Sabtu 30 May 2020 09:07 WIB

Malam Minggu yang Sia-Sia di Jakarta

Oh, Tuhan, mengapa kau turunkan kesedihan selalu di malam Minggu?

Malam Minggu yang Sia-Sia di Jakarta
Foto:

Pada malam yang sama, pukul 23.15 WIB, ibu pulang ke rumah bersama sekelompok polisi. Ibu pulang tak membawa uang. Ibu pulang tidak meluruskan persoalan. Ibu pulang dengan tubuh terbungkus kain usai diautopsi. Ibu ditemukan meninggal di kamar 203 sebuah hotel melati di bilangan Jakarta.

Ini bencana buatku. batinku.

Polisi riuh di beranda rumahku. Keluar masuk ruang tamu. Mengambil minum di lemari es seenaknya. Tanpa meminta, tanpa izin kepada pemilik rumah.

"Kasihan gadis ini."

"Iya, kasihan. Ia hidup sendiri."

"Ibunya tewas dengan tusukan pisau di perutnya."

Percakapan dua polisi membuat tubuhku gemetar. Tubuhku mendadak lemas, tak punya tenaga. Oh, Tuhan, mengapa kau turunkan kesedihan selalu di malam Minggu? Baru saja aku ingin merasai makan malam di malam Minggu bersama ibu. Naik kereta gantung di pasar malam seperti dulu-dulu. Aku menunggu ibu, tapi bencana lebih dulu merengkuh.

Ibuku sudah pergi untuk selama-lamanya. Ibu nyaris tak memiliki waktu untukku.

Kematian ibu, aku tidak bisa menangis. Seharian aku hanya mampu memandang wajah ibu. Aku hanya mampu mengelus-elus kepalanya. Aku mengucap doa. Aku menggerutu karena malam Mingguku tak pernah terpenuhi, sampai ibu sudah tak ada waktu untukku selamanya.

"Siapa yang membunuh ibumu?"

Aku tetap memilih diam. Polisi tak pernah memberi tahuku. Pelakunya pun tidak dipenjara. Entahlah, hukum model apa di negeri ini. Keadilan semata-mata hanya untuk orang yang mampu berkuasa, banyak harta.

Aku memilih merundukkan kepala, tidak mau memedulikan siapa saja yang berdatangan, menjenguk ibu dengan setangkup air mata atau berkabung duka, sampai mengantar ke rumah perebahan terakhir untuk ibu. Aku memilih diam untuk selama-lamanya.

Tujuh hari setelah kematian bapak, ibuku kerap pergi bersama lelaki --Om Ferdi.

"Om Ferdi adalah rekan kerja ibu di konfeksi," ucap ibu.

Hubungan mereka semakin akrab. Ibu sering pulang larut malam. Ketika Om Ferdi mengantar ibu pulang, di beranda rumah aku sering melihat mereka bergandeng tangan, kemudian berpelukan sebelum ibu masuk ke rumah.

Aku memilih diam. Sesekali tersenyum sebagai bentuk sopan santun. Setelah itu teriak meronta ketika ingat kematian bapak.

"Kau harus pahami. Ibu dan Om Ferdi hanyalah teman biasa. Tidak lebih."

Aku tidak peduli. Ketika bapak masih hidup pun aku sering mendengar ibu menelepon dengan suara manja di pojok dapur. Tentu hal itu dilakukan ketika bapak tidak di rumah, di saat bapak sedang berkunjung ke rumah teman. Aku merasa menyesali dan risih melihat perubahan orang tuaku.

Sepertinya ibu sudah lelah atas perlakuan bapak kepadanya; sering marah, sering menyiksa tubuhnya. Ketika ibu memilih dan memutuskan bekerja, bapak lebih sering keenakan menjadi pengangguran, berkunjung ke rumah teman. Uang habis, tinggal minta ke ibu, begitu seterusnya.

Sebenarnya bapak sudah tahu bahwa ibu memiliki kekasih gelap. Itu pun bapak semakin yakin ketika aku bercerita kepadanya. Bercerita tentang ibu sering menelepon sambil bermanja di pojok dapur, pulang diantar lelaki ketika bapak bermain di rumah teman, dan banyak kecurigaan lainnya. Ternyata pertengkaran mereka tak hanya perkara uang, tapi juga tentang asmara yang tidak pernah terucapkan, sebab selalu ada aku yang mampu mendengar segalanya.

"Dia hanya sebatas rekan kerja," kata ibu. Setelah itu bapak lebih sering menghabiskan uang ibu untuk mabuk-mabukan bersama kawan-kawannya.

Sore yang hangat, bapak mengajakku ke pesta ulang tahun temannya di pinggiran Jakarta Selatan. Aku sangat senang. Sebab, rasa-rasanya aku bisa menikmati malam Minggu bersama bapak. Ke mana pun yang penting aku pergi ke luar rumah. Menikmati udara malam kota Jakarta.

Semenjak kecelakaan bersama bapak waktu itu, kakiku lumpuh. Aku terpaksa meloncat lebih dulu sebelum bapak ditabrak kereta api. Tubuhku terpelanting, kakiku terbanting, remuk terbentur batu. Aku adalah perempuan yang memilih diam -membisu untuk selama-lamanya.

TENTANG PENULIS:

AKSAN TAQWIN EMBE, Peserta Program Pengiriman Sastrawan Berkarya ke Wilayah Terdepan, Terluar, Tertinggal (3T) 2019 (Seruyan-Kalimantan Tengah) Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ia pernah terpilih sebagai perwakilan penulis muda Indonesia dalam Majelis Sastra Asia Tenggara, kategori cerpen 2018.Terpilih dalam Emerging Writers Ubud Writers and Readers Festival 2017. Saat ini ia bekerja menjadi guru di Insan Cendekia Madani, Serpong, dan menjadi Redaktur Buletin Tanpa Batas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement