Jumat 29 May 2020 21:54 WIB

Rapid Test Perlu Dilakukan Sebelum Sekolah Dibuka

Rapid tes tersebut paling tidak harus terhadap 10 persen populasi suatu daerah.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Andi Nur Aminah
Petugas kesehatan mengambil sampel darah saat tes diagnostik cepat (rapid test) COVID-19 (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Siswowidodo
Petugas kesehatan mengambil sampel darah saat tes diagnostik cepat (rapid test) COVID-19 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pendidikan Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoema meminta pemerintah pusat atau daerah melakukan tes cepat Covid-19 jika ingin kembali membuka sekolah. Menurutnya, rapid tes tersebut paling tidak harus terhadap 10 persen populasi di daerah tersebut.

"Jadi semua harus dilakukan rapid tes, tidak bisa seenaknya sendiri buka sekolah karena akan membahayakan nyawa anak-anak, orang tua dan guru," kata Doni Koesoema kepada Republika.co.id di Jakarta, Jumat (29/5).

Baca Juga

Dia mengatakan, pemerintah juga harus berkordinasi dengan gugus tugas penanganan Covid-19 sebelum memutuskan membuka kembali sekolah dan kegiatan belajar mengajar di kelas. Hal tersebut mengingat masih meningkatnya penambahan pasien Corona harian secara nasional.

Dia mengatakan, masih terjadinya peningkatan paparan kasus Corona artinya memperlihatkan bahwa daerah tersebut masih belum siap untuk membuka kembali fasilitas pendidikan. Artinya, lagi, kegiatan belajar mengajar di kelas belum bisa dilakukan meskipun tahun ajaran baru tetap dimulai pada 13 Juli nanti.

Menurutnya, kalaupun ada sekolah yang tetap ingin mengadakan kegiatan belajar mengajar di kelas maka mereka harus melaksanakan semua protokol kesehatan yang telah ditetapkan termasuk melakukan tes cepat. Dia mengatakan, hal itu harus dilakukan dengan kepastian bahwa sekolah sudah aman untuk dibuka.

"Daerah yang aman itu tidak ada yang terindikasi dengan Covid, itu yang paling optimal dan itu harus sampai ke kabupaten/kota dan tidak hanya di provinsi saja," katanya.

Secara khusus, dia menyinggung ketersediaan fasilitas pendukung kesehatan di sekolah yang dinilainya masih minim. Dia mengungkapkan, sebesar 40 persen persen sekolah di Indonesia tidak ada sanitasi, air hingga toilet. "Dan itu harus dijamin tersedia kalau mau hadir ke sekolah," katanya mengingat ketersediaan air diperlukan untuk mencuci tangan yang merupakan salah satu protokol kesehatan.

Dia menegaskan, pembukaan kembali sekolah tidak bisa dilakukan sembarangan dan harus memperhatikan kondisi serta pra kondisi. Sekolah merupakan lokasi pertemuan anak-anak sehingga dengan mudah penularan dapat terjadi.

"Anak-anak itu juga bisa jadi carier. Harus dipastikan juga yang OTG itu nggak berkeliaran di sekolah karena itu beresiko," katanya.

Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman menyebut pemerintah tidak gegabah dalam menetapkan waktu dimulainya tahun ajaran baru. Dia mengatakan, pembukaan kembali fasilitas belajar harus mendapat rekomendasi dari orang tua, perwakilan guru, dokter spesialis anak, epidemiolog, peneliti pendidikan, ahli kesehatan masyarakat dan ahli psokologi anak.

"Pembukaan kegiatan belajar mengajar di sekolah harus mendapatkan rekomendasi dari national advisory group tersebut," kata Dicky Budiman.

Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta menetapkan kegiatan belajar mengajar untuk semua tingkatan di wilayahnya dalam kalender pendidikan tahun ajaran 2020/2021 dimulai 13 Juli 2020. Namun, hal tersebut belum meminta siswa untuk melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas.

Hal tersebut tertuang di dalam Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 467 tentang Kalender Pendidikan Tahun Pelajaran 2020/2021. Kalender pendidikan menyebutkan tanggal 13 hingga 15 Juli 2020 ditetapkan sebagai kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) bagi Peserta Didik Baru (PDB) di tingkat PAUD/SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/SMK/MAK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement