Ahad 31 May 2020 16:31 WIB

Jejak Masjid-Masjid Singapura yang Hilang Tergerus Zaman

Sejumlah masjid di Singapura hilang tergerus zaman.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
Jejak Masjid-Masjid Singapura yang Hilang Tergerus Zaman. Foto: Masjid di Kampung Hajijah, Singapura, sekitar tahun 1986.
Foto: Foto: Sarafian Salleh / Channel News Asia
Jejak Masjid-Masjid Singapura yang Hilang Tergerus Zaman. Foto: Masjid di Kampung Hajijah, Singapura, sekitar tahun 1986.

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Singapura memiliki jejak masjid-masjid yang kini telah hilang tergerus zaman. Di masa lalu sebelum pengembangan wilayah Singapura, terdapat sejumlah masjid bersejarah yang memiliki kisahnya sendiri di masanya.

Salah satunya adalah Masjid Kampong Hajijah, yang terletak di lepas Jalan Pantai Timur Atas di Jalan Hajijah. Jalan ini adalah jalan yang sepi, yang menjadi rumah bagi beberapa kondominium dan properti.

Baca Juga

Untuk sebagian besar abad terakhir, masjid ini berdiri sebagai sebuah masjid sederhana yang melayani 300 penduduk Kampong Hajijah. Kampong ini merupakan sebuah desa yang berdiri di tepi laut sebelum reklamasi lahan memperluas garis pantai ke arah luar.

Sejak 1900, masjid dan desa di sektiarnya diruntuhkan untuk memberi jalan bagi perkembangan baru pada pertengahan tahun 1980an. Peneliti warisan independen Sarafian Salleh mengatakan kepada CNA, bahwa Masjid Kampong Hajijah mungkin hanya satu dari 120 masjid yang tersebar di pulau itu pada pertengahan abad ke-20, sebelum pembentukan Dana Pembangunan Masjid pada tahun 1975.

Masjid dan desa tersebut dinamai sesuai nama Madam Hajijah Cemat. Ia adalah pemilik tanah Melayu yang kaya yang mendirikan desa dan masjid, serta menyumbangkan tanah untuk Masjid Kampung Siglap di dekatnya, yang masih berdiri sampai sekarang.

Pengalamannya mendokumentasikan Masjid Kampong Hajijah pada 1986, saat ia berusia 16 tahun, telah memicu hasrat Sarafian untuk mendalami fotografi warisan budaya. Namun, ia mengatakan bahwa gairah itu perlahan memudar setelah ia melanjutkan studinya, menikah dan kemudian memiliki anak.

"Foto-foto yang saya kumpulkan selama bertahun-tahun akhirnya terlupakan dan hilang," kata Sarafian, dilansir di Channel News Asia, Ahad (31/5).

Namun, gairahnya kembali menyala ketika pada 2007 ia menggali foto-foto lama dan mulai membagikannya di media sosial. Unggahannya tentang foto-foto lama Kampong Hajijah menarik perhatian Hanizah Abdul Ghani, yang merupakan cicit dari Nyonya Hajijah, wanita yang membangun Masjid Hajijah pada tahun 1900.

Hanizah berbagi cerita tentang nenek buyutnya itu. Hal itu lantas mendorong Sarafian untuk berpikir bahwa setiap masjid memiliki kisah luar biasa untuk diceritakan. Sarafian (50) merupakan seorang insinyur mesin yang juga menjadi sukarelawan sebagai pemandu wisata dengan organisasi nirlaba My Community.

Sarafian mengatakan, jumlah masjid yang hilang di Singapura tidak terdokumentasi dengan baik. Namun, penelitiannya sendiri bersama temannya Zaini Kassim, telah membantu mengatasi kesenjangan tersebut. Mereka menemukan dan membuat katalog masjid-masjid yang terlupakan di Singapura. Mereka bekerja berdasarkan informasi dari arsip serta kontribusi dari teman-teman.

"Zaini Kassim telah mengkonsolidasikan nama-nama masjid yang ada dan yang hilang di Singapura dan kami telah secara konsisten memperbarui informasi di media sosial," lanjut Sarafian.

Zaini (56) mengatakan, karyanya sendiri dalam mendokumentasikan masjid dimulai pada 1980an tatkala ia menyadari 'masjid kampung' seperti itu perlahan menghilang. Ia mencatat, bahwa salah satu masjid semacam itu adalah Masjid Kampong Holland, yang ditutup pada 2014 setelah berdiri sejak tahun 1950an.

Masjid itu pertama dibangun sebagai surau (ruang sholat kecil) sebelum ditingkatkan menjadi masjid dengan kapasitas 500 jamaah pada 1975. Hanya segelintir masjid kampung yang tersisa di sini, dengan izin pendudukan sementara yang dikeluarkan oleh Otoritas Pertanahan Singapura. Misalnya, Masjid Petempatan Melayu Sembawang, yang terletak di daerah berhutan di pinggiran Sembawang, sepelemparan batu dari Selat Johor.

Yang lainnya adalah Masjid Hang Jebat yang berusia 68 tahun di Queenstown, yang berada di ujung deretan rumah bertingkat era kolonial di Jalan Hang Jebat, di sebelah tempat rel kereta KTM (Malayan Railway) yang beroperasi sebelum layanan berakhir sembilan tahun lalu.

 

Rupanya, Sarafian dan Zaini tidak sendirian dalam upaya mereka memelihara sejarah masjid di negara itu. Sebuah grup Facebook bernama Masjid Hilang di Singapura kini telah memiliki sektiar 2400 anggota. Hampir setiap hari, anggota di grup tersebut mengunggah masjid-masjid yang telah lama hilang. Masjid itu di antaranya masjid Paya Goyang dan Angullia Park di lepas Orchard Road, dan Masjid Aminah di Geylang, yang berada satu blok dengan flat Dewan Perumahan yang sekarang berdiri.

Dasar dari penelitian Sarafian dan Zaini tersebut mengacu pada sebuah buku dari awal 1980an yang berjudul Masjid-masjid di Singapura 1982), dengan volume tipis oleh Syed Abu Bakar Alsagoff yang membuat katalog masjid-masjid di Singapura pada saat itu.

Terlepas dari adanya dokumentasi lengkap yang ditemukan dalam buku ini, kedua pria itu, serta yang lainnya di jejaring online, telah mampu mengidentifikasi masjid-masjid yang tidak terrekam.

Sarafian berharap dapat menyusun sebuah buku, mendokumentasikan masjid-masjid serta cerita-cerita dari penduduk desa yang dulu tinggal di sekitar mereka. Sementara itu, Zaini berharap lebih banyak buku seperti itu akan ditulis untuk membuat catatan masjid dan desa yang sekarang dilupakan.

Ketika Islam datang ke wilayah ini berabad-abad yang lalu, Sarafian mengatakan masjid di sini kemungkinan mendahului Masjid Omar Kampong Melaka, yang dibangun pada tahun 1820 oleh dermawan Arab Syed Omar Aljunied. Masjid tersebut kerap dikenal sebagai masjid tertua di Singapura, meskipun informasi tentang masjid-masjid awal ini telah hilang dari sejarah.

Di masa lalu, masjid-masjid umumnya ditemukan di sepanjang wilayah pesisir Singapura dan jaringan sungai. Sarafian mengatakan, ada masjid  yang ditemukan lebih jauh di pedalaman, tetapi ini lebih sedikit daripada yang ditemukan di sepanjang daerah pesisir.

Masjid tersebut di antaranya Masjid Haji Osman di Seranggong Kechil (sekarang Serangoon), dan Masjid Wak Sumang di Kampong Punggol (sekarang Punggol Point). Ia mencatat berbagai sumber menunjuk ke Kampong Punggol sebagai salah satu pemukiman paling awal sebelum kedatangan Stamford Raffles.

Dinamai sesuai nama prajurit Jawa yang dikatakan telah mendirikan Kampung Punggol, Masjid Wak Sumang dihancurkan pada 1995 untuk memberi jalan bagi perkembangan di daerah tersebut. Meskipun, nama itu hidup dengan mengatasnamakan stasiun LRT dan juga beberapa jalan di daerah Punggol.

"Masjid-masjid ini umumnya dibangun di tengah-tengah komunitas Muslim yang tinggal dan berdagang di distrik masing-masing dan berfungsi sebagai tempat sholat, pertemuan kampung, dan pengajaran pengetahuan agama," kata Sarafian.

Menurut Sarafian, bangunan masjid itu kerap tidak memiliki menara dan kubah yang terkait dengan masjid. Sebaliknya, kata dia, arsitektur rumah ibadah ini dirancang untuk beradaptasi dengan iklim tropis Asia Tenggara. Ia mengatakan, masjid-masjid ini dibangun di atas panggung, yang memungkinkan angin berventilasi silang di bawah tempat tinggal untuk mendinginkan ruang sambil mengurangi efek dari banjir sesekali.

"Atapnya curam untuk memfasilitasi air badai berlebihan dan serambi untuk menyedikan naungan dan mengurangi silau dari matahari," ujarnya.

Sarafian menambahkan, bahwa masjid-masjid ini sering ditempatkan bersama dengan sumur masyarakat, di mana penduduk desa dapat mengambil air untuk melakukan wudhu sebelum shalat.

Sementara itu, ia mengatakan bahwa masjid-masjid yang lebih tua juga memiliki instrumen tabuh-tabuhan yang disebut bedok dan kentong, yang dibunyikan untuk memanggil penduduk untuk sholat lima waktu. Masjid-masjid ini lebih kecil dan sering melayani dengan kapasitas tidak lebih dari 300 orang. Kapasitas itu begitu kecil dibandingkan dengan kapasitas hingga 5.000 jamaah saat ini seperti di Masjid Darul Ghufran di Tampines.

Sementara masjid yang lebih baru umumnya diberi nama Arab. Sarafian mengatakan, masjid yang lebih tua memiliki "nama Melayu", yang terkait dengan kepribadian yang dikenal atau lokasi bersejarah. Menurutnya, mendokumentasikan masjid-masjid yang terlupakan ini adalah proses penting dalam melestarikan sejarah Singapura.

"Menjaga nama asli masjid-masjid tersebut membantu mempertahankan sejarah dari orang-orang yang tinggal di sana yang merupakan blok bangunan dari bangsa ini," tambahnya.

Sumber:

https://www.channelnewsasia.com/news/singapore/every-mosque-has-a-great-story-documenting-lost-mosques-12732602

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement