Senin 01 Jun 2020 07:06 WIB

Pengamat: Sulit Terapkan New Normal di Transportasi Massal

Pengamat nilai surat terapkan new normal di transportasi massal saat jam sibuk.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bayu Hermawan
Penumpang menunggu kereta api (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Penumpang menunggu kereta api (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno meragukan penerapan new normal di sektor transportasi massal. Ia menilai akan sulit menerapkan pembatasan sosial di transportasi massal pada jam sibuk.

Djoko menilai implementasihand sanitizier, masker). Sebab jika new normal diterjemahkan semuanya masuk kerja dengan jadwal seperti kondisi sebelum pandemi bisa dipastikan kapasitas angkutan umum massal di Jabodetabek tidak dapat menjamin pelaksanaan physicall distancing.

Baca Juga

"Kenapa demikian? Karena sulit untuk melakukan penambahan kapasitas angkutan umum massal secara signifikan pada jam-jam sibuk agar tercapai physical distancing dengan demand setara dengan pada masa sebelum pandemi," kata Djoko dalam siaran pers, Ahad (31/5).

Djoko mencontohkan layanan KRL pada jam-jam sibuk tidak mungkin menambah kapasitas pada saat itu. Sulit memenuhi syarat jaga jarak dengan membatasi penumpang yang diangkut.

"Agar tercapai jaga jarak maka setiap kereta hanya maksimal 35 persen dari seluruh penumpang terangkut, padahal 50 persen saja mungkin sudah sangat berat," ujar Djoko.

Pengalihan penumpang KRL ke angkutan umum massal bus bisa jadi solusi. Namun harus dapat dipastikan besaran tarif sesuai KRL. Selain itu waktu tempuh pasti jauh akan lebih lama daripada naik KRL.

"Kemacetan di jalan pasti akan lebih parah daripada sebelum pandemi karena mereka yang memiliki kendaraan pribadi baik sepeda motor maupun mobil akan mengindari angkutan umum massal dengan memilih kendaraan pribadi," ucap Djoko.

Solusi yang ditawarkan MTI bagaimana aktifitas atau kegiatan publik pada masa new normal dapat dikendalikan intensitasnya tidak sama seperti pada massa sebelum pandemi. Hal ini sebenarnya yang menjadi substansi utama dari Keputusan Menteri Kesehatan terkait pedoman untuk masa new normal.

"Jadi seharusnya masa new normal tidak semuanya harus kembali kerja ke kantor seperti sebelum pandemi. Yang masih bisa work from home (WFH) ya semestinya tetap WFH atau minimal ada pengurangan kehadiran ke kantor," kata Djoko. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement