Sabtu 30 May 2020 08:53 WIB

Al-Farabi: Filsuf Muslim Abad Pertengahan (2)

Menurut banyak riwayat, Al-Farabi menguasai 70 macam bahasa dunia.

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Muhammad Hafil
Al-Farabi: Filsuf Muslim Abad Pertengahan. Foto: filsuf Islam, al Farabi
Foto: muslimheritage
Al-Farabi: Filsuf Muslim Abad Pertengahan. Foto: filsuf Islam, al Farabi

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Sosok dan pemikiran Al-Farabi hingga kini tetap menjadi perhatian dunia. Dialah filsuf Islam pertama yang berhasil mempertalikan serta menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam sehingga bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Pemikirannya begitu berpengaruh besar terhadap dunia Barat. “Ilmu logika Al-Farabi memiliki pengaruh yang besar bagi para pemikir Eropa,” ujar Carra de Vaux.

Tak heran bila para intelektual merasa berutang budi kepada Al-Farabi atas ilmu pengetahuan yang telah dihasilkannya. Pemikiran sang mahaguru kedua itu juga begitu kental memengaruhi pikiran-pikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.

Baca Juga

Filsafat Al-Farabi sebenarnya merupakan campuran antara filsafat Aristoteles dan Neo-Platonisme. Ia menyintesiskan buah pikir dua pemikir besar, yakni Plato dan Aristoteles. Guna memahami pemikiran kedua filsuf Yunani itu, Al-Farabi secara khusus membaca karya kedua pemikir besar Yunani itu, yakni On the Soul sebanyak 200 kali dan Physics sampai 40 kali.

Dengan kecemerlangan otaknya, Al-Farabi mampu melakukan terobosan untuk menggabungkan filsafat Platonik dan Aristotelian dengan pengetahuan mengenai Alquran serta beragam ilmu lainnya.

Kemampuannya ini berkat jerih payahnya menimba ilmu pengetahuan dari sejumlah guru yang mumpuni. Ia belajar filsafat Aristoteles dan logika langsung dari seorang filsuf termasyhur, Abu Bishr Matta ibnu Yunus. Dalam waktu yang tak terlalu lama, kecemerlangan pemikiran Al-Farabi mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.

Tuhan Esa

Al-Farabi pun akhirnya mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan antara Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti penciptaan dunia, kekekalan ruh, serta siksaan dan pahala di akhirat kelak. Konsep Al-Farabi mengenai alam, Tuhan, kenabian, esensi, dan eksistensi tak dapat dipisahkan antara keduanya. Mengenai proses penciptaan alam, ia memahami penciptaan alam melalui proses pemancaran (emanasi) dari Tuhan sejak zaman azali.

Menurut Al-Farabi, Tuhan mengetahui bahwa Ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya. Al-Farabi mengungkapkan bahwa Tuhan itu Esa karena itu yang keluar dari-Nya juga harus satu wujud, sedangkan mengenai kenabian ia mengungkapkan bahwa kenabian adalah sesuatu yang diperoleh nabi yang tidak melalui upaya mereka. Jiwa para nabi telah siap menerima ajaran-ajaran Tuhan.

Sementara itu, menurut Al-Farabi, manusia memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma'qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh ‘intelek aktif’. Pencerahan oleh ‘intelek aktif’ memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan objek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dan ‘akal aktif’ seperti mata dengan matahari.

Menurutnya, mata hanyalah kemampuan potensial untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya objek-objek indrawi saja yang bisa dilihat, melainkan juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement