aspek lain yang dibutuhkan untuk keperluan pengembangan ke depan.

Kedelapan, perlu memaksimalkan peran second opinion dalam upaya pengambilan kebijakan strategis. Misalnya dengan melibatkan peran intelejen, insan pers, maupun kelompok-kelompok kritis masyarakat sipil.

Kesembilan, perlu optimalisasi peran para pihak untuk melawan berita hoaks tentang pandemi covid-19 yang berkembang di tengah masyarakat. Perlawanan dilakukan baik melalui media massa dan media sosial.  Berita-berita hoaks jelas-jelas merugikan masyarakat, memicu kesalah-pahaman dan bahkan konflik di tengah masyarakat.

Kesepuluh, perlu penyiapan strategi pengelolaan resiko dan krisis kebencanaan nasional  secara terukur, sistematis dan terpadu mulai pusat sampai daerah.

Kesebelas, perlu menjaga keseimbangan lingkungan budaya dan ekologi, sekaligus memperhatikan Social Responcibility dan Sustainability   terkait managemen penanganan covid-19. Hal ini penting dilakukan agar jangan sampai terjadi gelombang kedua yang tak terduga-duga covid-19. Sebab, Indonesia dinilai belum mencapai puncak pandemi covid-19 dan tingkat penyebarannya pun masih fluktuatif, sehingga dibutuhkan keputusan yang tegas untuk menghadapi pandemi tersebut.

Keduabelas, perlu strategi stabilisasi nilai rupiah dan IHSG untuk  memperkuat eksistensi ekonomi kita. Jangan sampai fiskal kita jebol terlalu dalam sehingga bisa mempengaruhi fundamental ekonomi bangsa. Termasuk penguatan cadangan devisa, pengurangan defisit neraca pembayaran dan mengoptimalkan ekspor melalui berbagai komoditas andalan.

*) Penulis adalah mantan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, sekarang anggota Fraksi PKB DPR RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement